Peristiwa dan Fakta Hukum Membuktikan, Dalam 113 Tahun Ini Tidak Ada Hak Ulayat di Nangahale

Binsar

Friday, 14-02-2025 | 08:02 am

MDN
Petrus Selestinus SH, Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) [ist]

 

 

Jakarta, Inakoran

Klaim Hak Ulayat atas tanah Hak Guna Usaha (HGU) PT Krisrama, milik Keuskupan Maumere di Nangahale, Kabupaten Sikka, Flores, oleh para spekulan tanah dan aktor inteletualnya bermuatan menyesatkan dan menimbulkan keonaran di masyarakat. Padahal, berdasarkan data peristiwa dan fakta hukum membuktikan bahwa selama 113 tahun ini tidak ada Hak Ulayat di Nangahale.

Pernyataan itu disampaikan oleh Petrus Selestinus SH, Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) di Jakarta, Kamis (13/2/2025). Petrus saat ini adalah kuasa hukum PT Krisrama yang tergabung dalam Tim Advokasi Forum Komunikasi Komunitas Flobamora (FKKF) Jabodetabek yang diketuai Marsel Ado Wawo SH.

“Riak-riak kecil dan liar terkait klaim Hak Ulayat atas lahan PT Krisrama, yang dilakukan sekelompok kecil spekulan tanah atas nama ‘masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut’ menyita perhatian banyak pihak karena informasi yang disajikan bermuatan menyesatkan dan berpotensi menimbulkan keonaran di tengah masyarakat,” kata Petrus.

Menurut advokat senior kelahiran Sikka ini, warga Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut di Sikka timur telah disesatkan oleh sekelompok kecil aktor intelektual. Warga dua suku itu digiring ke dalam pemahaman yang keliru, yang mengatakan, bahwa ada masyarakat adat dan ada tanah ulayat. Klaim itu tidak ada dasar hukum dan fakta sejarahnya selama lebih dari satu abad ini.

“Mengapa demikian, karena faktanya selama 100 tahun lebih lahan HGU Nangahale yang dikelola secara terus-menerus oleh perusahaan dengan legal standing yang sah dan beberapa kali telah terjadi ‘peristiwa hukum’ berupa pelepasan hak, pengalihan hak dan perubahan penggunaan lahan dan peristiwa hukum lainnya, tidak pernah ada gugatan apa pun,” katanya.

Anehnya, kata Petrus, saat ini tiba-tiba muncul pihak ketiga yang mengatasnamakan diri Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut mengklaim sebagai Masyarakat Adat dan memiliki Hak Ulayat.  Mereka tiba-tiba membangun beberapa rumah semi permanen di atas lahan bersertifikat HGU yang sah secara hukum, yang diberikan Negara kepada PT Krisrama.

Tindakan pihak ketiga, yang datang dari luar, memprovokasi warga dua suku itu. Lalu menghasut warga untuk ikut membangun pondok-pondok darurat di atas lahan Negara, yang telah diserahkan kepada PT Krisrama dengan status HGU.  Mereka provokator sesungguhnya,” katanya.

Pertanyaannya, kata Petrus, apakah apa yang disebut "Suku Soge Natar Mage" dan "Suku Goban Runut" pada masa lampau dan masa kini memiliki legal standing sebagai "Masyarakat Adat" yang melekat "Hak Ulayat" di atas lahan HGU Nangahale?

“Jawabannya, tidak! Karena kedua suku ini tidak pernah muncul sebagai satu kesatuan Masyarakat Adat yang secara nyata eksis, sesuai dengan syarat pasal 18B ayat (2) UUD 45 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok-Pokok Agraria.

Menurut Petrus, Pasal 18B Ayat (2) UUD 45 secara tegas menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang".

Ketentuan ini, menurut dia, mengkonfirmasi bahwa Kesatuan Masyarakat Adat dengan hak-hak tradisionalnya (Hak Ulayat), harus ada secara nyata. Eksistensinya harus jelas dan sejalan dengan prinsip NKRI, yaitu nasionalitas, unifikasi dan kepastian hukum, hak ulayat, hak menguasai negara atas tanah, dan sebagainya. Ini tidak ada di wilayah Kabupaten Sikka.

Organisasi Tanpa Bentuk

Klaim kelompok yang menamakan diri masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut, bahwa pihaknya punya hak ulayat di atas lahan HGU PT Krisrama (d/h. PT DIAG), ternyata tidak memiliki landasan hukum. “Ternyata, selama 100 tahun lebih terhitung sejak tahun 1912 sampai sekarang, tidak ada dalam kenyataannya, tidak dikenal, bahkan tidak terdaftar sebagai pemegang hak ulayat di Kantor Pertanahan Sikka,” kata Petrus.

Dengan demikian, kata Petrus, dapat dipastikan bahwa kelompok yang menamakan diri masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut, tidak punya data fisik dan data yuridis. Juga tidak pernah membayar PBB terkait klaim sebagai pemegang hak, terlebih-lebih tidak pernah terus menerus menguasai fisik dan produktif mengelola lahan.

