Nikmatnya Jadi Madridista Daratan Flores: Tidak Seru Kalau Tidak Sampai Membenci Barcelona

Oleh: Tommy Duang
Saya lupa kapan pertama kali saya jatuh cinta pada Madrid, tetapi saya ingat dengan baik kapan pertama kali saya membenci Barcelona. Sejak bertahun-tahun lalu saya mencintai Madrid dengan sangat dan hanya ada satu hal di muka bumi ini yang lebih besar dari rasa cinta itu: rasa benci pada Barcelona. Kebencian saya pada tim dari itu enam kali lebih besar ketimbang cinta saya pada Madrid.
Saya menghabiskan masa kecil di pedalaman Manggarai Timur, suatu kampung di pegunungan yang sampai sekarang belum menikmati kemewahan layanan listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pengetahuan bola hanya saya dapatkan dari poster di dinding rumah tetangga dan juga dari partai final Piala Dunia 2006.
Saya pertama kali menonton pertandingan sepak bola di tv pada tahun 2006 ketika Italia mengalahkan Prancis di final Piala Dunia melalui drama adu penalti. Dari partai itu ada empat ingatan yang masih membekas dalam kepala saya sampai sekarang: Zidane diusir keluar lapangan, Genaro Gattuso mencopot celananya sendiri, Italia menang dan Ronaldo “botak” tidak muncul di lapangan [Saya selalu berpikir Brazil pasti muncul di final dan saya bangun untuk menonton Ronaldo menari di lapangan bola].
.jpg)
Dari poster di dinding rumah tetangga, beberapa tahun sebelumnya saya mulai mengagumi Real Madrid. Rupanya itu poster Real Madrid tahun 2003/2004. Di sana ada gambar dan nama seperti Iker Casillas, Roberto Carlos, Zinedine Zidane, David Beckham, Luis Figo, Raul Gonsales, dan tentu saja Ronaldo “botak.” Itu pandangan pertama dan saya langsung tertarik pada Madrid.
Dan dari siaran tv, saya pertama kali membenci Barcelona—dengan sangat. Itu terjadi pada 29 November 2010 ketika Madrid dibantai 0-5 di Camp Nou. Waktu itu saya berusia lima belas dan itu tahun pertama saya berada di Asrama Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Cinta saya pada Madrid saat itu, menguat bukan karena aura Cristiano Ronaldo atau karena Maurinho yang fenomenal, melainkan karena Madrid kalah dengan cara yang amat memalukan. Seiring menguatnya cinta pada Madrid itu, api kebencian saya pada Barcelona pun mulai berkobar.
Menjadi pemuja Madrid sekaligus pembenci Barcelona dalam kurun waktu 2010-2019 punya suka dukanya sendiri. Apalagi kalau kau hidup dalam asrama-asrama laki-laki di daratan Flores.
Bila tim kebanggaanmu kalah, dalam kurun waktu satu kali dua puluh empat jam setelah itu, demi kenyamanan batinmu sendiri sebaiknya engkau mendekam diri dalam kamar dan memblokir semua aksesmu ke dunia maya. Dalam sepuluh tahun terakhir, ketika dalam banyak partai El Clasico Barcelona menang, entah diakui atau tidak, banyak madridista garis keras yang hilang dari peredaran sepanjang hari.
Lain cerita dalam partai-partai Liga Champions. Baik Barcelonista maupun Madridista berubah haluan. Barcelonista banting stir menjadi fans dadakan “lawan Madrid” dan begitu pula sebaliknya. Saya akan menjadi Madridista sekaligus Juventini garis keras bila Barcelona berhadap-hadapan dengan Juventus. Begitu pula dengan Tino Herin, Rano Mare dan Achend da Cruz akan menjadi the Bavarians bila Madrid berhadap-hadapan dengan Muenchen.
Itulah yang terjadi dalam kasus baru-baru ini. Madrid telah disingkirkan oleh City. Barcelona masih akan bermain lawan Muenchen. Dan saya, di sini, di Mataloko, dengan senang hati menjadi fans dadakan Muenchen. Sebagai fans Muenchen, saya bertepuk tangan tanpa beban ketika wasit meniup peluit panjang di akhir pertandingan dan papan skor menunjukkan angka delapan dan angka dua.
