Pilkada, Golkar Indramayu dan H. Yance

Oleh : H. Mahpudin, SH., MM., M.Kn.,Dosen Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
Indramayu, Inako
Pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi bangsa ini merupakan instrumen demokrasi pada level lokal guna melibatkan semua warga dalam proses politik. Sehingga proses politik menjadi persoalan bagi semua warga. Di sini berlaku prinsip kesetaraan formal. Setiap orang memiliki hak berpendapat dan hak suara yang sama. Persoalan-persoalan politik diselesaikan berdasarkan keputusan suara terbanyak. Namun, jika demokrasi hanya bergerak pada tataran formal prosedural semata, ia dapat menjadi topeng bagi sistem diktatorian.
Demokrasi substansial harus dibangun di atas basis rasionalitas dan kejujuran. Tanpa basis rasionalitas dan kejujuran maka demokrasi tidak akan menemukan tujuan utamanya yaitu kemaslahatan publik tetapi sebaliknya yakni muslihat publik, yaitu kebijakan publik yang diambil berdasarkan subyektifitas dan pembohongan publik. Kasus-kasus korupsi yang menimpa para kepala daerah menunjukan fakta bahwa demokrasi kita baru sebatas pada demokrasi prosedural belum pada demokrasi substansialnya.
Rasionalitas demokrasi terwujud lewat demokrasi deliberatif atau diskursif. Dalam demokrasi deliberatif, proses pembentukan opini dan kehendak harus diinstitusionalisasi (Habermas, 1992). Tujuannya agar sebanyak mungkin warga masyarakat dapat berpartisipasi dalam diskursus-diskursus tentang persoalan-persoalan publik dan hajat hidup orang banyak. Kehendak dan kemauan bersama yang terbentuk secara spontan, kreatif, dan bersifat desentralistis ini menjamin pluralitas opini publik.
Tujuan dari proses ini ialah konsensus rasional yang terbentuk secara komunikatif. Hanya dengan jalan ini norma-norma kehidupan bersama mendapat legitimasi yang cukup dan mendorong warga untuk menerapkannya dalam kehidupan masyarakat berbasis solidaritas sosialnya.
Kohesi sosial sebuah komunitas politik yang demokratis akan terwujud jika struktur dan prosedur deliberatifnya dibentuk. Artinya, jika enititas partai politik menciptakan prosedur di mana semua pihak terkait dapat berpartisipasi di dalamnya. Tujuan prosedur tersebut ialah terbangunnya konsensus rasional untuk pengambilan keputusan yang legitimet.
Dengan demikian, design deliberatif tersebut merupakan jaminan bagi kohesi atau kesatuan entitas sosialnya. Prosedur deliberatif yang menggambarkan rasionalitas komunikatif memperkokoh kesatuan dalam entitas organisasi yang bersangkutan.
Dari narasi inilah Keputusan DPD Partai Golkar Indramayu sebagai entitas partai politik yang membuka diri terhadap partisipasi publik dengan membuka secara umum pendaftaran dan penjaringan bakal calon bupati dan wakil bupati pada pilkada serentak tahun 2020 menemukan landasan teorinya.
Bukan hanya berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan fakta atas problematika dan dinamika yang menyertainya. Landasan teori ini penting dikemukakan bagi Partai Golkar Indramayu karena terbentuknya persepsi publik atas kader-kader dan pengurusnya yang “terkungkung” oleh dominasi satu orang.
Dalam bahasa yang dikemukakan oleh H. Adlan Dai (pada salah satu media online) elite partai Golkar yang hari ini di panggung jabatan politik Indramayu hanyalah subkon politik dari varian kecil politcal power H. Yance. Meminjam analisis Jefry Winters dalam bukunya Power In Motion, mereka tidak memiliki inner power politik dalam dirinya, kaki politiknya tidak berdiri di atas rangka kayu yang kokoh kecuali sekedar balok balok kecil yang disusun dalam skema piramida politik H. Yance. Dalam metafor lain, mereka menggantung dalam tarikan tali ikat politik H. Yance.
