Pelaut Bukan Tak Boleh Mabuk, Dia Hanya Perlu Kuat

Binsar

Wednesday, 02-10-2019 | 20:13 pm

MDN
Elsa Candra, Duta Bahari Nusa Tenggara Barat Tahun 2019 [dokumentasi peribadi]

 

Oleh: Elsa Candra, Duta Bahari NTB Tahun 2019

 

Mataram, Inako

Senin, 2 September 2019 jangkar kekar kapal perang yang dihuni kesatria pembela negara bernama KRI Tanjung Kambani 971, diangkat untuk melakukan pelayaran dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara menuju Sibolga, kota Ikan di Sumatera Utara.

Bersama 700 pemuda bangsa yang terpilih mewakili provinsinya masing-masing yang terbagi menjadi pasukan Saka Bahari, Bela Negara dan 102 duta bahari dari 34 provinsi di Indonesia, bersatu padu, saling menyemangati dan memotivasi agar selalu riang gembira serta mampu mensyukuri segala yang diterima selama pelayaran lingkar nusantara berlangsung.

I Dewa Gede Wirawan, selaku komandan SATGAS PELANTARA 9 SAIL NIAS 2019 selalu memberikan segala persembahan terbaik agar peserta pelantara 9 mampu menjadi manusia yang disiplin, berkarakter dan memiliki jaringan kerja yang luas melalui pelaksanaan pelantara 9 ini. Terlebih lagi melihat kondisi negara yang sedang tak karuan dikarenakan banyaknya gangguan yang terjadi di dalam negeri saat ini.

Pengalaman yang luar biasa yang tak mampu didapatkan oleh semua pemuda bangsa. Hanya pemuda-pemuda terpilih yang mampu dan kuat mengikuti kegiatan ini. Uniknya sebagian besar peserta pelantara 9 termasuk yang dari program KPN merasakan pusing dan mual. Hal yang lumrah dirasakan oleh orang yang sedang berlayar, terlebih lagi medan pelayaran yang tak biasa.

Sail Nias ini tentunya bukan hanya melewati selat-selat yang ada di wilayah barat Indonesia, mengingat perjalanan dari Tanjung Priok menuju Sibolga ini juga harus berlayar melewati Samudera Hindia.

Kenangan sesaat sebelum naik KRI Tanjung Kambani 971 menuju Lampung, Sabtu (14/9) [Inakoran.com/Ina TV]

 

Khususnya aku, haha. Hari-hari yang kulewati tidak seperti hari-hariku yang biasa melihat daratan dengan segala hiruk pikuk kehidupan yang ada di atasnya. Ketika sang fajar mulai menampakkan dirinya untuk mulai menerangi dunia, kami yang beragama muslim bangun dan berusaha keras untuk mendapatkan air untuk berwudhu.

Senang tak terhingga terasa ketika melihat air deras keluar dari keran yang ada di bak mandi kamar mandi super terang. Meskipun sebagian besar air yang keluar adalah air yang pahit. Iya sebenarnya memang tidak pahit, tapi karena asin maka rasanya pahit.

Aku ingin mengeluh karna mual berkesangatan gara-gara rasa air di kamar mandi itu. Aku ingin teriak agar samudera biru yang masih belum sempurna terang terlihat itu menyaksikan bahwa aku sedang tak tahan rasa air yang dikandungnya.

Pagi hariku selama di kapal terus saja begitu. Aku bahkan seringkali membeli air tanggung seharga RP.5000 di kantin atau meminjam dulu air kepunyaan teman sekamarku. Yang terpenting adalah aku dapat melaksanakan kewajibanku sebagai umat beragama.

Setelah sang fajar terlihat semakin tinggi dan mulai menyinari satu sisi kapal yang berhadapan langsung dengannya, Suara Ayahanda yang terhormat WADANSATGAS Riyadi pun mulai menggema dari pengeras suara yang sumber suaranya dari Gladak Heli.

Kontingen Pelantara 9 membersihkan sampah di sepanjang Pantai Ketapang, Lampung [Inakoran.com/Ina TV]

 

Glada Heli ini kalau tidak salah, merupakan lantai ke lima dari KRI yang luar biasa itu. Disanalah kami parta peserta biasanya melaksanakan apel kelengkapan pasukan yang terbagi menjadi tiga kompi, yaitu kompi Alfa, kompi Bravo dan Kompi Charlie. Aku berada di kompi Alfa, dengan kakak komandan kompi yang selalu  bersemangat mencari tahu dengan teliti satu demi satu pasukannya agar dipastikan sehat dan mampu mengikuti kegiatan penuh pembelajaran di masing-masing hari yang tak biasa itu.

