OPEC  Pangkas Poduksi Minyak di 2019, Ini Dampak bagi Indonesia

Sifi Masdi

Monday, 10-12-2018 | 22:24 pm

MDN
Ilustrasi hanya minyak dunia [ist]

Jakarta, Inako

Hasil sidang negara-negara eksportir minyak dunia (OPEC) memutuskan untuk memangkas produksi mereka demi menjaga harga minyak dunia. 

OPEC dan aliansinya, yakni Rusia, sepakat untuk pangkas produksi hingga 1,2 juta barel sehari. Pemangkasan akan berlangsung mulai Januari 2019 selama 6 bulan ke depan, untuk kemudian dievaluasi dan meninjau situasi pasar. 

Secara keseluruhan, Presiden OPEC dan Menteri Perminyakan UEA Suhail Mohamed Al Mazrouei mengatakan aliansi memangkas sebanyak 2,5% dari produksi minyak mereka. Kesepakatan ini akan ditinjau kembali pada April 2019 mendatang, sambil melihat market dan bisa jadi kebijakannya diubah.

Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih menjabarkan, produksi minyak mereka saat ini mencapai 11,1 juta barel per hari. Dengan kesepakatan ini, kemungkinan produksi akan dikendalikan jadi 10,7 juta barel per hari di Desember dan 10,2 juta barel di Januari. 

"Ini adalah komitmen kami untuk mengawali langkah dengan tepat di 2019, dan untuk menunjukkan bahwa apa yang kami lakukan tidak perlu waktu lama untuk melihat hasilnya demi menekan laju penurunan harga minyak," kata Falih. 

Harga minyak langsung meroket begitu keputusan OPEC keluar. Harga minyak mentah Brent meroket 4,9% jadi US$ 63 per barel, demikian juga dengan WTI yang terdongkrak 4,3% jadi US$ 53,69. 

Tahun depan, berbagai institusi meramal harga minyak bisa tembus level US$ 70 per barel, artinya ini sangat berbahaya bagi negara importir minyak seperti Indonesia. Dengan kebutuhan konsumsi mencapai 1,4 juta hingga 1,6 juta barel per hari. Sementara, produksi hanya sanggup di level 700 ribu hingga 750 ribu barel per hari, naiknya harga minyak bakal jadi ancaman defisit RI di tahun depan. 

Belajar dari tahun ini, di mana harga minyak merangkak gila-gilaan hingga tembus level US$ 80 per barel, sudah membuat neraca perdagangan RI kalang kabut. Hingga Oktober 2018, Badan Pusat Statistik Secara kumulatif mencatat untuk defisit perdagangan migas di tahun ini (Januari-Oktober 2018) sudah mencapai US$ 10,74 milliar. Apabila dikonversi ke kurs rupiah, nilai sebesar itu setara dengan Rp 158 Triliun. 

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemangkasan produksi ini sudah pasti mendongkrak harga minyak di tahun depan.

"Rencana pemotongan produksi OPEC dan Rusia akan berpotensi meningkatkan harga minyak. Hal tersebut mengingat saat ini OPEC menguasai sekitar 42 % dan Rusia sekitar 13%. Dengan demikian produksi produksi OPEC dan Rusia adalah sekitar 55% dari total produksi dunia. Karena itu jika mereka memainkan kuota produksi harga berpotensi naik," jelasnya, Minggu (9/12/2018).

Dampaknya ke Indonesia, kata dia, pastinya adalah ancaman defisit yang serupa seperti tahun ini. "Devisa yg diperlukan untuk impor tentu akan semakin besar," kata dia. 

Untuk mengatasinya, sebenarnya opsi pemerintah sangat terbatas. Untuk kebijakan B20 yang sudah diterapkan per 1 September 2018, belum bisa efektif menekan defisit.

Beda dengan Komaidi, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi malah menilai kenaikan harga minyak saat ini hanya sementara.

"Tetapi sentimen jangka pendek. Saya perkirakan tahun depan harga minyak dunia akan kembali turun di bawah $ 50 per barrel," katanya. 

Alasannya antara lain seringkali anggota OPEC membangkang terhadap keputusannya, kemudian Qatar keluar anggota Opec sehingga tidak terikat kesepakatan quota OPEC.


 

 

KOMENTAR