PBNU DAN GODAAN PILPRES 2024, MENGAWAL NETRALITAS !

Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Kritik keras Gus Salam, cucu salah satu pendiri NU, KH Bisri Syamsuri bahwa "PBNU terlibat dalam mengarahkan struktur NU ke pasangan nomor dua (2) mengirim pesan satu sisi betapa besar "daya goda" dan "pesona sexi" pilpres 2024 di sisi lain betapa pentingnya mengawal netralitas PBNU demi menjaga "marwah" politik NU
NU dan politik dalam derajat tertentu memang "saling menggoda", ibarat air dan ikan, sebuah ekosistem sosial yang menyatu dengan dinamika politik, setidaknya itulah yang direkam Mitsuo Nakamura, peninjau "asing" pertama yang menghadiri Muktamar NU di Semarang (1979).
Di era Gus Yahya PBNU dibaca publik terlalu dominan tampil dengan "gestur" ormas Islam rasa "partai politik". Sejumlah elite PBNU saat ini "fully politician", murni politisi sehingga relasi kuasa politik NU tak jarang justru "asyik" dalam godaan politik praktis dan pragmatis.
Tudingan Gus Salam di atas yang disebutnya "politik murahan" PBNU membenarkan apa yang dulu disampaikan Prof Siti Zuhro, peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahwa PBNU di era Gus Yahya terlalu "asyik" bermain politik praktis.
Menurutnya "seharusnya fokus NU lebih banyak ke masalah sosial keagamaan, bukan politik praktis. Politik ormas adalah politik moral, bukan politik praktis" ujar Siti Zuhro (Tribun, 24/5/2022).
Sayangnya PBNU dengan mandat peradaban sebagai "penuntun etika dan moral" umat, bangsa dan negara sama sekali tidak mengkritisi putusan MK yang cacat moral dan etik, potensi kecurangan pemilu dan seorang "Gus" secara vulgar "bagi bagi uang politik" yang diresahkan publik.
Dalam "9 pedoman" berpolitik bagi warga NU sebagaimana tertuang dalam naskah "khittah 26" (1984) NU adalah ormas Islam menegaskan diri terpisah dari partai politik dan bekerja dalam "mindset" sebagai "jam Iyah Diniyah wal ijtima'iyah", ormas Islam dan sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks itu NU memberikan kebebasan kepada warga NU secara individual untuk menentukan afiliasi politiknya dengan garis "9 pedoman" berpolitik bagi warga NU.
Penulis kutip point 4 dan point 5 dari "9 pedoman berpolitik warga NU" tersebut:
"Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab" (point' 4).
"Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, moral agama, konstitusional dan adil" (point' 5)
Dalam kerangka pedoman berpolitik itulah kekuatan struktural NU seharusnya "istiqamah" menjadi kekuatan "sipil" dalam mengawal "arah kiblat bangsa", menjaga "mu'ahadah wathoniyah" atau "konsensus kebangsaan" (Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, NKRI dan UUD 1944 - disingkat PBNU).
NU tidak direduksi hanya mengawal "rejim politik berkuasa", tidak berperan hanya semacam relawan politik dan tidak menjadi "pihak" yang bersaing dalam kontestasi politik.
NU lahir, tumbuh, kuat, besar dan teruji dalam sejarah hingga saat ini bukan karena "asuhan" dan "asupan" rejim penguasa politik. Masa depan NU pun tidak ditentukan rejim penguasa politik melainkan kekuatan kultural dan ketaatan spritualitas umat penopangnya.
Itulah "Marwah" politik NU. Itulah kekuatan jalan peradaban NU melintasi semangat jaman. Rejim boleh berganti, datang dan pergi, tetapi NU harus tetap abadi menjadi kekuatan masyarakat sipil mengawal arah "kiblat bangsa".
Jayalah NU, Majulah negeriku.
TAG#ADLAN, #PBNU, #GANJAR MAHFUD
190233974
KOMENTAR