Pilkada Tanpa Calon Wakil Kepala Daerah, Proposal Politik Untuk Mendagri

Hila Bame

Monday, 23-12-2024 | 11:25 am

MDN
H. Adlan Daie Analis politik dan sosial keagamaan

 

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Pilkada tanpa calon "wakil" kepala daerah layaknya pemilihan kepala desa (Pilwu") tanpa "pasangan" wakil penting diangkat sebagai proposal politik dalam perdebatan atas usul Presiden Prabowo untuk mengembalikan pilkada dipilih oleh DPRD

Terlebih formulasi revisi UU politik dalam bentuk paket "Omnibus low" (mencakup UU pileg, UU pilpres, UU pilkada) telah masuk dalam prioritas Badan legislasi DPR RI untuk dibahas Tahun 2025.

Dalam konstitusi, yakni UUD 1945 (hasil amandemen 2001), pasal 18 ayat 4  disebutkan bahwa "Gubernur, Bupati, Walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis". 

Artinya dalam perspektif konstitusi di atas, bukan sekedar pilkada dapat dipilih dengan opsi langsung atau oleh DPRD tetapi juga tidak disebutkan harus "berpasangan", bahkan tidak ada kewajiban konstitusional pilkada dilaksanakan dalam "lima tahun" sekali.
  
Konstitusi tidak memerintahkan pilkada harus dalam paket "berpasangan". Dengan kata lain jabatan "wakil" kepala daerah sesungguhnya "tak dirindukan" kehadirannya dalam perspektif konstitusi (UUD) kecuali saat ini hanya diatur dalam Undang Undang turunannya.

Hal nii jelas berbeda dengan posisi "wakil" Presiden disebutkan secara eksplisit dan "imperatif" dalam UUD 1945 pasal 8 ayat 1 tentang kedudukan dan fungsi "wakil" Presiden. Secara periodik bersamaan dengan pileg (pemilu legislatif) pilpres juga wajib dilaksanakan dalam "lima tahun" sekali.

Saat ini mulai berkembang usulan dari elite politik dan penggiat demokrasi skenario pilkada ke depan kemungkinan dilaksanakan tahun 2032, dua tahun setelah pileg dan pilpres 2029 -  untuk menghindari beban penumpukan pesta politik di tahun yang sama.

Jika skenario ini kelak masuk dalam ketentuan revisi UU pilkada maka kepala daerah yang terpilih dalam pilkada serentak 2024 dan dilantik tahun 2025, akan berakhir tahun 2030. Dua tahun sisa waktu menuju pilkada serentak 2032 jabatan kepala daerah diisi "penjabat" kepala daerah.

Dalam perspektif ini proyeksi ke depan penting Kemendagri melakukan telaah konstruksi yuridis terkait pilkada "tanpa wakil" layaknya  pemilihan kepala desa ("Pilwu") tunggal tanpa berpasangan dalam revisi Undang Undang pilkada.

Pasalnya sebagaimana disebutkan di atas UUD 1945 tidak memerintahkan pilkada harus "berpasangan", tidak membutuhkan amandemen UUD 1945 kecuali tentu dengan kajian mendalam untuk diatur dalam Undang Undang turunannya.

Misalnya terkait kemungkinan kepala daerah "berhalangan tetap" apakah otomatis ditunjuk pejabat dari "pusat" atau "pemilu sela" secara langsung atau lewat DPRD untuk memilih kepada daerah mengisi periode berakhirnya sisa jabatan.

Proposal politik ini untuk menjawab catatan Kemendagri hampir 80% kepala daerah "tidak harmonis" dengan pasangan "wakilnya" baik karena intrik persaingan politik atau "egoisme bawaan"' kepala daerah tidak mau berbagi peran dan tugas dengan "wakilnya" .

Posisi "wakil" kepala daerah adalah jabatan "paling" membutuhkan kouta kesabaran tinggi. Berkeringat "bersama" saat kontestasi politik tapi tidak memiliki kewenangan saat terpilih. Posisi politiknya sangat "nestapa" dan "yatim piatu"' dalam konstitusi dan Undang Undang turunannya.

Problem problem konstitusional dalam perspektif pilkada itulah harus dikaji bersamaan dengan kajian apakah pilkada akan tetap dilaksanakan secara langsung atau sebagaimana usul Presiden Prabowo untuk dipilih DPRD di tingkatan masing masing. 
 

 

TAG#ADLAN

198735488

KOMENTAR