Partai Golkar dan Akal Sehat

Johanes

Friday, 31-01-2020 | 08:00 am

MDN
H. Mahpudin (dok pribadi)

Oleh : H. Mahpudin, SH., MM., M.Kn., Dosen Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM)  Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, mantan Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Indramayu 

 

Indramayu, Inako

“Ketika kita mampu berpikir jernih dan jujur, artinya kita lulus dalam mengaktualisasi hakikat potensi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia. Esensi ini pula yang membedakan manusia dengan hewan, “ ( Bambang Soesatyo, pada peluncuruan bukunya  yang ke 15 Buku AKAL SEHAT, 28 Agustus 2019) 

Simak Video InaTV jangan lupa "klik Subscribe and Like" 

 

Pernyataan Bamsoet panggilan populer Bambang Soesatyo yang saat ini memegang jabatan Ketua MPR RI dan rival terkuat Airlangga Hartarto dalam suksesi pucuk pimpinan Partai Golkar yang dengan “akal sehatnya” dia mundur untuk memberi jalan lapang bagi lawannya tersebut untuk menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, sengaja dikemukakan, bukan berarti saya pendukung apalagi loyalis Bamsoet, karena ketemu saja tidak pernah. 

Pernyataan ini setidaknya sedikit banyak masih memberi harapan publik terhadap aspek nilai dan idealisme yang masih tersisa pada elit politik negeri ini, terlepas apakah pernyataan itu hanya sekedar utopis dan Bamsoet sedang mengaktualisasikan ajaran filsuf Plato yang mengajarkan bahwa Politisi adalah moralis "pemintal kata-kata". 

Harapan dan optimisme harus tetap disampaikan dan ditunjukan oleh para pemimpin politik dan pejabat publik dengan aktualisasinya dan realisasinya dalam fakta lapangan walapun ditengah kondisi psimisme dan apatisme publik terhadap tingkah laku para politisi yang mayoritas sudah terjangkiti wabah “virus demagog” dan “ virus korupsi”   yang efek penyebarannya lebih dahsyat dan meluas daripada virus corona dari Wuhan Cina. 

Di tengah krisis dan  perspsektif publik yang negatif terhadap elit  partai, Golkar selalu mampu melahirkan sosok dan pilihan-pilihan politik yang mencerdaskan dan menginspirasi partai politik lainnya walaupun dengan resiko kehilangan dominasinya di panggung politik nasional, karena ditinggal tokoh-tokohnya dengan mendirikan partai lain di luar Partai Golkar. 

Figur Akbar Tanjung rasanya tidak mungkin hilang dari memori kader dan massa Golkar di awal reformasi dengan slogan visi misinya dan konsep “Paradigma Baru Partai Golkar” nya yang mampu menyelematkan dan meng-eksis-kan partai Golkar dari  “musium sejarah” kepartaian di Indonesia. Dengan “akal sehat” nya pula Akbar Tanjung dan Partai Golkar mampu menciptakan tradisi baru demokrasi di Indonesia  dalam proses dan mekanisme pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung dari jalur partai politik yaitu apa yang disebut dengan Konvensi jelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung yang pertama pada tahun 2004. Kemudian hampir copy paste apa yang dilakukan oleh Partai Demokrat pada tahun 2013 jelang gelaran  Pemilu Presiden/Wakil Presden 2014.
 
Istilah konvensi ini kemudian bertansformasi menjadi Pendaftaran dan Penjaringan Bakal Calon Presiden/Wakil Presiden pada level DPP Partai Politik masing-masing dan Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada level Pengurus Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 

Esensinya adalah partai politik membuka seluasnya-luasnya kepada publik untuk menjadi calon pemimpin bangsa dan atau daerahnya, tidak semata “dikunci” hanya untuk figur tertentu dari kader internal partainya hanya dengan mekanisme Rapat Pimpinan atau Rapat Pleno partainya. Mekanisme ini dalam prakteknya ternyata membawa konsekwensi paling tidak terhadap tiga hal : 

Pertama, meminjam istilah yang dipakai oleh almarhum almaghfurlah Cak Nur (Nurkholis Madjid) ketika mencoba turut serta dalam  konvensi pertama kali yang dihelat oleh Partai Golkar yaitu terkait soal “Giji”. Setiap kandidat yang mendaftar dan masuk dalam penjaringan yang memenuhi syarat-syarat normatif  yang ditetapkan oleh Panitia yang dibentuk oleh mekanisme partai yang bersangkutan, bobot tertinggi penilaian adalah seberapa besar “Gizi” calon yang bersangkutan, selain  variabel  popularitas, akseptabilitas dan elektabiltas. 

