Perluasan Pasal Zina Bisa Jerat Poligami dan Nikah Siri

Inakoran

Friday, 02-02-2018 | 05:43 am

MDN
Ketua DPR Bambang Soesatyo [ist]

 

Jakarta, Inako 

 


Perluasan pasal perzinahan dalam Rancangan KUHP akan berdampak pada nikah siri dan praktek poligami. Kedua bentuk kehidupan bersama itu berpotensi masuk tindak pidana perzinahan.

Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Ajeng Gandini, saat ditemui di kantor ICJR, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (31/1/2018).

"Nikah siri, poligami dan nikah secara adat juga bisa kena dipidana. Kalau RKUHP ini jadi mereka bisa dipidana," ujarnya.

Pernyataan Ajeng didasari ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama dan dicatatkan oleh negara.

Sedangkan, nikah siri dan poligami yang tidak disertai izin istri pertama dianggap sebagai perkawinan yang tidak sah secara hukum karena secara administrasi kependudukan tidak dicatat.

Sementara pada pasal 484 ayat (1) huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

"Nikah siri juga bisa kena kan bukan perkawinan yang sah. Dalam UU Perkawinan, perkawinan yang sah itu perkawinan yang dicatatkan oleh negara," tuturnya.

Sebelumnya Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) Komisi III, muncul usulan untuk memperluas pasal zina. Selama ini perbuatan zina yang bisa dipidana mensyaratkan adanya ikatan perkawinan

Sementara, dalam RKUHP diusulkan, dua orang yang melakukan zina tanpa ikatan perkawinan yang sah bisa dipidana dan termasuk dalam delik aduan.

Di sisi lain, Ajeng memprediksi jika perluasan pasal zina tersebut disetujui dan disahkan maka masyarakat miskin akan menjadi pihak yang paling banyak mengalami akibatnya.

Sebab, lanjut Ajeng, banyak orang memutuskan menikah siri karena faktor ekonomi dan geografis. Orang-orang yang tinggal di daerah terpencil kerap menikah secara adat atau agama dan tidak dicatatkan karena jarak kantor pencatatan sipil yang sangat jauh.

KOMENTAR