Pilpres AS 2020 Dan pelajaran Bagi Indonesia

Jakarta, Inako
Berbagai lembaga polling Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa calon Presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, telah berhasil memperoleh 290 electoral votes sehingga terpilih menjadi Presiden ke-46 AS, setelah memenangkan electoral votes di Negara Bagian Pennsylvani. Calon petahana, Presiden Trump, pada saat yang sama masih tetap memperoleh 214 electoral votes.
BACA JUGA:
Presieen Trump bersikeras menolak hasil perolehan electoral votes sebagaimana diumumkan lembaga-lembaga polling, dan bertekad akan melaporkan “kecurangan” dan “penipuan” tanpa menyodorkan bukti yang dialami pihaknya kepada Mahkamah Agung AS serta tidak berencana keluar dari Gedung Putih bahkan meskipun hasil pilpres diumumkan secara resmi nantinya.
Banyak kalangan mulai membicarakan berbagai opsi seandainya Trump terus menolak hasil perhitungan suara.
Apabila calon presiden Joe Biden dan calon wakil presidennya, Kamala Harris, benar-benar diumumkan secara resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih AS, apa imbasnya bagi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia?
Kira-kira seperti apa kebijakan luar negeri yang akan diambil oleh Pemerintah AS yang baru dibawah mereka?
AS Tidak Akan Gebyah-uyah
Dalam webinar bertajuk ‘Pilpres AS: Pelajaran Bagi Indonesia’ yang diselenggarakan Sekolah Demokrasi-LP3ES (8/11), Evan Laksmana, Peneliti Senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), menepis mitos bahwa Presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat akan segera mengambil kebijakan luar negeri yang mencampuri urusan Indonesia soal HAM, termasuk Papua.
“Prioritas Biden adalah membangun kembali demokrasi di negerinya sendiri, dan berupaya menanggulangi merebaknya pandemi Covid-19 di negaranya yang tak kunjung mereda,” kata Evan, yang juga lulusan University of Syracuse, New York, sama seperti Biden.
Biden pernah menyatakan prioritas pertamanya segera setelah dilantik adalah membentuk tim ahli yang terdiri dari ilmuwan-ilmuwan untuk menangani dan mengatasi pandemi Covid-19.
Evan menyebut terdapat banyak ahli keturunan bangsa-bangsa Asia dalam tim Biden, yang akan bisa memberi masukan pada Presiden terpilih, serta juga pertimbangan faktor calon wapres Kamala Harris.
Evan yakin Tiongkok masih menjadi salah satu negara kunci yang diperhitungkan pemerintahan Joe Biden nantinya, termasuk dalam konteks perebutan pengaruh global antara AS dan Tiongkok.
Dalam kaitan ini, Evan berharap Indonesia benar-benar bisa berada dalam posisi tengah diantara kedua kekuatan besar ini.
Terpilihnya Biden memperbesar peluang kerjasama internasional antara AS dan berbagai negara, termasuk Indonesia.
Disesalkannya bila ada presiden yang cenderung masih kurang perhatian dalam penanganan langsung politik luar negeri Indonesia.
“Kebijakan luar negeri tidak bisa dijalankan secara auto pilot,” tegas Evan, “Diperlukan kepemimpinan dan perhatian Presiden Indonesia secara langsung setiap harinya”.
Akibatnya, Indonesia, lanjut Evan, kekurangan opsi-opsi strategis di level ASEAN dan Indo-Pasifik. “Contohnya adalah penanganan kebijakan yang terpisah-pisah antar kementerian”.
Menurutnya, “perlu ada semacam Dewan Keamanan Nasional di Indonesia, yang bekerja langsung dibawah Presiden seperti halnya di AS, untuk mengintegrasikan semua kepentingan strategis Indonesia”.
Politisi Tidak Diwakili Buzzer
Pada sesi berikutnya, Ismail Fahmi, peneliti media sosial yang juga pendiri lembaga Media Kernels, memaparkan pilpres AS dari perspektif big data. Fahmi membagi pengamatannya ke dalam tiga kategori waktu:
saat kampanye, pencoblosan, dan perhitungan suara.
Dibanding Biden, volume percakapan terkait Trump dan pelibatan (engagement)-nya hampir dua kali lipat lebih tinggi pada saat kampanye dan pada saat pencoblosan, namun menurun saat perhitungan suara.
Pengamatan Fahmi mendeteksi adanya cyber troops dari kubu Trump yang bekerja sedemikian masif sehingga Mozilla, sebuah lembaga nirlaba, meminta Facebook untuk menghentikan rekomendasinya untuk bergabung dengan grup Facebook tim Trump, serta juga meminta Twitter menghentikan trending topics terkait lawan politiknya, Joe Bidan, karena isinya cenderung bersifat disinformasi.
Di sisi lain, di kubu Biden, percakapan lebih banyak dilakukan oleh para politisi, tokoh-tokoh masyarakat termasuk artis-artis yang memiliki jumlah pengikut besar. Akun-akun media massa mainstream juga berada di klaster Biden ini.
“Politisi di sana tidak diwakili oleh buzzer,” kata Fahmi, lulusan ITB yang meraih gelar doktornya dari Groningen.
Diungkapkannya bahwa penggunaan cyber troop dan media-media yang menyebarkan disinformasi secara masif, telah membingungkan dan membelah masyarakat (divisive).
Namun fakta memperlihatkan bahwa pilpres di AS kali ini, yang menunjukkan adanya propaganda komputasional untuk meraih simpati pemilih yang dilakukan oleh pihak Trump, gagal memanipulasi publik.
