Ormas Islam Memiliki Peran Signifikan Dorong Pemajuan Budaya Leluhur Bangsa

Jakarta, Inako
Ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah memiliki anggota sekitar lebih dari 90 juta dan 50 juta orang. Jika ditotal maka jumlahnya adalah separuh populasi Indonesia dan ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa apabila kedua ormas sama-sama pro-aktif mendorong kemajuan kebudayaan nasional atau tradisional.
Hal ini diungkapkan oleh Tjoki Aprianda Siregar, pemerhati masalah-masalah kebangsaan, yang mengomentari pelaksanaan Seminar Nasional "Peran Ormas Islam dalam Membangun Strategi Kebudayaan" di Hotel Arcadia by Horison, Jakarta, Jumat (29/11). Seminar ini diselenggarakan oleh ormas Ahlul Bait.

“Memperhatikan begitu derasnya penetrasi informasi dan berita dari luar negeri melalui media internet atau media sosial yang membawa juga pengaruh budaya luar seperti K-Pop dari Korea Selatan, sebagian besar anak muda Indonesia yang populer dengan sebutan generasi milenial dikhawatirkan kurang mengetahui mengenai kebudayaan leluhurnya,” kata Tjoki dalam pernyataannya kepada Inakoran.com, Sabtu (30/11/201).
Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia maju.
Menurut Tjoki, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajukan RUU yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sangat tepat. Hal ini untuk mengantisipasi masuknya "ombak" pengaruh budaya Korea (K-Wave) yang suatu saat akan membuat generasi muda hanya sedikit mengetahui budaya negerinya, seperti tari atau kesenian tradisional.

Tjoki khawatir bila generasi milenial saat ini terus dipengaruhi budaya asing seperti K-Pop secara terus-menerus, mereka yang nanti akan menjadi pemimpin bangsa saat Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke satu abad pada tahun 2045 – akan kehilangan jati diri, kalau diperkirakan sudah tidak akan mengenal budaya nenek moyang mereka.
Bila keadaan ini secara nasional dibiarkan dalam beberapa tahun ke depan, terang Tjoki, bangsa Indonesia akan menghadapi situasi "darurat budaya atau krisis identitas budaya" (cultural emergency, cultural identity crisis) yang mungkin tidak disadari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat.
Ormas sebagai pelopor
Menurut Tjoki, ormas-ormas Islam saat ini di Indonesia yang muncul dengan jumlah pengikutnya cukup besar, yang sebagian besar ada di desa-desa, memiliki peluang untuk menjadi pelopor, mengambil inisiatif mengadakan kegiatan-kegiatan kesenian tradisional, promosi budaya nusantara atau nasional di tiap daerah. Ia yakin kegiatan kebudayaan ini akan berjalan dengan baik kalau mereka menggandeng kerja sama dengan pemerintah daerah setempat dan/atau perusahaan dan BUMN/D.
Pagelaran kesenian atau budaya, tegas Tjoki, butuh biaya. Namun ia menambahkan bahwa keterbatasan biaya tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melaksanakannya. Ormas bisa bekerja sama dengan pemda atau perusahaan. Selain itu, masyarakat juga diajak berpartipasi untuk menyumbang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal ini bertujuan agar masyarakat ikut merasa memiliki (sense of belonging) sebagai bagian dari anak bangsa yang memiliki keragaman budaya.
Untuk mengatasi keterbatasan biaya, Tjoki mengusulkan perusahaan swasta dan BUMN menyisihkan sebagian kecil penghasilan atau laba untuk memajukan kegiatan kebudayaan di sekitar lokasi perusahaan tersebut beroperasi.
“Kontribusi konkret diusulkannya pula dalam bentuk penyisihan sebagian kecil dari penghasilan atau laba usaha seseorang atau badan usaha. Bagi perorangan, tidak diwajibkan besarannya, namun bagi perusahaan swasta dan BUMN disarankan sekiranya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan kalangan bisnis menyisihkan sebagian dari laba usahanya untuk biaya pemajuan kebudayaan daerah, seperti halnya ketentuan corporate social responsibility (CSR) untuk turut membantu menyejahterakan warga yang tinggal di sekitar lokasi usahanya,” tutur Tjoki
Menurut Tjoki, menyisihkan sebagian laba usaha perusahaan atau BUMN untuk memajukan budaya setempat merupakan wujud tanggung jawab atau lebih tepatnya sebagai bentuk kepedulian kalangan bisnis terhadap kelestarian atau keberlanjutan (sustainability) budaya nasional.
Karena itu, Tjoki mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan ketentuan tentang corporate cultural responsibility (CCR), dengan mewajibkan perusahaan dan BUMN menyisihkan sebesar persentase tertentu, misalya sekitar 3%-5% laba usahanya untuk kepentingan pemajuan kebudayaan setempat, selain untuk keperluan CSR-nya.
TAG#Ormas, #Ormas Islam, #Budaya, #Tjoki Aprianda Siregar
190231984
KOMENTAR