Penghasilan Pemulung Bantar Gebang: Rp8.500 per Jam, Kerja 14 Jam Setiap Malam

JAKARTA, INAKORAN.COM
Dengan luas setara 200 kali lapangan sepak bola, Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Bantar Gebang menjadi salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Lebih dari delapan ribu ton sampah masuk ke wilayah ini setiap hari.
Salamun, seorang pria asal Indramayu Jawa Barat, telah bekerja sebagai pemulung selama sepuluh tahun di gunung sampah ini. Bersama 6.300 pemulung lain, pria dua anak ini bekerja hampir empat belas jam sehari.
Inakoran menemui Salamun di gubuknya di sekitar lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat pada Selasa (10/10/2023) sore. Gubuk sewaan yang mereka tinggali selama sepuluh tahun ini hanya berjarak 100 meter dari salah zona pembuangan sampah.
Saat ditemui, suami Dasty ini sedang mempersiapkan peralatan tempurnya berupa boot safety tipis dan senter kepala.
Salamun bekerja malam hari dari pukul 16.30-06.30 WIB. Dia bekerja enam hari dalam seminggu. “Tergantung kalau saya pengen istirahat, bisa libur di hari apa aja,” ungkap Salamun.
Penghasilan harian Salamun tidak pasti. Dengan harga jual kiloan berkisaran 400-700 perak, dia hanya bisa mengumpulkan uang sekitar 100-120 ribu semalam. Bekerja 14 jam untuk mendapatkan uang 120 ribu, Salamun dibayar rata-rata 8.500 per jamnya.
Salamun tidak bisa menjual hasil kerjanya secara bebas. Dia menjual sampah kepada pengepul sampah, yang dipanggil “Bos”, pemilik gubuk tempat dia, isteri dan kedua anak mereka tinggal.
“Kan saya di sini ikut sama bos, Pak. Cuman, kalau saya hasil mulung, dapat barang ditimbang sama dia, yang punya gubuk ini.”
Di lokasi penurunan sampah, Salamun berbaur dengan pemulung lain, di tengah deru bulldozer yang seakan mengancam mereka setiap waktu.
Casmani, sahabat Salamun yang juga berasal dari Indramayu mengaku lebih nyaman kerja malam, ketimbang siang hari. Suhu udara yang kelewat panas di siang hari menjadi alasan utama.
Sama seperti pemulung lainnya, Salamun dan Casmani harus bisa “adu mekanik” dengan bulldoser yang mengangkat sampah ke puncak gunung. Mereka harus ekstra hati-hati supaya terhindar dari bahaya diseruduk bulldozer sampah.
“Kalau urusan perut, beda cerita Pak. Soalnya kita kan butuh buat anak isteri yang di rumah. Kalau kita nggak nyari kayak gini, anak isteri kita nggak makan nanti,” ungkap Casmani yang ditemui zona tiga pembuangan sampah Bantar Gebang.
Seperti umum diketahui, kerja larut malam amat berbahaya bagi kesehatan. Dilansir laman kementerian Kesehatan, begadang menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga gampang sakit.
Namun, Casmani mengaku, dirinya baik-baik saja setelah sekian lama bekerja dari sore hingga pagi hari.
Ancaman penyakit yang senantiasa mengintai setiap saat, tidak sebanding dengan penghasilan rata-rata hanya 8.500 per jam. Kebutuhan hidup keluarga terpaksa harus bisa disesuaikan dengan pendapatan harian ini.
“Cukup nggak cukup, dicukup-cukupin aja, gitu. Kemampuan saya segitu. Jadi, ya mau gimana lagi,” tambah pria dua anak ini.
Berada ratusan kilometer dari tanah kelahiran, Salamun dan Casmani dipertemukan di gunung sampah Bantar Gebang oleh nasib dan rencana masa depan yang sama, yaitu ingin membahagiakan anak isteri dan memiliki rumah sendiri di kampung halaman di Indramayu.
“Alhamdulillah kebahagiaannya udah ada di anak. Saya anak dua. Cuman itu cita-cita saya ma, kalau Allah masih mau kasih rejeki, ingin punya rumah sendiri di kampung,” ungkap Salamun.

KOMENTAR