Politik "Fardhu Kifayah" PKB dan PDIP

Johanes

Monday, 02-03-2020 | 07:00 am

MDN
Adlan Daie, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat


Indramayu, Inako


Momentum pilkada Indramayu tahun 2020 adalah bagian dari fardhu kifayah ( baca:  kewajiban representasi politik) bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDI Perjuangan (PDIP), dua aliran besar politik dalam peta sosial masyarakat sebagaimana dideskripsikan Clifford Gezt dalam bukunya The Religion Of Java untuk menjadi lokomotif perubahan menarik gerbong panjang kesadaran kolektif mayoritas rakyat melawan segala bentuk mobilisasi para ustadz, institusi pendidikan, politisasi fakir miskin dan lain-lain pasca OTT KPK menjerat pucuk pimpinan partai Golkar menandai bahwa kuasa oligarkhi politiknya telah copot hak moralitas politiknya untuk berkhotbah visi religius di ruang-ruang publik.

Intensi, niat dan skenario meletakkan seorang Carsa dalam bingkai kasus OTT KPK sekedar korban dari tiga tersangka lain, yakni H. Supendi, Omarsyah dan Wempi Triyono adalah cara politis untuk melokalisasi kasus OTT KPK sepenuhnya di pundak H. Supendi dan kawan kawan, ibarat cara orang limbung berjalan di lorong-lorong kegelapan politik yang sempit dan pekat hingga lupa bahwa mereka dapat melakukan serangan balik di persidangan selanjutnya dengan membuncah fakta-fakta baru lebih dahsyat dan telanjang menyasar ke semua lini epicentrum kekuasaan makin menpersempit ruang gerak partai Golkar di pilkada 2020.

Dalam perspektif penulis kasus OTT KPK di atas adalah satu dari sekian banyak cara Tuhan untuk menghentikan praktek manipulasi jual beli jabatan, ijon proyek, bisnis perizinan publik dan lain-lain. Karena itu, bagi PKB dan PDIP hanya tersisa dua pilihan, merebut momentum pilkada tahun 2020 sebagai jalan politik perubahan atau kah melepaskan diri dari fardhu kifayah dan kewajiban representasi politiknya sambil duduk di zona nyaman di posisi politiknya bersaksi bisu atas buramnya IPM Indramayu paling buncit di wilayah III Cirebon seraya berpuas diri ditutup-tutupi oleh mimbar khotbah politik para pejabat manipulatif dan muslihat birokratis dengan menyia-nyiakan peluang insentif elektoralnya memenangkan Pemilu Legislatif tahun 2024?

Pertaruhan memenangkan pilkada tahun 2020 bagi PKB dan PDIP bukan sekedar bermakna kemenangan bagi PKB dan PDIP sendiri akan tetapi harus bertransformasi bagi kemenangan seluruh rakyat Indramayu. PKB dan PDIP harus menjadi pelopor merevolusi mental para pejabat birokratis untuk bekerja sesuai tupoksinya sebagai pelayan publik, bukan pelayan politik partisan. Sepanjang birokrasi disibukkan untuk melayani kepentingan elektoral para tuan-tuan politik sepanjang itu pula birokrasi menjadi pipa-pipa kotor meracuni pikiran dan suasana kebatinan rakyat yang mayoritas diam. Mangkraknya IPM Indramayu salah satunya bersumber dari pola birokrasi salah asuhan di atas.

PKB dan PDIP harus menyadari sepenuhnya bahwa di pundaknya terpikul fardhu kifayah  politik, sebuah kewajiban representasi politik bahwa politik dalam maknanya yang lebih luas adalah jalan mulia dan beradab bukan alat manipulasi birokrasi sehingga harus dijaga secara sehat lahir dan batin tanpa merek jualan visi religius sekalipun. Menyelamatkan birokrasi dari jalan sesat dan menariknya ke jalan yang benar, mengangkatnya dari ketidakberdayaan  cengkraman politik ijon hingga mereka benar-benar menjadi abdi negara yang sesungguhnya sejak dari pikiran, perkataan dan perbuatan.

Bagi PKB dan PDIP (dan partai-partai lain dalam satu visi) bukan saatnya lagi berdiskusi dari rapat ke rapat tanpa ada ujung talinya melainkan segera rumuskan paket pasangan untuk memenangkan pilkada tahun 2020 sebagai jalan untuk perubahan menuju masa depan Indramayu yang lebih baik dengan kriteria :

Pertama, pasangan calon harus memiliki visi, kemampuan managerial birokratis dan pengalaman politik yang memadai dengan rekam jejak bersih tak terjangkau jerat-jerat hukum dalam.segala bentuknya,

Kedua,  ketokohan figur kuat secara personal, berpengaruh dahsyat, basis sosial membeton,  bermagnit elektoral tinggi dan paling mungkin peluangnya memenangkan pilkada dengan power gotong royong tanpa ijon politik yang destruktif dan merusak. 

Ketiga, kemenangannya kelak harus mampu menjamin maslahat bagi publik secara lahir batin dan membebaskan birokrasi dalam netralitasnya yang agung dan mulia bukan ibarat budak belian di era arab pra kenabian yang diperlakukan secara tidak beradab di luar tupoksinya.

Salam resolusi jihad Pilkada 2020.

 

KOMENTAR