Pagi, siang dan sore hariku di kapal selalu dapat menonton warna biru, warna favoritku di masa kecil dulu. Aku mendonga kearah langit, ternyata tetap biru. sesuatu yang pasti bahwa laut berwarna biru. Itu artinya atas dan bawahku yang terlihat hanya warna biru. Aku menunduk melihat buih-buih di lautan hasil terjangan kapal pemberani kami, dan berbeda. saksi-saksi yang tak bisu itu takkan pernah ku lupakan. Beberapa kali si lucu dan imut lumba-lumba memperlihatkan diri mereka ketika bermain-main bersama kelompoknya masing-masing. Biasanya aku hanya bisa melihat mamalia laut yang lucu itu di TV, namun karena ikut kegiatan ini, aku melihatnya secara langsung, Hari-hari aku lewati bersama mereka, muda-mudi yang luar biasa itu. Dimana isinya adalah, menerima materi, diskusi kelompok dan pentas seni di malam hari yang indah sambil terombang ambing di tengah lautan yang merupakan kekayaan bangsa yang tak semua bangsa memiliki potensi seluar biasa yang Indonesia miliki ini.

Ketua KPN 2019, Abdillah (kiri depan) dan Stefhanie (kana depan) bersama teman-teman berpose di atas Tank Marinir di Markas Brigif 4 Lampung [Inakoran.com/Ina TV]

 

Aku berdiri di relling kapal untuk mencoba mencari angin malam agar aku tak terlalu kepanasan di kamar apartemen bintang langit yang dihuni ratusan orang itu. Haha. Aku melihat sekeliling kapal bersejarah itu. Alam terlihat gelap berwarrna hitam dan cahaya hanya datang dari kapal yang kami tumpangi.

Langit dan laut biru yang terlihat cerah tadi siang seakan berpamitan mesra sebelum malam ini tiba. Sore seakan menitipkan surat cinta dan rindu kepada malam melalui senja indah ketika dilihat dari tengah lautan. Malam seakakn moment yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh penghhuni kapal. Dikarenakan malam adalah waktu di mana putra-putri bahari dari berbagai provinsi di Indonesia secara bergiliran untuk menampilkan kesenian daerah masing-masing.

Mengingat banyaknya suku yang ada di Indonesia, maka tak heran setiap malam mata kami selalu menolak untuk mengantuk agar bisa menyaksikan saudara sebangsa kami menampilkan penampilan terbaik mereka. Apalagi yang punya lego haha.. malam seakan surge kecil yang selalu dirindukan ketika matahari masih bertahta disiang hari.

Apel penutupan sebelum turun dari KRi Tanjjung Kambani 971, di Tanjung Priok Jakarta, Sabtu (21/9) [Inakoran.com/Ina TV]

 

Uuusssst Lego itu istilah untuk pemuda pemudi yang melempar jangkar cintanya dan ditangkap oleh tujuan jangkar yang dilegokan itu dengan tepat . Tak bisa dipungkiri, selama kegiatan, laki-laki maupun perempuan akan lebih bersemangat ketika bersama dan bisa saling lirik dengan legonya. Namun tak banyak yang berani melempar legonya hingga tersiksa rindu diam-diam sampai perpisahan tiba.

Entahlah aku mungkin menanti ada yang melegokan jangkarnya padaku haha.. sudah-sudah jika tidak ada juga tidak apa-apa. Haha dasar aku, kasian aku.

Jika diminta untuk bercerita, aku lupa bagaimana cara untuk menceritakan segala penderitaan yang pernah kami lewati bersama di kapal ataupun di beberapa daratan yang menjadi titik peringgahan kami pada waktu itu.

Setelah perlayaran selesai dan acara perpisahan selesai, yang ada hanya rindu, rasa pahit yang aku rasakan selama dalam kegiatan, seketika itu berubah menjadi hal yang sangat manis untuk dikenang. Tapi tetap saja, hal termanis selama pelaksanaan kegiatan adalah ketika aku melihatnya tersenyum menghadapku, meskipun dalam kondisi badan yang lelah. Haha sudah,,, ceritakan keindahan yang dia miliki tak akan selesai sampai berpuluh-puluh halaman sekalipun.

“Pelaut tak akan berdosa jika mabuk”, Haha begitu kata-kataku. Aku menyadari bahwa aku termasuk salah satu peserta yang paling sering mabuk dalalm pelayaran. Mungkin salah satu pemicunya adalah karena ini pengalaman pertamaku berlayar selama berhari-hari. Makanku juga tak teratur. Itu bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri karena tidak menuruti arahan Panitia untuk makan ketika waktu makan telah datang.

