Pembahasan Mengenai Freeport di DPR Masih Menggantung

Sifi Masdi

Wednesday, 16-01-2019 | 23:47 pm

MDN
PT Freeport Indonesia [ist]

Jakarta, Inako

Rapat dengar pendapat (RDP) soal divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) di Komisi VII DPR memanas. Pembahasan cukup panjang mengenai alasan pemerintah memilih untuk mengakuisisi saham PTFI tidak menunggu kontrak karya (KK) habis di tahun 2021,

Topik tersebut mulanya dilontarkan oleh Anggota Komisi VII Fraksi Gerindra Ramson Siagian saat mendapat kesempatan melakukan pendalaman.

"Ini memang menjadi pertanyaan publik, bisa menjelaskan kenapa dipaksakan tidak menunggu 2021," kata Ramson di Komisi VII Jakarta, Selasa (15/1/2019). 

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Bambang Gatot Ariyono pun menjawab. Dia menerangkan, berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dijelaskan, KK yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak.

Sementara, dalam Pasal 31 KK Tahun 1991, memiliki jangka waktu 30 tahun dan perusahaan akan diberikan untuk memohon 2 kali perpanjangan masing-masing 10 tahun berturut-turut dengan syarat disetujui pemerintah. Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan yang tidak wajar.

"Kontrak 1991 memiliki jangka waktu 30 tahun dan perusahaan akan diberikan hak memohon 2 kali perpanjangan masing-masing 10 tahun berturut-turut dengan syarat disetujui pemerintah, pemerintah tidak akan menahan atau menunda secara tidak wajar," terangnya.

Wakil Ketua Komisi VII Muhammad Nasir kemudian memotong penjelasan Bambang Gatot. "Pemerintah kan juga bisa menolak? Kenapa tidak menolak?" tanya Nasir.

Bambang Gatot kemudian menerangkan, pemerintah memang bisa menolak. Namun, itu berpotensi menimbulkan perselisihan yang bisa dibawa ke arbitrase.

Penjelasan Bambang Gatot kembali dikritik oleh Nasir. Nasir kemudian mempertanyakan keberpihakan Bambang Gatot.

"Bapak di pihak pemerintah atau swasta? Kan saya bilang bahwa akhir 2021 kalau menolak perpanjangan kan selesai. Kepentingan apa yang didorong ini untuk proses sekarang ini. Padahal dia 2021, seharusnya memasukkan Inalum untuk pengambilalihan Freeport tersebut seperti yang dilakukan Blok Rokan," kata Nasir dengan nada tinggi.

"Kenapa tidak dilakukan di Freeport apa masalahnya, kepentingan apa untuk mengambil langkah, harus bisa diambilalih Indonesia dan menjadi saham 100% milik Republik Indonesia, Apakah kepentingan bisnis saja, ini segelintir yang mementingkan kepentingannya," paparnya.

Bambang kembali menjelaskan, dalam arbitrase pemerintah bisa menang, bisa kalah. Tapi, operasional tambang tidak bisa berhenti karena arbitrase. Sebab, berhentinya produksi akan menimbulkan risiko yang lebih besar.

"Kami sampaikan contoh kita ada arbitrase IMFA itu adalah permasalahan IUP yang diterbitkan Bupati Barito Timur, di arbitrase oleh investor Singapura berbadan hukum India, 2 tahun belum putus, kita dituntut US$ 570 juta. Sampai sekarang belum putus," ungkap Bambang.

"Kalau terlalu lama dampak teknis akan terjadi, kerusakan terowongan infrastruktur, rembesan air tanah dan lumpur, potensi kehilangan 30% cadangan Grasberg, ini teknis pertambangan tidak bisa dihentikan," sambungnya.

Pembicaraan mengenai hal tersebut berhenti karena memasuki waktu maghrib, sehingga rapat diskors. Setelah skors dibuka, Nasir yang merupakan pemimpin rapat meminta peserta untuk menunda pembahasan hingga pekan depan.

"Baik, karena permohonan mitra melakukan persiapan bahan seminggu kita setujui. Maka persetujuan teman-teman rapat saya tunda seminggu," tutup Nasir.

 

KOMENTAR