Ormas Islam Punya Peran Promosi Mitigasi, Pencegahan dan Penanggulangan Bencana

Jakarta, Inako
Asia Pasifik masih menjadi kawasan dengan jumlah wilayah rentan bencana terbanyak di dunia. Penelitian UN Economic and Social Committee for Asia and the Pacific (ESCAP) mengindikasikan bahwa dalam periode tahun 2015 – 2030, 40% dari total kerugian perekonomian global yang diakibatkan oleh terjadinya bencana alam berasal dari kawasan Asia Pasifik.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di kawasan dengan potensi bencana alam yang paling tinggi, dengan potensi bencana alam yang cukup tinggi, dengan jumlah bencana yang tercatat lebih dari 3.900 bencana terjadi di negara terbesar Asia Tenggara. Bencana itu terdiri atas bencana banjir, angin puting beliung, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, abrasi air laut, dan gunung meletus. Bencana di Asia Tenggara secara total ditaksir mengakibatkan kerugian sekitar Rp 30 triliun.
Dengan posisi geografis di antara dua benua dan dua samudera serta perlintasan garis khatulistiwa atau dalam zona iklim tropis, Indonesia juga terletak di sejumlah patahan tektonis yang secara geologis rentan untuk terjadi pergeseran dan subduksi, sehingga menyebabkan wilayahnya yang berdekatan dengan patahan-patahan tersebut berpotensi besar mengalami gempa. Selain itu, di pulau-pulau yang terentang dari Barat ke Timur yang membentuk kepulauan Nusantara Indonesia pun terdapat rangkaian gunung-gunung berapi (Ring of Fire) aktif yang secara periodik meletus membawa bencana bagi masyarakat yang tinggal di sekeliling gunung.
Di daratan, akibat ulah manusia atau kebiasaan mereka yang cenderung tidak perduli dengan membuang sampah sembarangan, sungai-sungai dan saluran air di sekitar perumahan atau pemukiman mengalami pendangkalan, menyebabkan banjir dan pada sejumlah tempat yang karakter tanahnya labil, dapat terjadi longsor bahkan “tanah bergeser” atau dikenal pula dengan sebutan “likuifaksi”.
Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia sejahtera.
Menanggapi kondisi geologis Indonesia yang rawan bencana tersebut, Tjoki Aprianda Siregar, pengamat masalah-masalah kemasyarakatan yang juga Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Nahdlatul Ulama (NU) DKI Jakarta, berpendapat perlunya pemerintah dan para pemangku kepentingan melakukan edukasi dan sosialisasi seluas-luasnya dan secara berkelanjutan mengenai upaya mitigasi dan pencegahan bencana kepada masyarakat di tanah air. Sejauh ini diamatinya bahwa mitigasi dan pencegahan yang dilakukan baru sekedar menjadi diskursus daripada realita, dengan instansi pemerintah yang berwenang di kebanyakan daerah tampak belum jelas mengenai langkah apa yang harus diambil baik sebelum terjadi bencana apalagi setelah bencana memakan korban dalam jumlah cukup besar. Hal ini kiranya tidak perlu disikapi dengan kritik semata tanpa memberikan masukan yang membantu.

Menurut Tjoki, upaya terkoordinasi dan terkonsolidasi dapat efektif meminimalisir risiko terjadinya bencana apabila para pemangku kepentingan tidak membiarkan instansi pemerintah atau aparat terkait menangani upaya mitigasi, pencegahan dan bahkan penanggulangan bencana sendirian. Sudah sewajarnya berbagai pihak ikut terlibat di dalamnya, kalangan bisnis, lembaga-lembaga pendidikan dan riset, masyarakat madani, dan organisasi-organisasi masyarakat (ormas). Dalam kaitan ini, Tjoki melihat peran ormas dapat dioptimalisasikan dalam upaya mitigasi, pencegahan, dan penanggulangan bencana tersebut.
Lebih lanjut Tjoki menyoroti ormas-ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah yang disebutnya masing-masing telah memiliki organ khusus penanggulangan bencana bernama LPBI dan Muhammadiyah Disaster Management Centre yang menunjukkan bahwa kedua ormas Islam besar dimaksud sesungguhnya telah memiliki kesadaran tinggi untuk membantu pemerintah dalam penanganan bencana ini. Meski mengakui bahwa terdapat pula ormas Islam lain yang juga memiliki divisi penanganan bencana seperti Persis dan FPI, namun menurut Tjoki, dengan jumlah total anggota sekitar 150-160 juta orang lebih, NU dan Muhammadiyah memiliki kesempatan lebih besar untuk memasyarakatkan mengenai upaya mitigasi dan pencegahan bencana ke sebanyak-banyaknya warga melalui anggota-anggota dan keluarganya terlebih dahulu.
Tjoki memberikan contoh. Hal sederhana yang mungkin sudah dipikirkan atau direncanakan namun belum diwujudkan oleh kedua ormas Islam tersebut adalah mensosialisasikan langkah-langkah praktis mengurangi resiko terjadinya bencana dan ketika terjadi bencana melalui pembuatan buku saku dalam jumlah massal untuk dibagikan seluas-luasnya ke seluruh anggota masyarakat, atau dengan membuat aplikasi peringatan bencana secara online.
Dalam hal mitigasi bencana banjir misalnya, buku saku memuat, antara lain, imbauan membuang sampah pada tempatnya, tidak membuang sampah di sungai atau parit jalan. Disamping itu dapat memuat imbauan agar warga yang tinggal di wilayah yang biasanya terkena banjir untuk tidak menyimpan perhiasan dan dokumen-dokumen pentingnya di rumah, namun di tempat penitipan seperti safe deposit box di bank-bank. Ormas Islam juga dapat berinisiatif membuat tempat penitipan dokumen penting warga kurang mampu, misalnya ijazah sekolah, namun tinggal di wilayah yang rentan banjir tanpa mengenakan biaya atas penitipan dokumen penting tersebut.
Terjadinya bencana alam merupakan momentum ketika berbagai pihak dituntut nuraninya untuk menunjukkan sikap kemanusiaan lintas iman. Dalam upaya memberikan bantuan kemanusiaan di wilayah-wilayah yang warganya majemuk etnis dan agama atau kepercayaannya, Tjoki menegaskan bahwa ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah perlu menunjukkan keteladanan dengan mengulurkan tangan kepada warga terkena bencana tanpa memperhatikan latar belakang agama atau keimanannya yang mungkin berbeda.
“Melalui bencana alam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tampaknya ingin menguji sejauh mana kemanusiaan kita kepada sesama. Dalam kesulitan hidup akibat bencana, Sang Illahi sepertinya hendak mengajarkan kita untuk bersikap kemanusiaan lintas iman. Yang Maha Kuasa ingin mengetahui seberapa dalam umatnya memahami hakekat dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, khususnya mengenai tolong-menolong sesama tanpa memperhatikan latar belakang mereka yang ditolong atau yang menolong,” tegas Tjoki.
Oleh karena itu, menurut Tjoki, organ atau divisi penanganan bencana NU dan Muhammadiyah perlu terus mempelopori kemanusiaan lintas iman dalam aksi-aksi kemanusiaannya.
TAG#Bencana Alam, #Ormas Islam, #NU, #Muhammadiyah, #Tjoki Aprianda Siregar
198739113
KOMENTAR