Pekerjaan Besar NU, Menjaga Relevansi Kiblat Bangsa

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Mengawal arah kiblat bangsa, yakni Pancasila sebagai "penuntun" kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia adalah menjaga relevansi NU di tengah "turbulensi' tantangan perubahan sosial akibat penetrasi media sosial.
Penetrasi media sosial bersifat lintas batas teritorial negara masuk ke ruang ruang privat dengan konten konten ideologi "trans nasional" mulai mengubah mindset dan prilaku akar rumput warga NU, rentan terpapar sikap "intoleran".
Inilah "pekerjaan rumah" NU, sebuah tantangan sosiologis tidak sederhana bagi NU sebagai ormas Islam garda paling terdepan dalam menjaga toleransi dan kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hasil riset data survey Marcus Meizner dan Burhanudin Muhtadi (2016 - 2018) tentang "Mitos Toleransi NU" memberikan gambaran kuantitatif rata rata tingkat penerimaan warga NU di level akar rumput terkait isu toleransi, pluralisme.dan ke bhinneka an di bawah 50%.
Hal itu di tandai dengan variabel pertama, keberatan (54%) jika didirikan rumah ibadah non muslim, kedua, keberatan j(52%) jika pemimpin daerah non muslim, ketiga keberatan (53%) jika Gubernur dari non muslim dan keempat setuju (59%) etnis Jawa seharusnya memilih orang Jawa.
Burhanudin Muhtadi memberi penjelasan lebih lanjut terkait temuan survey di atas secara komparatif di pulau Jawa bahwa tingkat "intoleransi" di Jawa Barat dan Banten jauh lebih "tebal", lebih rentan dibanding di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Amin Mudzakkir, intelektual muda NU, peneliti LIPI (saat ini BRIN) tahun 2018 menemukan fakta bahwa komunitas muslim di Jawa Barat sebesar 79% mengamalkan tradisi kultural NU seperti tahlilan, ziarah kubur, "munggahan", dll tetapi hanya 7% dari jumlah mereka yang mengikatkan diri pada NU sebagai "jam'iyah" (ormas Islam).
Temuan ini sebuah indikasi "gap", di mana "amaliyah" komunitas muslim Jawa Barat terhadap tradisi keagamaan kultural NU begitu besar (79%) tidak berbanding kuat, hanya 7% daya ikat mereka terhadap NU sebagai "jam'iyah", sangat "longgar" dan rentan terpapar sikap "intoleransi".
Dalam konteks variabel data di atas, terlepas dari perdebatan methodologi dan parameter indikatifnya, dapat dikalkulasi secara kuantitatif potensi potensi "intoleransi" di Indonesia.
Jika "jama'ah" atau warga NU sebagaimana hasil survey LSI tahun 2017 sebesar 67% atau sebesar 160 juta dari jumlah populasi penduduk muslim di Indonesia, maka 50% dari jumlah 160 juta tersebut, yakni 75 juta warga NU rentan terpapar "intoleransi" secara laten.
Ini jumlah sangat besar, tidak boleh dianggap main main dalam proses integrasi kebangsaan yang selama ini menjadi kekuatan doktrin Islam NU tentang toleransi dalam mengawal Pancasila sebagai arah kiblat bangsa.
Di level struktural jelas NU sangat kuat komitmen toleransi terhadap kebhinekaan tapi problematis di.level akar rumput NU. Daya ikat "jamaah" NU terhadap "jam'iyah" NU dalam indeks toleransi sangat "longgar".
Dalam perspektif gambaran data di atas pekerjaan besar NU di masa depan tidak memadai lagi, bahkan tidak relevan hanya semata mata dipahami sebagai "jam'iyah" atau ormas pada level atribut lahiriyah apalagi hanya dihayati sebagai kerja politik pragmatis dan bersifat segmentasi aliran.
Proyeksi kerja struktural "jam'iyah" NU ke depan adalah kerja kerja konsolidasi mengatasi kesenjangan pemahaman keagamaan di level "jama'ah" warga NU di akar rumput sebagaimana gambaran data survey kuantitatif di atas.
Memantapkan pandangan "moderat" keberagamaan warga NU di level akar rumput sebagai basis kekuatan modal sosial untuk menghadirkan NU sebagai solusi jalan peradaban baru adalah dengan menjaga relevansi NU menghadapi keniscayaan perubahan sosial di era media sosial.
Itulah "pekerjaan rumah" NU, sebuah pekerjaan tidak mudah menjaga relevansi kerja NU di tengah tantangan arus dahsyat media sosial tapi itulah jalan NU mengawal arah kiblat bangsa, yakni Pancasila tetap kokoh menjadi arah penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
TAG#ADLAN
190233159
KOMENTAR