Petrus, sama seperti juga praktisi hukum lainnya di Tim Advokasi FKKF, menegaskan, warga Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut, telah terseret ke dalam pusaran hampa oleh para spekulan tanah dan aktor intelektualnya.  Mereka telah diprovokasi dan dihasut untuk mengklaim diri sebagai warga masyarakat adat. Padahal faktanya tidak ada masyarakat adat dan tanah ulayat.

“Mereka secara faktual selama lebih dari 100 tahun tidak pernah menunjukan eksistensinya di atas lahan HGU PT. Krisrama, sesuai syarat yang diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok-Pokok Agraria. Maka sesungguhnya, public sedang berhadapan dengan organisasi tanpa bentuk (OTB) yang diciptakan oleh para provokator dan spekulan tanah,” katanya.

Secara konstitusi terhitung sejak 18 Agustus 1945, lahan HGU Nangahale termasuk obyek yang dikuasai oleh Negara. “Oleh karena itu Negara berhak memberikan HGU kepada orang atau badan hukum yang secara hukum memenuhi syarat, bukan kepada mereka yang mengatasnamakan diri Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut," kata Petrus lagi.

 

Tim Advokasi Forum Komunikasi Komunitas Flobamora (FK2F) Jabodetabek menemui Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto Sipin, Selasa (11/2/2025) sore di Jakarta [dokumentasi peribadi]

 

Pemberian SHGU oleh Negara kepada PT. Krisrama pada tahun 2023, bukanlah proses yang instan. “Itu dilakukan melalui berbagai tahapan, kajian, dan memperhatikan dinamika yang berkembang di lapangan. Terutama dengan memvalidasi data fisik dan yuridis yang dijadikan dasar permohonan SHGU PT. Krisrama, yang diajukan sejak tahun 2013 sehingga sertifikat HGU diberikan,” kata Petrus.

Fakta dan Peristiwa hukum

Petrus mengatakan, jika kita mencermati sejarah kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan atas Tanah HGU Nangahale dengan alas hak sertifikat hak guna usaha (SHGU) atas nama PT Krisrama, maka sejumlah peristiwa dan fakta hukum yang ada, sulit untuk disangkal kebenaran dan keabsahan alas hak SHGU atas nama PT Krisrama.

“Begitu juga, sulit rasanya untuk mengakui eksistensi kelompok yang menamakan diri masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suko Goban Runut. Itu pula sebabnya klaim tentang adanya Hak Ulayat masyarakat adat di atas lahan SHGU PT Krisrama di Nangahale, sangat tidak beralasan. Ini hanya mimpi di siang bolong,” katanya.

Ada sejumlah peristiwa dan fakta Yuridis serta fakta sosial yang tak terbantahkan terkait lahan SHGU di Nangahale. Hal itu pun telah memperkuat legal standing PT Krisrama dalam pemilikan dan penguasaan serta pengelolaan lahan SHGU di Nangahale.

Tim Advokasi FKKF telah menghimpun beberapa peristiwa dan fakta yuridis dimaksud. Pertama, pada tahun 1926, Perusahaan Belanda, yakni NV Amsterdam Soenda Compagni menjual tanah seluas 1.438 Ha kepada Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden dengan harga (waktu itu) F. 22.500 gulden.

Kedua, pada tahun 1956 Vikariat Apostolik Ende, dengan surat tanggal 16 Desember 1956 No.981/V/56 mengajukan permohonan kepada Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian tanah konsesi Nangahale seluas urang lebih 783 Ha. Permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Swapraja Sikka dengan Surat Keputusan pada 18 Desember 1956 Nomor 3/DPDS.

Lalu ketiga, pada tahun 1979, setelah diberlakukan UU Pokok Agraria sehingga terbitlah Kepres No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat maka Pemegang Konsesi (Keuskupan Agung Ende) mengajukan permohonan HGU atas tanah Perkebunan Nangahale.

Keempat, pada 20 Juli 2023 Negara melalui Kepala Kantor Wilayah Provinsi NTT dengan Surat Keputusan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi NTT No. 01/HGU/ BPN.53/VII/ mengeluarkan Keputusan Pemberian HGU kepada PT. Krisrama seluas 3.258.620 meter persegi atau 325,86 hektar.

Dari peristiwa hukum, fakta-fakta hukum dan fakta sosial yang berkembang di tengah masyarakat, maka narasi atau diksi yang dihembuskan dan dikembangkan oleh provokator lapangan bahwa Gereja melanggar HAM, menggusur rumah warga atau umatnya. “Ini pernyataan yang sesat dan menjadikan masyarakat yang kurang pendidikan dan miskin sebagai obyek eksploitasi,” kata Petrus.

Harus disadari pula bahwa dengan adanya 10 SHGU atas nama PT. Krisrama di atas lahan HGU Nangahale, maka PT Krisrama dilarang Negara untuk menyerahkan pemanfaatan tanah HGU Nangahale kepada pihak lain. Kecuali itu diperbolehkan oleh dan menurut peraturan perundang-undangan. Provokasi oleh para spekulan tanah dan aktor intelek tual benar-benar menyesatkan.

 

 

KOMENTAR