Kedua, untuk memastikan tingkat popularitas dan elektabalitas masing masing peserta, rezim penguasa parpol bekerjasama dengan rezim penguasa survey yaitu lembaga-lembaga survey baik yang terakreditasi maupun tidak, tentu dengan nilai nominal sebagaimana layaknya nilai suatu proyek. Lembaga survey  dan konsultan politik dengan berbagai variannya sebagai penyedia jasa di bidang politik dan demokrasi elektoral hari ini menjadi rujukan dan mitra partai politik pada setiap kontestasi pemimpin politik baik pusat maupun daerah di negeri ini. Hasil dari lembaga survey ini yang akan diusulkan untuk mendapatkan “rekomandasi”  dari pemegang otoritas partai politik yang bersangkutan. 

Ketiga, rekomendasi dari otoritas partai politik, meniscayakan loby-loby politik di belakang panggung, selain dari saol gizi dan hasil survey. Sudah menjadi suatu pengetahuan umum terkait soal loby-loby politik yang berkonsekwensi adanya “biaya entertaint”  atau “mahar politik” untuk mendapatkan “rekomendasi” tersebut. Dalam perspektif KPK, hal ini adalah celah potensial terjadinya tindak pidana korupsi karena mayoritas pemegang otoritas partai politik adalah pejabat atau penyelenggara negara. 

Ketiga hal tersebut adalah konsekwensi logis dari pilihan sistem demokrasi yang telah menjadi kesepakatan bangsa ini yaitu dalam bentuk Undang-Undang (Undang-Undang Rezim Pemilu), yang menjadi perbincangan viral di media sosial belakangan ini adalah omnibus law. Kesepakatan-kesepakatan bangsa ini terhadap suatu hal yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang inilah  yang disebut oleh Prof. M. Mahfud MD sebagai Politik Hukum. Politik hukum di bidang pemilu yang hari ini dijalankan oleh bangsa ini adalah demokrasi berbasis elektoral bukan demokarasi berbasis Pancasila sila ke empat “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. 

Demokrasi elektoral meniscayakan terpilihnya pemimpin berdasarkan “suara terbanyak” pada tataran normatif, sinonim berdasarkan “uang terbanyak” pada tataran realitas lapangan. Dari kondisi ini maka jauh panggang dari api kalau kita masih berharap terpilihnya pemimpin bangsa atau daerah  di Indonesia ini mendalilkan pada sistem meritokrasi yakni terpilihnya pemimpin berdasarkan terpenuhinya syarat rukun menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Maka yang terjadi adalah sebuah anomali-anomali dan serba paradok, karena pemimpin tanpa kepemimpinan. 

Atau pada suatu institusi negara yang punya motto melayani, mangayomi dan melindungi, tetapi dalam perspektif publik yang terjadi adalah melayani tanpa kasih sayang, mangayomi tanpa keteduhan, melindungi tanpa rasa aman bagi perasaan publik sebagaimana peristiwa yang kita saksikan terhadap kasus OTT KPK terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan, yang sampai hari ini DPO nya belum diketahui keberadaannya. Sungguh suatu fakta yang menciderai perasaan keadilan publik bangsa ini. 

Pada kontek Indramayu,  dibukanya pendaftaran bakal calon bupati oleh DPD Partai Golkar Indramayu sebagaimana dilansir oleh berbagai media lokal cetak dan online (fokuspantura.com/politik/3244-partai-golkar-indramayu-buka-pendaftaran-bacabup-gratis#.Xi2RNA2zTw.whatsapp) adalah suatu sikap politik yang patut diapresiasi secara positif, karena sudah bisa dipastikan dan satu satunya partai yang tidak memerlukan lagi mitra koalisi untuk mengusung pasangan calon bupati/wakil bupati pada kontestasi pilkada serentak tahun 2020 ini. 

