Pengamat Tata Negara Nilai Tak Ada Alasan People Power Hanya Karena Kalah Pemilu

Sifi Masdi

Wednesday, 15-05-2019 | 11:04 am

MDN
Pasangan Jokowi-Ma’ruf vs Prabowo-Sandiaga [ist]

Jakarta, Inako

Rencana people power yang dihembuskan beberapa orang belakangan ini langsung ditangani dengan sigap oleh kepolisian. Di negara demokratis, seperti Amerika Serikat, people power tidak dikenal. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang bersuara lantang tentang people power selama beberapa bulan belakangan ini?

Menurut pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono, istilah people power kurang populer di negara yang telah mempraktikkan prinsip supremasi konstitusi dan pemerintahan presidensial secara kuat.

Ciri-ciri Negara yang menjalankan prinsip supremasi konstitusi, kata Bayu, masa jabatan Presiden dibatasi untuk periode tertentu dan kekuasaan Presiden secara limitatif dibatasi oleh konstitusi. Selain itu Presiden tidak mudah dijatuhkan atas motif politik melainkan Presiden dapat diberhentikan di tengah jalan apabila melakukan pelanggaran hukum tertentu yang diatur dalam konstitusi melalui proses impeachment (pemakzulan). 

"Sebagai contohnya adalah Amerika Serikat, yang seringkali disebut pionir dalam mempraktikkan sistem presidensial di dunia," cetus Direktur Puskapsi Universitas Jember itu kepada wartawan, Rabu (15/5/2019.

Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat, konstitusi telah berperan menjadi kontrol atas tingkah laku Presiden agar tidak menuju perilaku otoritarian yang dapat memicu people power. Kontrol itu dibuktikan dengan pernah digunakannya mekanisme impeachment dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat saat ada tuduhan melakukan pengkhianatan terhadap negara, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela oleh Presiden.

Pengalaman AS soal proses pemakzulan yaitu pada masa Presiden Andrew Johnson di tahun 1868, Presiden Richard Nixon pada tahun 1974, dan Presiden Bill Clinton pada tahun 1998. Adapun Richard Nixon yang memilih mengundurkan diri saat proses impeachment berjalan maka terhadap Andrew Johnson dan Bill Clinton berhasil selamat dari impeachment dan keduanya tetap menjabat sampai akhir periode. 

"Tidak terjadinya People Power di negara seperti Amerika Serikat sebenarnya bukan hanya soal kematangan berdemokrasi melainkan juga didukung faktor design ketatanegaraan mereka yang menempatkan masing-masing lembaga negara baik executive power, judicial power, maupun legislatif power memiliki wewenang yang terpisah antar satu dengan lainnya dalam dalam mewujudkan cheks and balances yang artinya saling mengawasi sehingga tercipta keseimbangan kekuasaan negara. Artinya kekuasaan tidak terpusat di satu tangan yang berpeluang menciptakan otoritarian yang dapat memantik adanya People Power," kata Bayu menerangkan. 

Nah, People Power mulai dikenal saat demonstrasi massal pada 1986 yang dilakukan rakyat Filipina dengan tujuan untuk mengakhiri rezim otoriter dan korup Presiden Ferdinand Marcos. Kemudian pada 2011 People Power dengan tujuan untuk mengakhiri rezim otoriter dan anti demokrasi di suatu negara terjadi di beberapa negara di kawasan Arab atau yang sering disebut dengan istilah Arab Spring atau musim semi Arab di antaranya adalah Tunisia, Mesir, Libya.

Di Indonesia, People Power pernah terjadi pada 1998 saat rakyat yang dipelopori mahasiswa berhasil membuat Soeharto yang telah berkuasa selama 32 Tahun untuk mundur dari tampuk kekuasaan. Tuntutan itu dipicu karena pemerintahan Soeharto dianggap mempraktikkan pemerintahan otoriter, korup dan pelanggaran HAM. 

"Dengan demikian dalam sejarahnya penggunaan istilah people power adalah gerakan massa secara besar-besaran dengan tujuan melakukan perubahan kekuasaan di suatu negara di luar cara konstitusional yang ditentukan dalam konstitusi. Alasan dilakukannya people power tersebut biasanya karena rezim yang berkuasa bersikap otoriter, anti demokrasi, korup dan melanggar HAM," papar Bayu. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini? Design ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi, menurut Bayu, sebenarnya sudah seperti Amerika Serikat. Yaitu membagi atau mendistribusikan kekuasaan di banyak lembaga negara dengan konsep saling mengawasi dan mengimbangi sehingga tidak ada satu lembaga negara yang terlalu dominan. 

Design UUD 1945 setelah perubahan juga secara jelas membatasi masa jabatan Presiden dan Presiden serta Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan di dalam masa jabatan hanya karena melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.

"Dengan design ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menunjukkan ciri adanya jaminan pelaksanaan Pemilu tiap 5 tahun dengan prinsip Luber dan Jurdil, tidak lagi adanya pemusatan kekuasaan negara di satu tangan, adanya batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, serta dapat diberhentikannya Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan karena melakukan pelanggaran hukum maka sesungguhnya ide people power yang saat ini digaungkan sejumlah orang tidak lah tepat," cetus Bayu.

Bisa kah People Power muncul karena dipicu persoalan kekalahan pemilu?

"People Power tidak terjadi karena desakan orang yang kalah dalam Pemilu. Melainkan people power sebagian besar terjadi ketidakpuasan mayoritas masyatakat atas penguasa yang otoriter yang berkuasa cukup lama tanpa batasan masa jabatan, korup dan sewenang-wenang tanpa batasan konstitusi, di mana kondisi tersebut saat ini tidak terjadi di Indonesia," jawab Bayu tegas.

 

 

KOMENTAR