Pilkada 2024 Usai, Antara Janji dan Harapan Publik yang Melambung Tinggi

JAKARTA, INAKORAN.COM
Pilkada serentak 2024 telah usai. Pemerintah menghabiskan 40 Triliun untuk pilkada serentak 2024, tak terbilang pula berapa triliun dana yang dihabiskan para kandidat.
Tugas dan tanggung jawab kepala daerah terpilih saat kelak resmi dilantik sebagai bagian dari susunan pemerintahan adalah "memajukan kesejahteraan umum" (Pembukaan UUD 1945). Itulah janji republik.
Frase kalimat "memajukan kesejahteraan umum" direduksi dalam janji janji kampanye menjadi janji "meningkatkan kesejahteraan rakyat", lebih pragmatis dan transaksional secara elektoral.
Frase kalimat "memajukan kesejahteraan umum" adalah rumusan "sempurna" para pendiri bangsa, "the founding fathers" untuk menuntun arah jalan masa depan peradaban bangsa tidak transaksional, tidak segmentasi golongan.
Sayangnya kalimat janji "meningkatkan kesejahteraan rakyat" lebih sering dipakai untuk mengirim pesan seolah olah kelak jika terpilih bisa "bagi bagi" kepada rakyat secara "cash", ibarat malaikat "pembagi rejeki" tak lupa lalu "selfi selfi".
Janji politik dalam prinsip "democratic accountability" mengandung dua dimensi sekaligus, yakni dimensi moral dan dimensi "kontraktual".
Dimensi moral mengandung tanggung jawab untuk memenuhi harapan rakyat yang melambung tinggi atas janji-janji kandidat saat masa kampanye.
Dimensi "kontraktual" adalah keniscayaan bagi kandidat terpilih untuk menerjemahkan dalam kebijakan operasional dan terukur.
Dalam posisi politik inilah kepala daerah terpilih berdiri. Ia berdiri di antara janji politik yang melambungkan harapan rakyat. Rakyat dengan "caranya" akan menagih janji janji kandidat yang dipilihnya pasca resmi dilantik.
Ekspektasi dan "mood" publik mudah berubah oleh waktu atas pemimpin yang dipilihnya, terlebih di era media sosial jika tidak tepat merespon harapan mereka dalam artikulasi "policy" kebijakan yang tepat dan terukur.
Sementara di sisi lain kewenangan kepala daerah terbatas dipagari regulasi, tidak sederhana membuat terobosan untuk menampung tuntutan "tim sukses" dan harapan publik yang melambung tinggi kecuali "main trabas" dengan resiko hukum akan menjeratnya.
Karena itu kekuasaan politik yang telah dimandatkan rakyat harus selalu dijaga dan dirawat dengan mengartikulasikan janji politik secara terukur, tidak terjebak "sarang laba-laba" korupsi dari hulu kebijakan hingga hilir "cash money".
Strateginya kekuasaan politik yang diraihnya diletakkan sebagai jalan resiko pengabdian bukan panggung baru untuk memulai pesta pora bersama anasir-anasir pendukung dan bandar bandar politik di belakangnya. Ini hulu dari sebab sebab kegagalan kepemimpinan politik.
Kini saatnya membangun rekonsiliasi politik, menjahit kohesi sosial, menguatkan dukungan publik dan sebagai konsekuensi dari demokrasi harus "open minded", selalu membuka ruang kritik dari siapapun.
Tanpa kritik dan "political balancing" kekuasaan akan cepat mengalami "obesitas" dan "penuaan" dini, tidak sehat dan hanya mempercepat bau "busuknya" untuk dibuang oleh rakyatnya.
Oleh: H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
TAG#pilkada
190214997
KOMENTAR