Politisasi 75 Pegawai KPK Nonaktif Perilaku Oportunis

JAKARTA, INAKORAN
Pemberhentian 75 Pegawai KPK, telah dieksploitasi dan kapitalisasi oleh ICW, YLBHI, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas dan Koalisi Guru Besar Anti Korupsi dll), sebagai perilaku oportunis, anomali (tabrak sana tabrak sini), tanpa mengindahkan "tata krama" atau "fatsun politik", diduga demi melindungi koruptor "big fish" yang dilindungi oleh Novel Baswedan dkk, demkian catatan tertulis Petrus Selestinus, TPDI yang diterima INAKORAN Rabu (2/6/21)
Perilaku oportunis, melahirkan aksi-aksi yang mengarah kepada sikap-sikap "intoleran" terhadap pemerintah, antara lain menuntut pembatalan hasil TWK 1.271 yang sudah lulus, meminta penundaan pelantikan 1.271 Pegawai KPK menjadi ASN, menuntut pencopotan Firli Bahuri dari Ketua KPK, mengancam Presiden Jokowi sebagai penghancur KPK jika tidak melindungi 75 Pegawai KPK nonaktif.
Sikap Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas dkk. patut dicurigai sebagai upaya untuk menutup-nutupi praktek penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi (big fish) yang sesungguhnya, sehingga Novel Baswedan dkk. harus dipertahankan atas nama dan dengan cara apapun juga di KPK.
DIPERLUKAN AUDIT FORENSIK.
Perlu dilakukan "Audit Forensik" terhadap penanganan kasus korupsi besar yang penyidikannya dilakukan oleh tim penyidik Novel Baswedan dkk. sejak KPK dipimpin Busyro Muqoddas, Abraham Samad hingga Agus Rahardjo, yang materinya dapat ditelusuri melalui putusan-putusan perkara tindak pidana korupsi yang berkekuatan hukum tetap dan BAP Penyidikan dan penuntutan di KPK.
Dengan Audit Forensik terhadap beberapa putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, seperti dalam putusan kasus korupsi Bank Century, Hambalang, Travel Cheque Pemilihan Deputi Gub. BI, e-KTP, dll. akan nampak sejumlah nama besar disebut sebagai pelaku "turut serta" tetapi tidak dikembangkan, malahan masuk dalam bunker pengamanan Novel Baswedan dkk. di KPK sebagai perkara dark number.
Model penanganan tindak pidana korupsi yang ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi (big fish) yang sesungguhnya, dalam pandangan pembentuk UU hanya terjadi di Kepolisian dan Kejkasaan, untuk itu hanya KPK diberi wewenang mengambilalih penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang ditangani si Kepolisian dan Kejaksaan, sementara di KPK tidak bisa diambilalih.
DI KPK TIDAK BISA DIAMBILALIH.
Karena itu, kita tidak heran jika Novel Baswedan dkk. mendapat dukungan dari kolega-koleganya seperti Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, ICW, YLBHI, dan PGI untuk mempertahankan agar Novel Baswedan dkk. tetap menjadi Penyidik di KPK.
Modus ini masuk akal, karena segala penyimpangan dalam Penyidikan dan Penuntutan di KPK tidak dapat diambilalih oleh Kejaksaan atau Polri. Kondisi ini potensial membuka ruang bagi Penyidik mempermainkan kasus-kasus korupsi big fish yang dikategorikan dark number, di bawah kendali Novel Baswedan dkk. demi rasa nyaman koruptor.
Praktek dimana penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi (big fish) yang sesungguhnya, sudah diantisipasi di dalam UU Tentang KPK, namun ketentuan ini hanya ditujukan kepada Penyidik Polri dan Kejaksaan, sedangkan untuk sebaliknya tidak bisa diambilalih.
Ini lah yang membuat misi KPK stagnan, kesalahan terbesar KPK selama ini adalah menempatkan Novel Baswedan dkk. sebagai kelompok yang membawa sukses besar KPK memberantas korupsi, padahal tidak demikian, justru KPK di era Busyro Muqoddas dkk., Abraham Samad, hingga di era Agus Rahardjo, gagal menjalankan misi besar KPK.
KOMENTAR