Dengan jumlah 22 kursi DPRD, apa perlunya membuka pendaftaran bakal calon bupati/wakil bupati, sudah cukup dengan mekanisme rapat pimpinan atau dalam rapat pleno yang diperluas dengan melibatkan para ketua PK dan organisasi sayap partai untuk menetapkan dan mengusulkan beberapa kader “tertentu” kepada pimpinan partai di atasnya untuk mendapatkan rekomendasi. Walaupun mekanismenya dipoles berdasarkan “hasil survey” terhadap kader yang sudah ditentukan tersebut. 
Apresiasi ini layak dikemukakan, sekurangnya karena beberapa variabel : 

Pertama, kader yang sudah ditentukan sebagai “bola umpan”  ternyata tidak mendapat respon positif dari stackholder, utamanya dari jaringan birokarasi yang cenderung apatis terhadap figur dimaksud, walapun sudah diputuskan dalam mekanisme rapat pleno partai. 

Tidaklah harus menutup mata dan menafikan peran besar jaringan birokrasi Indramayu terhadap setiap kemenangan Partai Golkar Indramayu dalam setiap kontesatsi demokrasi baik lokal maupun nasional. Kasat mata sekalipun terhadap peran-peran politik birokrasi ini di luar Tupoksi nya sebagai Aparatur Sipil Negara yang harusnya netral pun dibiarkan saja oleh para pimpinan partai di luar partai Golkar. Lantas bagaimana rakyat mau bicara kalau pimpinan parpol nya saja tidak punya kemampuan apalagi punya keberanian untuk berbicara. 

Kedua, opini dan harapan publik. Ekspektasi publik terhadap calon bupati yang akan diusung oleh Partai Golkar sangat tinggi, obyektif, rasional, faktual dan mendekati ideal terhadap figur calon pemimpin Indramayu berikutnya. Syarat rukun sebagai seorang pemimpin yang mencerminkan visi misi Indramayu Remaja mesti tampil pada sosok figur “nyata”. 

Kompetensi, integritas, kapabiltas, akseptabiltas dan representasi dari seorang figur pemimpin Indramayu menjadi narasi publik dan menjadi viral diberbagai media cetak dan online bukan hanya pada lingkup internal keluarga besar Partai Golkar tetapi juga di luar stackholder partai golkar. 

Ketiga, keasadaran ruhaniyah H. Yance. Tidak pula harus menutup mata dan abai terhadap peran sentra H. Yance terhadap dinamika Partai Golkar Indramayu bahkan pada orkestrasi politik lokal Indramayu pasca reformasi. Pada spektrum hegemoni dan oligarki Golkar Indramayu dalam genggaman tangannya dan telunjuk jarinya, dengan  “riadhoh dzikir” malam jumat di rumahnya populer disebut Rangdu Gede (RG), saya meyakini menjadi “wasilah” asbab nuzulnya kesadaran ruhaniyah pada diri H. Yance membuka kran DPD Partai Golkar Indramayu dan “berdamai dengan keadaan”  pada ajang kontes Pilkada Indramayu. 

Keempat, akal sehat elit pengurus partai. Di bawah bayang-bayang sisi gelap atas kasus OTT KPK yang menjerat Ketua DPD Golkar Indramayu dengan segala efek lanjut dan turunannya dari kemungkinan pengembangan kasusnya oleh KPK, masih tersisa “akal sehat” elit pengurus Partai Golkar untuk menyelamatkan marwah partainya. Suatu ikhtiar alternatif dari pilihan-pilihan yang tersisa untuk menyelamatkan kehormatan partai dan upaya memenangkan kembali hegemoni dan dominasinya melalui kontestasi Pilkada tahun ini. 

Mungkin sebagian publik masih bisa bertanya, apakah mekanisme pendaftaran bakal calon bupati oleh Partai Golkar ini adalah sesuatu yang serius dan ideal sebagaimana mestinya, karena sebagaimana ucapan dan ajaran filusuf Perancis Voltair bahwa "politik adalah seni merancang kebohongan". 

Maka mari kita tunggu dan kawal proses ini agar tidak terjadi distorsi. Distorsi dan absurd akan terlihat diakhir langkahnya, apakah akan memunculkan rekomendasi terhadap nama yang sama atau nama itu-itu juga atau nama yang sudah dikampanyekan ataukah akan menghasilkan figur yang sesuai ekspektasi kader dan rakyat Indramayu. Semoga saja hasil tidak mengkhianati ikhtiar. 


Wallohu A’lam Bisy-syowab.

KOMENTAR