Perspektif NU Tentang Pribumisasi Islam Ala Dedi Mulyadi di Jawa Barat

Hila Bame

Saturday, 28-12-2024 | 10:50 am

MDN

 

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan .

JAKARTA, INAKORAN

Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat terpilih perlu dibela, tidak layak dituduh "kafir" "musyrik", sesat dan menyesatkan hanya karena ekspresi keagamaannya sangat "nyunda", kental dengan atribut simbolik budaya lokal "sunda".

Pembelaan ini bukan tentang personal Dedi Mulyadi tapi cara pandang meletakkan Islam selalu dibaca secara konfliktual dan "head to head" berhadap hadapan dengan budaya lokal, dalam hal ini "sunda", mayoritas etnis di Jawa Barat. 

Islam tidak selayaknya menjadi "alat pukul" untuk menghakimi "musyrik" kebudayaan lokal. Isu agama (Islam) selalu menjadi trend untuk dikapitalisasi sebagai alat branding memukul pihak lain.

Ini berbahaya dan berpotensi merusak sendi sendi integrasi kebangsaan dalam keragaman spektrum nilai nilai Pancasila, sebuah konsensus  final arah kiblat bangsa. NU menyebutnya "Mu'ahadah Wathaniyah", Pancasila sebagai kesepakatan final kebangsaan. 

Prof Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam bukunya "Keislaman, Keindonesiaan Dan Kemodernan" menyebutnya "kalimatun sawa'", Pancasila adalah titik temu keragaman dalam keindonesiaan.

"Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang arab, kalau jadi kristen jangan jadi orang yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini", tegas Bung Karno.

Dalam konteks Islam Gus Dur menegaskan "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan "aku" menjadi "ana", sampean menjadi "antum". Pertahankan apa yang menjadi milik kita, kita serap ajarannya bukan budaya arabnya".

Itulah perspektif Bung Karno meletakkan agama agama dalam "taman sari" keragaman budaya Nusantara. "Ambil apinya, buang abunya, ambil spirit Islamnya, buang budaya arabnya", kata Bung karno dalam bukunya "Api Islam". 

Spirit Bung Karno di atas oleh Gus Dur secara konseptual dalam konteks Islam  disebut "Pribumisasi Islam"  - di kemudian hari dalam konteks NU sebagai "jam'iyah", sebagai ormas, dijadikan platform keislaman NU, yakni "Islam Nusantara".

Dalam konstruksi cara pandang itulah kita membaca ekspresi keislaman Dedi Mulyadi dalam konteks kebudayaan Sunda. Bukan merubah ajarannya melainkan ekspresi budayanya "dipribumisasikan" dalam budaya lokal "Sunda". 

Dengan kata lain perspektif NU meletakkan ekspresi keislaman Dedi Mulyadi dalam kebudayaan "Sunda" adalah proses "Pribumisasi Islam" di tatar budaya Sunda. Jadi Pribumisasi Islam  bukan "jawanisasi" atau "sundaisme" Islam

Di Jawa Barat dalam dua dasawarsa terakhir pasca reformasi berdasarkan hasil penelitian dan riset survey (baca tulisan penulis di media "Inakoran", 12/10/2022, berjudul "Longgarnya NU Di Jawa Barat") terdapat  kecenderungan menguatnya narasi memahami agama (Islam) secara monolitik, ekslusif dan radikal. 

Intensitasnya makin tinggi bersamaan dengan massifnya penetrasi media sosial masuk ke  ruang ruang privat warga membawa konten konten ideologi agama "trans nasional", lintas teritorial negara. 

Islam dipahami dengan semangat  "ideologis" dengan rujukan "tafsir"  Al Qur an bahwa "Islam adalah agama paling sempurna mengatur seluruh "sistem" kehidupan (Q.S. Al Maidah, 3)

Islam diletakkan sebagai "sistem" sosial alternatif mengatur sepenuhnya sistem kehidupan mulai sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain lain bersifat monolitik dan "oposisi" terhadap ideologi politik dan budaya  lain yang beragam.

Bahaya dari cara pandang formalisme Islam sebagai "sistem" sosial adalah bertumbuhnya proses "arabisasi" atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya "arab" sehingga kita tercerabut dari akar kekayaan budaya sendiri.

Dari sini hulu menguatnya "Islam politik" dengan tampilan ekspresi sosial budaya "paling syar'i" lalu dengan mudah melabeli pihak lain di luar kelompoknya  sebagai "thaghut" dan "kafir".

Fenomena sosial keislaman di atas harus "dicegah", sekali lagi, bukan persoalan untuk membela Dedi Mulyadi dari tuduhan "kafir" dan "musyrik"  oleh sekelompok ormas Islam tertentu melalui sejumlah kanal dan platform media sosial

Aksentuasi dan tekanannya adalah untuk menghindarkan benturan agama versus budaya menjadi konflik sosial yang tajam, sangat membahayakan sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hanya dengan cara pandang meletakkan Islam dalam akomodasi kebudayaan lokal  - tentu sejauh tidak masuk ke wilayah aqidah dan norma peribadatan -; integrasi kebangsaan kita akan kokoh dan kuat dalam tali ikat kohesi sosial.

 

TAG#ADLAN

185491731

KOMENTAR