 

Padahal makanan di kapal selalu terjamin matang tepat waktu. Hanya saja karena kegiatan yang begitu penuh, membuatklu lebih memilih memanfaatkan waktu istirahat makan untuk tidur daripada harus turun kelantai dua kapal, tepatnya ke dapur dan kantin yang selalu padat pengunjung. Mungkin jika dihitung, pengunjungnya mampu mengalahkan pengunjung harian si kedai kopi terkenal “STARBUCKS”, entah, mungkin itu ejaannya.

Sejak di Hotel Ibis Kemayoran, mengikuti pembekalan dari kemenpora selama dua hari, sejak tanggal 30 Agustus, kondisi tubuhku memang sedang tidak fit. Itu semua memang karena salahku sendiri yang benar-benar seakan merasa terhantui oleh keberadaan AC di setiap sisi ruangan hotel, baik itu di ruangan tempat menerima mater, dikamar, di dapur dan bahkan di kamar mandi.

Aku berbeda dengan teman-teman yang lain. Aku merasakan hidungku seakan tertusuk oleh udara yang keluar dari mulut dingin AC, ubun-ubun kepalaku seakan kerasukan dan ditusuk oleh dinginnya udara yang dikeluarkan oleh si mulut yang bagiku adalah mulut yang tega dan jahat. Haha, jangan berfikiran macam-macam dulu, mulut AC lagi maksudku. Singkatnya, AC hotel Ibis membuatku mabuk kepayang. Dengan kondisi tubuh yang memang sudah kurang enak sejak di hotel aku harus bertahan dan kuat mengikuti kegiatan.

Kalian tahu? Mengapa aku terlihat selalu riang saat pelayaran? Itu karena aku mengingat wajah tua ibuku yang mengikhlaskan aku, anaknya untuk pergi menuntut ilmu dalam program ini. Itu juga karena aku mengingat wajah-wajah terharu dan bangga dari setiap keluarga, guru, teman dan sahabat yang aku salami ketika berpamitan dan bersalaman menjelang keberangkatanku ke Bandara internasional Lombok yang menjadi bandara keberangkatanku tepat pukul 5 dini hari Waktu Indonesia tengah.

Itu baru pertama kali aku harus meninggalkan tanah kelahiranku. Meninggalkan beliau-beliau yang sangat aku hormati tidak membuatku lemah, melainkan menjadikan aku lebih kuat dan semangat dalam mengikuti langkah demi langkah yang ku hentakkan serempak dengan langkah muda-mudi peserta pelantara yang lain dalam berkegiatan.

Aku tersenyum, bahkan membantu temanku yang sedang sakit untuk berusaha bangkit dan tetap semangat dalam berkegiatan. Hampir hanya sahabat terdekatku yang tau bahwa akyu sering pusing karena goyangan kapal akibat gelombang dahsyat di laut yang luat itu. Hampir setip hari aku semacam punya agenda khusus untuk memuntahkakn isi perutku di bagian pinggir kapal yang sepi, agar tak ada yang melihat bahwa aku sedang sakit.

 

Mungkin hanya dokter Dewanti yang cantik dan selalu sabar membantu kami menjaga kesehatan selama kegiatan yang tau persis bahwa aku sering minta obat anti mabuk ke balai kesehatan. Atau dokter tampan yang sampai sekarang aku tak tau namanya yang pernah sekali aku minta obat padanya. Luar biasa semuanya mengajarkanku bagaimana aku harus selalu totalitas dalam melaksanakan tugas, kalau sekarang tugasku adalah menjadi mahasiswa yang baik dan benar. Atau bisa jadi nanti aku menjadi bagian dari aparatur negara seperti mereka yang mengajarkanku tentang totalitas itu sendiri.

Aku yakin semua faham dan merasakan apa yang aku rasakan. Karena kami bangun, tidur, makan dan bahkan mandi di tempat yang sama. Terlebih lagi beberapa sahabat yang membuatku merasa aku punya saudara selama pelayaran. Mereka juga memberiku banyak pembelaljaran bagaimana bekerjasama dan menjaga satu dengan yang lainnya. Tidak ada pemrbedaan perlakuan antara senior dan junior.

Semuanya mendapatkan perlakuan yang sama dan belajar bersama-sama. Mau dipaksakan sekeras apapun, aku memang begitu. Aku sering mabuk, tapi aku kuat karena aku sadar ada harapan orangtua, senior dan Negara yang kami emban. Bagaimana nanti ketika kembali ke daerah masing-masing kami mampu membawa kebermanfaatan bagi masyarakat. Bukan hanya di laut, namun juga di lingkungan sekitar.

KOMENTAR