Akan tetapi skeptimisme H. Adlan Dai tersebut terbantahkan dengan keputusan Partai golkar yang “berani” membuka diri atas proses demokrasi ini dengan terbentuknya Tim Penjaringan Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati yang diketuai oleh H. Syaefudin, SH. Keputusan ini dalam pandangan saya, menunjukan bahwa sesungguhnya mereka para kader dan pengurus Golkar Indramayu punya kemampuan baik secara mandiri maupun kolektif untuk mengurus Partai Golkar dan berkhidmat kepada kesejahteraan rakyat secara umum tanpa harus “diatur-atur” apalagi dengan ungkapan verbal dan gestur berupa “tekanan-tekanan” pisik dan psikhisnya.
Sehingga yang tidak sepaham dianggap sebagai menentang dan karenanya harus disingkirkan.
Karena teori kekuasaan yang pakainya mengunakan teori kekuasan Max Weber (1922) yang menyatakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri, sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini.” Bukan mempraktekan teori kekuasaan yang diajarkan secara Islami, walaupun visinya adalah religius.
Bagi Partai Golkar Indramayu, adalah suatu hikmah dan pembelajaran berharga atas terjadinya kasus yang menjerat epicentrum kekuasaan di Indramayu dan membuka tabir kebohongan yang selama ini berusaha keras untuk ditutupi. Salah satu hikmah yang sudah ditunjukan adalah keberanian dan kemampuan meng-improvisasi sekaligus mengeksekusinya dari suatu keadaan yang sudah mengunci kepada keputusan kolektif berbasis argumentasi teori dan fakta untuk membuka pendaftaran bakal calon bupati dan wakil bupati secara terbuka. Hal ini menjadi entri point untuk mencipatkan tradisi baru bagi entitas partai golkar Indramayu.
Tradisi baru yang harus diciptakan bagi entitas dan pengurus golkar Indramayu, diantaranya adalah pertama, harus sudah diakhiri tradisi menggantungkan pada satu figur tokoh, karena efek negatifnya sudah sangat bisa dibaca dan dirasakan. Kedua, mencipatkan budaya egaliter, tradisi dialog dan diskusi harus menjadi budaya organisasi, sehingga keputusan yang diambil bukan berdasarkan kehendak satu pihak tetapi kehendak bersama. Ketiga, regenerasi dan kaderasasi mesti berjalan dengan skema dan pola yang sistematis. Dengan segala hormat kepada para senior dan kasepuhan untuk memberi kesempatan kepada kader-kader muda untuk mengurus partai. Sudah saatnya yang sepuh untuk tut wuri handayani dan mempersiapkan diri untuk akheratnya agar husnul khotimah. Keempat, menumbuhkan kembali sikap mental atas nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan, bukan semata aspek menang-menangan. Kelima, ikrar panca bakti dan slogan soliditas dan solidaritas bukan semata ikrar dan slogan yang terus diucapkan tetapi tanpa aktualisasi pada prakteknya.
Bagi H. Yance ada baiknya mengingat kembali lirik lagu Iwan Fals yang hit pada tahun 1990-an yang berjudul Pak Tua : “ ... kamu yang sudah tua, apa kabarmu ... katanya baru sembuh ... katanya sakit ... jantung ginjal dan encok, sedikit saraf .... hati-hati pak tua ... istirahatlah... di luar banyak angin ... kamu yang murah senyum, memegang perut, badanmu semakin tambun, memandang langit... hari menjelang magrib, pak tua ngantuk... istri manis menunggu, istirahatlah... di luar banyak angin... pak tua sudahlah ... engkau sudah terlihat lelah, o eya .. pak tua sudahlah ... kami mampu untuk bekerja , o e ya .. pak tua ... hu... hu... “ .
Dengan doa yang sama mengutip doanya H. Adlan Dai dengan redaksi tambahan semoga Bapak H. Yance dimudahkan melewati dampak lanjutan dari kasus OTT KPK dan melewati hari-harinya sebagai pandito lebih tenang, lebih khusyuk beribadah, melakukan aktivitas keummatan dan keagamaan lainnya, sehingga tidak ditarik-tarik kembali dalam konstelasi politik yang rumit dan melelahkan baik pisik maupun ruhaninya. Cukuplah menjadi Tut Wuri Handayani bagi generasi penerusnya. Semoga husnul khotimah. Aamiin.
Wallohu a’lam bisy-syowab.
Semoga ada manfaatnya.
Simak Videonya jangan lupa "klik Subscribe and Like"
TAG#Indramayu, #Pilkada Indramayu, #Partai Golkar, #H Yance
198731924

KOMENTAR