Tentu saja saya bahagia bukan karena Muenchen menang telak, melainkan karena Barcelona kalah telak. Ramos dan Messi sama-sama angkat koper dan saya bangun pagi dengan semangat menggebu-gebu. Persetan siapa yang juara Liga Champions. Yang penting bukan Barcelona.
Malam nanti El Clasico akan digelar lagi dan tentu saja partai ini tetap menarik, panas dan penuh rivalitas. Kita tidak akan pernah bosan dengan partai yang satu ini sebab El Clasico bukan hanya tentang bola. Di dalamnya selalu ada sisi sejarah, politis, taktik, keteguhan tekad, keindahan dan rivalitas. Tidak adil bila dilewatkan begitu saja.
Kendatipun Ronaldo telah pergi dan Messi kian menua, El Clasico tetaplah El Clasico. Selalu ada hal untuk diceritakan, selalu ada keindahan untuk dinikmati dan selalu ada rivalitas untuk dijaga. Ronaldo pergi dan kepergiannya tidak berpengaruh apa-apa, baik pada cinta saya untuk Madrid maupun pada tingkat keseruan El Clasico itu sendiri.
Menuanya Messi berarti kesempatan bagi bertumbuhnya Ansu Fati yang akan menjadi bintang baru di Camp Nou. Di kubuh sebelah ada Vini Jr yang di awal musim ini telah menemukan sentuhannya. Fati dan Vini, sebagai bintang baru untuk Camp Nou dan Bernabeu, tentu saja akan menjadi faktor pembeda pada laga malam nanti. Dalam partai bersejarah ini, teknik, kecepatan dan kejeniusan mereka diuji.
Dalam sebuah film laga, haram hukumnya memuja dua karakter yang berlawanan, biarpun sama-sama kuat dalam perkara baku hantam. Bagi Madridista dan Barcelonista garis keras, laga El Clasico tak jauh berbeda dengan film-film laga. Kita sendirilah yang menentukan siapa pahlawan, siapa pecundang.
Meskipun kerap dianggap “tukang jagal”, Ramos adalah nama pertama dalam daftar para pahlawan saya. Messi? Tidak lebih dari sekadar karakter “cabeh rawit” dalam cerpen terbaru saya; cabe rawit yang remuk diulek, lalu sedikit mengejutkan lidah sebelum menjadi seonggok kue coklat di closet. Wala terlalu laaa … Persetan!
Di daftar kedua tentu saja ada “Kaka Sulung” Thibaut Courtois. Tidak adil bila siapa saja yang pernah nonton bola mengadili Courtois dari penampilannya dalam dua partai terakhir. Courtois tetap terbaik apalagi bila dibandingkan dengan Ter Stegen yang sejauh ini hanya bisa menghuni bangku cadangan bila Jerman bertanding.
.jpg)
Ini bagian kecil dari olok-olokan yang muncul bila El Clasico akan digelar. Ini bukan karena Messi dan Pique layak diolok-olok, sebab mereka adalah pahlawan yang harus dihormati oleh siapa saja yang mencintai bola. Tetapi bagaimana pun juga, ini bagian dari hidup; kita memiliki pendirian masing-masing termasuk satu paham lama yang takkan pernah using: Penonton selalu benar dan tahu segalanya.
Malam nanti El Clasico kembali digelar. Persetan dengan pandemic Covid-19 sejauh engkau menonton partai ini sendirian di rumahmu atau paling tidak bersama orang-orang di rumahmu.
Sebagai seorang Madridista, dari Mataloko-Flores kulayangkan harapan akan kemenangan Madrid. “Jaga sportivitas, jaga nama, dan juga seperti orang Bajawa bilang, jaga waka. Sebab gengsi dan kewibawaan sebuah klub bola bernama Real Madrid adalah segala-galanya. Juga buat barisan Madridista daratan Flores.”
TAG#el clasico, #la liga, #barcelona, #real madrid
198733649
KOMENTAR