Prof Dr. Siti Musdah Mulia: Dalam Beragama Banyak Orang Bersikap Seperti Tuhan

Sifi Masdi

Friday, 22-03-2019 | 08:29 am

MDN
Prof Dr. Siti Musdah Mulia saat menjadi pembicara di acara Talkshow Perdamaian di Gereja St. Paskalis, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Sabtu (16/3/2019) [inakoran.com]

Jakarta, Inako

Keadilan merupakan inti ajaran dari semua agama. Karena itu, agama mana pun di dunia mengajarkan pentingnya rasa keadilan. Itulah sebabnya setiap orang harus  memperlakukan orang lain dengan adil karena memiliki martabat yang diberikan oleh Pencipta sendiri. Dengan demikian setiap orang harus menghargai satu sama lain, apa pun agamanya.

Pernyataan ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, dalam acara Talkshow Perdamaian, di Gereja St. Paskalis, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Sabtu, 16 Maret 2019.  Talkshow ini diprakarsai oleh Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) OFM  bekerja sama dengan ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace).

Prof. Dr Martin Harun OFM (depan) saat mendengar aparan dari nara sumber Siti Musdah Mulia terkait Dokumen Persaudaraan Manusia, di Gereja Paskalis, Jakarta, Sabtu (16/3/2019) [inakoran.com]

 

Talkshow dengan tema “Tuhan Jadikanlah Aku Pembawa Damai” menghadirkan dua pembicara Prof. Dr. Martin Harun, OFM, dan Prof. Dr. Hj, Siti Musdah Mulia.

Talkshow ini juga merupakan salah satu upaya untuk merespon kehadiran dan sekaligus pendalaman  Dokumen “Persaudaraan Manusia” yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, di  Abu Dhabi,  Uni Emirat Arab, Senin (4/2/2019).

Dokumen ini terdiri atas 12 poin. Poin ketiga membahas masalah keadilan. Poin ini menyoroti bahwa keadilan berdasarkan belas kasihan adalah keharusan untuk mencapai kehidupan yang bermartabat. Sementara poin keempat, menyoroti kerja sama mengatasi berbagai problem. Poin ini menegaskan bahwa dialog, saling memahami, menebar budaya toleransi dan hidup bersama, dipraktikkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan yang kini menjadi problem besar umat manusia.

Terkait dengan keadilan, Prof Musdah mengatakan bahwa keadilan merupakan inti ajaran dari setiap agama mana pun di dunia. Karena itu, setiap orang beragama harus memperlakukan orang lain dengan adil. Namun dalam kenyataan, menurut Musdah, banyak orang memperlakukan sesama dengan cara yang tidak adil. Dan bahkan dalam hidup kerberagamaan, tidak sedikit  orang bersikap seperti Tuhan dan merasa diri sebagai yang paling suci, sehingga orang lain perlu diluruskan.

Ernest OFS sedang menanyakan respon para pemimpin agama di Indonesua terkait Dokumen Persaudaraan Manusia, di Gereja Paskalis, Jakarta, Sabtu (16/3/2019) [inakoran.com]

 

“Saya sering lihat bahwa dalam beragama, banyak orang bersikap seperti Tuhan, merasa diri paling suci, dan orang lain perlu dilurus-luruskan. Hanya dia yang berhak (masuk) surga dan orang lain tidak boleh. Padahal surga itu kan, sangat luas dan cukup buat kita semua,” kata Musdah di hadapan peserta dialog.

Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, Indonesia merupakan satu rumah dan sekaligus rumah bersama bagi semua warga di dalamnya. Oleh karena itu,  setiap warga tidak boleh membiarkan perlakuan-perlakuan kelompok tertentu yang berusaha mengrongrong keutuhan rumah bersama ini.

“Dalam konteks Indonesia, sebagai rumah bersama, kalau ada kelompok yang ingin mengoyak keutuhan, maka kita tanya  - bukan berarti kita seperti istilah anak muda kepo, yakni ingin tahu segala hal – terkait apa yang dilakukan kelompok tersebut, tanya ngapain kelompok itu, apa yang diinginkan oleh kelompok tersebut dan apa saja yang telah mereka kerjakan di Indonesia,” tutur Guru Besar Sastra Arab itu.

Selain itu, kata Musdah, juga ditanyakan apakah kelompok yang sering membuat noise di masyarakat itu, telah memberikan sumbangan yang konstruktif atau malahan destruktif untuk Indonesia. Oleh karena itu setiap  warga negara yang baik tidak boleh diam kalau ada kelompok yang melakukan destruktif.

“Kita sebagai sesama warga negara tidak boleh diam, tapi  harus tanya ngapain yang dikerjakan kelompok itu  di Indonesia. Soalnya, kalau dia melakukan upaya-upaya destruktif, maka berarti kalau Indonesia diibaratkan seperti kapal, dia sedang berusaha membolongi dinding-dinding kapal itu. Kalau kapal itu tenggelam, maka yang tenggelam bukan hanya dia, tetapi juga kita. Jadi kita tidak boleh diam,” tegasnya.

Dalam talkshow ini aktivis ICRP itu sempat mengkritik sikap Gereja selama ini yang memilih diam dan tidak berani melawan kelompok-kelompok yang berusaha mengoyak prinsip kebangsaan.

“Kita harus berani mengungkapkan hal-hal yang tidak menyenangkan dan dirasakan tidak nyaman. Tapi saya melihat selama ini Gereja kebanyakan diam. Kita harus bicara bila  melihat ada warga negara yang berusaha mengoyak prinsip kebangsaan,” tambahnya.

 

 

 


 

 

 

 

 

 

   

 

KOMENTAR