Negara Ingkari Komitmen Nasional Dan Internasional Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang Di NTT

Hila Bame

Saturday, 04-01-2020 | 10:15 am

MDN
Petrus Selestinus

Oleh: Petrus Selestinus, S.H. Koordinator TPDI & Pengamat Masalah Sosial  Di NTT

 

 

Jakarta, Inako

Pemprov NTT sepertinya salah memilih nomenklatur lalu pasrah menghadapi sindikat terorganisasi dan tidak terorganisasi dari TPPO. Sikap terakhir Gubernur NTT menyatakan bagi TKI Ilegal yang sukses kita syukuri dan jika meninggal yah jenazahnya kita kubur. Ini sikap pasrah.

Simak Videonya jangan lupa Klik Subscribe and Like" Untuk MKRI Hebat.
 

 

Negara telah "berketetapan hati" untuk mencegah dan menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau yang disebut "Human Trafficking". Ketetapan hati dimaksud, didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan sejak dini dan menindak pelaku demi melindungi korban TPPO, karena itu dibentuklah UU No. 2 Tahun 2004, Tentang TPPO.

DI dalam konsiderans UU No. 21 Tahun 2004 Tentang TPPO, antara lain dikatakan bahwa : "keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban,mdan peningkatan kerja sama".  

"Ketetapan hati" untuk mencegah dan menanggulangi TPPO yang didasarkan pada nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional dimaksud ternyata tidak linear bahkan paradoks dengan kenyataan pahit yang dialami oleh putra putri NTT yang sudah menjadi korban TPPO atau TKI Ilegal sejak berlakunya UU No. 21 Tahun 2004 Tentang TPPO hingga sekarang.

Ini merupakan gambaran nyata betapa tidak satunya kata dan perbuatan para pemimpin kita, ada pengingkaran terhadap nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional untuk mencegah dan menanggulangi TPPO. Negara melakukan pembiaran terus menerus perekrutan dan pemberangkatan TKI Ilegal asal NTT ke Malaysia, sedangkan jumlah yang meningal terus bertambah dengan angka yang fantastik.

GUBERNUR NTT SALAH MEMILIH NOMENKLATUR.

Berita TKI Ilegal asal NTT yang meninggal sepanjang tahun 2019, sudah mencapai angka 123 orang, dihitung berdasarkan jumlah jenazah yang dikirim kembali ke NTT. Ini sungguh sangat memilukan hati, karena tidak ada langkah strategis yang bersifat mencegah dan menanggulangi dari Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai wujud komitmen nasional dan internasional seperti ditegaskan di dalam  UU No. 21 Tahun 2004, Tentang TPPO.

Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat, pada awal kepemimpiannya berketetapan hati menjadikan penanggulangan TPPO sebagai program prioritas dengan konsep moratorium. Namun problemnnya kewenangan mengekuarkan moratorium itu adalah wewenang Kemenaker, bukan Gubernur.

Karena itu, Pemprov NTT sepertinya salah memilih nomenklatur lalu pasrah menghadapi sindikat terorganisasi dan tidak terorganisasi dari TPPO. Sikap terakhir Gubernur NTT menyatakan bagi TKI Ilegal yang sukses kita syukuri dan jika meninggal yah jenazahnya kita kubur. Ini sikap pasrah.

Dengan rekor sebagai Provisi yang tertinggi no. 1 di Indonesia dalam TPPO, baik yang diberangkatkan secara Ilegal dan yang meninggal dan jenazahnya dikirim dari Malaysia  ke NTT termasuk dalam jumlah yang fantastik. Berdasarkan data resmi Pemerintah Malaysia dan Indonesia, sepanjang tahun  2019, peti jenazah TKI Ilegal yang dikirim dari Malaysia ke Indonesia sudah mencapai 123 jenazah.

TIDAK ADA KOHESIVITAS DALAM KOMITMEN

Melihat kenyataan ini, maka Pemerintah dan Pemerintah Provinsi NTT dinilai tidak memiliki kohesivitas dalam komitmen dan gagal total mewujudkan komitmen nasional dan internasional dalam mencegah dan menanggulangi TPPO, masing-masing mau jalan sendiri sehingga semua hanyalah sebuah fatamorgana, karena apa-apa yang dirumuskan sebagai nilai-nilai luhur dalam pembentukan UU TPPO, tetapi tidak dapat diekeskusi, minus implementasi.

Padahal konstitusionalitas kekuasaan dan kewenangan negara sebagaimana diatur di dalam UU TPPO dan UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia, ditambah lagi dengan aparat Penegak Hukum yang profesional, gaji dan fasilitas penunjang yang menggiurkan, mestinya pelaku TPPO baik yang terorganisir maupun tidak terorganisir, baik yang di dalam negeri maupun antar negara, sudah banyak yang dipenjara dan hak-hak korban dipulihkan.

Namun faktanya kejahatan TPPO semakin merajalela dengan segala dampak buruknya, pengiriman TKI Ilegal masih terus berlangsung tanpa dapat dihentikan sesuai dengan komitmen nasional dan internasionalnya, sementara kiriman jenazah TKI Ilegal dari Malaysia ke NTT hampir tiap bulan terjadi, untuk tahun 2019, sudah mencapai 123  peti Jenazah.

UU TPPO, menyatakan bahwa: setiap orang yang melakukan perekrutan, penampungan, pengiriman, seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda.

Mengapa pengiriman TKI legal tetap dibiarkan terus menerus terjadi di NTT,  padahal kiriman jenazah dari Malaysia ke NTT  terus berlangsung menjadi sebuah rutinitas, sementara negara kehilangan moralitas dan mangabaikan komitmen nasional dan internasionalnya untuk mencegah dan menanggulangi TPPO di NTT. Ini adalah pilihan sikap yang mendiskriminasikan orang-orang NTT, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum sebagaimana diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

TAG#NTT, #TKI, #Petrus Selestinus

198735204

KOMENTAR