Problem pilkada 2020 dan RUU Pemilu yang Baru

Hila Bame

Saturday, 09-05-2020 | 13:55 pm

MDN


Oleh.  : Adlan Daie

Pemerhati dan pengamat politik 

 

Jakarta, Inako


Merujuk ketentuan pasal  201 A ayat 2 Perpu no 2 tahun 2020 pilkada  serentak tahun 2020 dilaksanakan bulan Desember tahun 2020 dengan opsi dalam  pasal yang sama ayat berikutnya (ayat 3) dapat diundur kembali jika  status masa kedaruratan wabah Covid 19 diperpanjang. Perpu tentang pilkada serentak di atas tidak  mengatur norma baru.sebagaimana diatur dalam undang undang tentang pilkada sebelumnya selain perihal penundaan pilkada dan mekanisme yuridis penundaannya.


Problemnya Perpu di atas tidak memberi  payung hukum atas kemungkinan  penambahan anggaran pilkada jika pilkada serentak dilaksanakan tahun 2020 untuk mengakomodasi perubahan desain pilkada disesuaikan dengan protokol kesehatan mulai dari kelengkapan alat pelindung diri (APD) unsur penyelenggara pilkada dan regulasi teknis lainnya. Penambahan anggaran pilkada melalui mekanisme perubahan APBD di tengah rakyat tercekik lehernya akibat dampak covid 19  tentu tidak arif,. jauh dari prinsip nilai kemanusiaan yang adil dan beradab kecuali sekedar pemuas nafsu kepentingan kuasa para elite politik.

 

BACA JUGA:      Politisi Busuk dan Pilkada Bertaruh Nyawa


Problem lainnya adalah siapa pun pasangan terpilih dalam pilkada serentak tahun 2020 masa jabatannya tidak full lima tahun mengikuti regulasi undang undang no 10 tahun 2016 dimana pilkada serentak berikutnya bersamaan dengan  pilpres dan pemilu legislatif 2024 meskipun terdapat klausul kompensasi atas pemotongan masa jabatan tersebut. Inilah pilkada pemborosan bukan sekedar dana rakyat terkuras  melainkan energi positif warga selalu tertindih oleh seringnya hajat politik yang acapkali menjadi problem psikhologi politik bagi ikhtiar sistemik peningkatan kesejahteraan rakyat.


Di luar problem teknis  terkait perpu tentang  pilkada serentak tahun 2020 di atas dan implikasi pemborosan anggarannya,  periodesasi jabatannya tidak full lima tahun serta dilaksanakan dalam situasi wabah covid  19 yang mencekik leher bangsa kita,  terdapat sisi  paradoks lain dikaitkan dengan Rancangan Undang Undang (RUU) pemilu yang telah masuk prioritas prolegnas DPR RI untuk dibahas selambat lambatnya tuntas pada akhir tahun 2020 berdasarkan jadwal sebelum wabah virus covid 19  melanda negara kita indonesia.

BVACA JUGA:   Pemerintah Alokasikan Rp 150 Triliun Untuk Pemulihan Ekonomi Nasional


Dalam draf RUU pemilu di atas yang di desain formulasinya mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi no 5/PU/XVII/2019  tentang konstitusionalitas keserentakan  pelaksanan pemilu diatur dalam kategorisasi pemilu sebagai berikut :


Pertama,  pemilu serentak nasional, yakni pemilu serentak untuk memilih pasangan calon presiden/wakil presiden, calon anggota DPR RI dan DPD RI dilaksanakan pada tahun 2024. Keserentakan pelaksanaan pilpres dan pileg tahun 2024 tetap berlaku karena uji materi (Judicial review) sejumlah pihak terhadap norma hukum keserentakan pileg dan pilpres ditolak oleh Mahkamah Konstitusi meskipun uji materi di atas didasarkan pada peristiwa bannyaknya korban jiwa dari unsur penyelenggara  pemilu serentak 2019.


Kedua, pemilu serentak lokal, yakni pemilu untuk memilih kepala daerah ( Gubernur,  bupati dan walikota)  serentak dengan pemilu untuk memilih calon anggota DPRD Provinsi, kabupaten dan kota dilaksanakan  tahun 2022, dua tahun  sebelum pemilu serentak nasional tahun 2024 menurut draf RUU pemilu di atas. Jika RUU pemilu ini disahkan menjadi Undang Undang maka masa jabatan anggota DPRD Provinsi, kabupaten  dan kota hasil pemilu tahun 2019 berhenti pada tahun 2022, lebih cepat dua tahun dari periode lima tahun dengan ketentuan mendapatkan kompensasi dari pengurangan masa jabatannya sebagaimana diatur pula dalam draf RUU pemilu di atas.

Demikianlah point point  problematis yuridis terkait Perpu no 2 tahun 2020 tentang pilkada serentak 2020 dan kerumitan teknis regulasi turunannya  termasuk kernungkinan sejumlah paradoks jika RUU pemilu yang baru di atas disahkan menjadi Undang Undang karena desain norma yuridis dalam ketentuan pasal pasalnya lebih didorong intensi dan niat bagaimana regulasi pemilu memberi keuntungan  politis terhadap tarik menarik di antara pertarungan kepentingan partai partai politik.


Penulis tentu sulit memilih kerangka ideal atas pilihan pilihan desain pemilu di atas kecuali sedikit lebih bersetuju pilkada serentak ditarik mundur hingga tahun 2022. Selain memberi ruang tarikan nafas pemulihan bagi rakyat pasca tercekik massif leher kehidupan dan penghidupannya akibat wabah covid 19 juga agar pelaksanaanya dalam situasi konsolidasi politik dan partisipasi publik secara normal untuk menghasilkan kepala daerah yang legitimated dengan rentang periodesasi jabatan full selama lima tahun.


Semoga kita tidak sekedar disuguhi kemajuan aksesoris politik tapi miskin akhlak dan leterasi politik melainkan bertumbuh mekar bersama nurani embun pagi keadaban politik yang menyegarkan ruang ruang rindu suasana kebatinan kebangsaan kita.
 

 

TAG#ADLAN DAIE

190232268

KOMENTAR