Pelajaran Bagi Indonesia
Dari Jogja, narasumber Geradi Yudhistira, dosen Universitas Islam Indonesia, mencermati ‘sports campaign’ selama kampanye Pilpres 2020.
Sebagai penggemar NBA, Geradi mengapresiasi bagaimana para pemain basket serta olahragawan profesional lainnya secara terbuka mengekspresikan pandangan politik mereka melalui kostum yang mereka pakai bertanding.
Hal ini diperkuat dengan elemen-elemen masyarakat sipil yang secara aktif memastikan hak-hak politik mereka terpenuhi. Contohnya adalah Stacey Abrams yang mendirikan gerakan Fair Fight, dengan harapan agar tidak ada lagi orang yang hak suaranya dirampas seperti yang dialami Abrams pada suatu pemilihan tahun 2016.
Geradi mengungkapkan ada empat pelajaran yang bisa diambil dari Pilpres AS bagi Indonesia, yaitu :
Terus memperkuat masyarakat sipil, sekuat apapun tekanan dari rezim penguasa; pluralisme, untuk menjamin bahwa semua warga negara punya hak yang setara;
Inovasi kampanye, ditunjukkan oleh tim Biden yang berhasil melakukan kampanye digital yang efektif untuk mengatasi tantangan Covid-19, dan terakhir, Diversifikasi ide.
Disorotinya para politikus Indonesia saat ini yang menurutnya miskin ide untuk memperjuangkan dan mewujudkan kepentingan rakyat.
Sebagai penutup, Wijayanto, Kepala Sekolah Demokrasi LP3ES, mengungkapkan empat indikator perilaku otoriter di AS:
Lemahnya komitmen atas aturan main demokrasi,
menyangkal legitimasi lawan politik,
menganjurkan kekerasan serta intoleransi dan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media (Levitsky, Ziblatt; 2018).
Wijayanto mengkhawatirkan indikator-indikator tersebut menguat pula di Indonesia.
Wijayanto mengamati, dalam proses pilpres AS yang tengah berlangsung saat ini, sesungguhnya banyak hal baik yang bisa diambil pelajaran, mulai dari inovasi kampanye, kesantunan politik (political decency) yang ditunjukkan Biden, partisipasi masyarakat sipil, hingga kegagalan propaganda komputasional Trump.
“Namun mengapa kita justru mengambil contoh yang buruk?” tanyanya retoris.
Webinar ini dipandu Tjoki Aprianda Siregar, praktisi hubungan luar negeri, sebagai Moderator, yang pada kesempatan itu mengingatkan para peserta, bahwa pengalaman menunjukkan, bahwa presiden-presiden AS selama ini dari Partai Demokrat, cenderung lebih multilateralis atau meng-engage negara-negara lain dengan menghadiri berbagai pertemuan atau forum internasional atau forum kerjasama global, dibandingkan presiden-presiden AS dari partai Republik.
Presiden-presiden AS seperti Jimmy Carter, Bill Clinton dan Barack Obama dari Partai Demokrat ketika menjabat hampir selalu menghadiri pertemuan-pertemuan multilateral tingkat tinggi, termasuk KTT ASEAN Regional Forum dan KTT ASEAN Plus yang diadakan negara-negara ASEAN secara bergantian.
Presiden dari Partai Republik seperti Donald Trump selama empat tahun pemerintahannya tercatat tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan serupa di luar AS, kecuali pertemuan tingkat tinggi bilateralnya dengan Pemimpin Korea, Kim Jong Un, di Singapura pada tahun 2016. Kehadiran AS pada berbagai pertemuan tingkat tinggi ASEAN kebanyakan diwakili oleh Wakil Presiden Mike Pence atau Menlu Mike Pompeo.
Satu hal lagi yang menurut Tjoki penting namun belum disinggung oleh ketiga narasumber adalah sekitar 100 juta pemilih pada pilpres AS saat ini lebih memilih memberikan suaranya melalui pos daripada di lokasi tempat-tempat pemungutan suara, yang menunjukkan kekhawatiran yang tinggi terhadap pandemi Covid-19.
Suara dalam jumlah yang sangat besar ini yang sepertinya diharapkan Trump akan “membantu” posisinya dalam perhitungan suara menghadapi perolehan suara Joe Biden yang terus “meninggalkan” perolehan suaranya.
Namun setelah amplop-amplop berisi lembar suara dibuka oleh panitia pemungutan suara, alih-alih memilih Trump, suara-suara pemilih tersebut kebanyakan memilih Joe Biden.
Hikmah dari pilihan sebagian besar pemilih AS ini bagi Indonesia adalah pemilih pada pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia, misalnya, dapat ditawarkan memberikan suaranya melalui pos.
Hal lainnya yang patut menjadi pembelajaran bagi Indonesia adalah inovasi kampanye, seperti yang dilakukan oleh tim kampanye Joe Biden, yang berinovasi dengan melakukan kampanye digital atau e-campaign, suatu hal yang sesungguhnya tidak sulit diterapkan oleh tim-tim kampanye para calon kepala daerah di pilkada Indonesia.
Terkait inovasi ini, Tjoki mengusulkan perlu dipertimbangkannya opsi pemberian suara secara digital, atau electronic voting (e-voting) selain melalui pos, dengan mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19 di sejumlah daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 yang masih berstatus Zona Merah atau Zona Oranye.
Webinar Sekdem-LP3ES ini merupakan kegiatan regular untuk mengkaji peristiwa-peristiwa hangat untuk pengembangan demokrasi di Indonesia. Sekolah Demokrasi merupakan program pengembangan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam politik dan demokrasi, yang diselenggarakan oleh LP3ES.
TAG#ISNU, #ISNU DKI, #LP3ES, #TJOKI, #PEMILU AS
198735575
KOMENTAR