Pilkada Versus Covid 19

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.
Jakarta, Inako
Tak terbayangkan dalam sirkulasi akal sehat publik, setidaknya dalam perspektif penulis, bahwa hasil rapat secara virtual.pada tanggal 14 April 2020, antara mendagri, komisi II DPR RI, KPU RI, Bawaslu RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiku (DKPP) begitu berani bertaruh dengan resiko besar memutuskan pilkada serentak digelar tanggal 9 Desember 2020, diundur hanya kurang dari tiga bulan dari jadwal semula tanggal 23 September 2020 di tengah perang melawan pandemi Covid 19 dengan dampak luka lahir batin publik serta akibat sosial.dan ekonomi turunannya.
Implikasi dari keputusan pilkada serentak digelar pada tanggall 9 Desember 2020 di atas :
Pertama, memecah konsentrasi sumber daya pemerintah tidak sepenuhnya fokus melawan Covid 19, minimal di 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak. Inilah antara lain yang menimbulkan keraguan publik atas kesungguhan komitmen pemerintah dan DPR RI dalam percepatan penanganan wabah Covid 19 yang makin meluas di seluruh wilayah Republik Indonesia meskipun Presiden dalam Keppres no 12 tahun 2020 tanggal 13 April 2020 telah menetapkan.wabah Covid 19 sebagai bencana nasional non alam.
Kedua, memaksa para bakal calon kepala dan wakil.kepala daerah serta pihak pihak terkait lainnya melakukan persiapan teknis tahapan pilkada dan konsolidasi politik melibatkan pertemuan pertemuan secara berkerumun. Sebuah langkah politik partisipatif yang wajar dan tidak dapat digantikan dengan pola daring, virtual atau online di satu pihak dan di pihak lain justru akan dihalau oleh pihak berwajib sebagai konsekuensi dari kebijakan Presiden tentang jaga jarak sosial untuk mencegah mata rantai penularan wabah Covid 19.
Ketiga, meletakkan kesepakatan pilkada serentak digelar 9 desem 2020 di atas dengan asumsi masa darurat pandemi Covid 19 berakhir tanggal 29 Mei 2020 untuk selanjutnya dimulai kembali tahapan pilkada pada awal bulan Juni 2020 adalah asumsi konyol dan coroboh, memisahkan wabah Covid19 dari dampak ekonomi sosial turunannya yang mendera nyaris seluruh sendi sendi kehidupan rakyat. Seolah olah negara akan runtuh tanpa pilkada dan lebih penting dibanding urusan recovery dan pemulihan ekonomi serta normalisasi kehidupan sosial pasca terdampak pandemi Covid 19 yang maha dahsyat.
Keempat, inisiatif KPU RI untuk merubah semua tahapan pilkada disesuaikan dengan protokol kesehatan dilakukan secara virtual, daring dan online mulai dari verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, pendaftaran pasangan calon ke KPUD dan model kampanye hingga pencoblosan via pos keliling menunjukkan bahwa pemahaman KPU RI tentang pilkada sangah rendah. Pilkada diletakkan hanya sekedar urusan teknis, bukan sebagai proses partisipasi publik dalam konteks politik secara langsung. Pilkada bukan ibarat layanan samsat secara online melainkan proses politik parsipatif yang bersifat LUBER, tak tergantikan dengan pola daring dan online.
BACA JUGA: Pilkada dan Kesepakatan yang Ceroboh
Implikasi implikasi di atas itulah seharusnya menjadi dasar utama kearifan mendagri, komisi II DPR.RI, KPU.RI dan pihak pihak terkait lainnya untuk tidak ceroboh menetapkan timeline pilkada pada tanggal 9 Desember 2000 sehingga sumber daya aparatur dan dana pilkada dapat direalokasi dan difokuskan sepenuhnya pada percepatan penanganan wabah Covid 19 sebagaimana berkali.kali disampaikan presiden dalam berbagai kesempatan kecuali ritual pilkada yang sesungguhnya mudah diundur di waktu normal dipandang lebih berharga dibanding penderitaan sosial dan ekonomi rakyat atas dampak dampak turunan wabah Covid 19.
Negara menurut konstitusi tugas utamanya adalah melindungi seluruh tumpah darah segenap bangsa. Makna kontekstualnya jelas bahwa siapa pun pemegang otoritas negara dalam hal ini terkait pelaksanaan pilkada harus meletakkan diri sebagai bagian dari ikhtiar percepatan pencegahan wabah Covid 19 dengan menghindarkan diri dari pengambilan keputusan yang justru paradoks dengan memaksakan pilkada seolah olah versus Covid 19.
Karena itu, dalam konteks ini sejauh pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020 masih berupa kesimpulan rapat antata mendagri dan komisi II DPR.RI dan belum menjadi keputusan mengikat secara yuridis dalam lembaran negara perlu direvisi ulang dengan mempertimbangkan waktu pelaksanaannya dari segala aspek normalisasi kehidupan publik pasca terdampak wabah covid 19 sebagaimana update info terakhir dihendaki pula oleh ketua komisi I DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Dalam konteks ini penting bagi KPU RI untuk berhenti berkreasi secara teknis yang merendahkan martabat pilkada ibarat layanan samsat secara online dan meletakkan pilkada dalam konteks sebagai proses politik partisipatif secara langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER).
BACA JUGA: Berbagi Dalam Senyap Dalam Keriuhan Bencana Covid-19
Semoga bermanfaat.
TAG#ADLAN DAIE, #CORONA, #PILKADA 2020, #PILKADA VERSUS COVID 19
190215979

KOMENTAR