Quo Vadis Partai Golkar Indramayu Pasca OTT KPK

Indramayu, Inako
Mau kemana Partai Golkar Indramayu pasca operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pucuk pimpinan DPD Partai Golkar Indramayu yang sekaligus selaku Bupati Indramayu Drs. H. Supendi, M.Si., khususnya dalam mempersiapkan dan mengajukan calon bupati jelang kontestasi pilkada 2020 tahun ini ? Pertanyaan ini layak dikemukakan terkait banyaknya dampak ikutan yang menyertainya pasca OTT KPK tersebut.
Jawaban pertama adalah jawaban secara jumawa dengan narasi optimisme dan penuh keyakinan bahwa Partai Golkar akan tetap mengusung kader internalnya untuk diajukan sebagai bakal calon bupati dan wakil bupati pada gelaran pilkada tersebut baik tanpa koalisi karena sudah lebih dari cukup syarat dengan 22 kursi DPRD maupun berkoalisi dengan partai lain. Pilihan mengusung sendiri tanpa koalisi sesungguhnya adalah pilihan dari elit dan kader Golkar itu sendiri sebagaimana terbaca dari suasana kebatinan para pengurus dan kadernya. Paling tidak walaupun partai lain bergabung (koalisi) tetapi paket pasangan bupati dan wakilnya tetap dua-duanya adalah kader Golkar, sebagaimana yang sudah terlaksana dalam tiga periode terakhir sejak pilkada secara langsung pertama diselenggarakan pada tahun 2010. Berkaca pada situasi konflik yang melanda DPP Partai Golkar pun, elit Partai Golkar Indramayu mampu mengusung paket pasangan bupati dan wakil bupati kadernya sendiri dengan menggandeng tiga partai sekaligus yaitu Gerindra, PKS dan Partai Demokrat, sehingga terpilih pasangan ANDI ( Ana Sophanah – Supendi ) mengalahkan secara head to head paket pasangan TORA ( Toto Sucartono – Rasta Wiguna) pada Pilkada 2015 lalu. Dalam posisi inilah kapasitas, integritas dan loyalitas Plt. Bupati Indramayu H. Taufik Hidayat, SH., yang merangkap sebagai ketua harian DPD Partai Golkar Indramayu patut dipertanyakan karena beliau dipilih oleh Anggota DPRD Indramayu sebagai wakil bupati dan naik sebagai Plt. Bupati yang Insya Alloh pada bulan Maret ditetapkan sebagai bupati definitif adalah berangkat dan diajukan oleh tiga partai pengusung pasangan ANDI tersebut dan beliau tercatat sebagai anggota Partai Gerindra (file dokumen persyaratan calon wakil bupati pada DPRD Kabupaten Indramayu, file dokumen keanggotaan Partai Gerindra Kabupaten Indramayu).
Mundurnya Bupati Hj Ana Sophanah pada pertengahan masa jabatannya sebagai bupati adalah suatu kearifan politik seorang ibu dan merupakan “legacy” moral bagi para elit politik dan politisi betapa beliau telah mewariskan sikap mental politik yang berkeadaban. Bahwa kekuasaan politik itu bukan segala-galanya yang harus dipertahankan dan diperebutkan secara mati-matian sampai titik darah penghabisan, tetapi kekuasaan adalah sarana dan wasilah bagi terwujudnya kebaikan, kebajikan dan kemaslahatan serta memberi jalan bagi berlangsungnya regenerasi pemimpin dan kepemimpinan. Bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan bagi orang yang beriman kepada Tuhannya bahwa nantinya bagaimana atau dalam kalimat lain “kalau bukan dari kelompok kita yang jadi bupati, nanti Indramayu ini akan rusak”.
Sebagai politisi, jawaban secara jumawa ini sejatinya adalah suatu keniscayaan, karena sebagaimana ajaran politiknya Plato bahwa Politisi adalah moralis "pemintal kata-kata". Dalam pandangan idealis Plato, sejatinya kata-kata yang keluar dari mulut politisi adalah sarana mengembangkan kesadaran kemanusiaan untuk menyampaikan kebenaran dan keyakinan positif. Narasi idealis dan optimisme ini dalam ilmu komunikasi politik adalah bahasa yang keluar pada bagian front stage. Politisi harus membangkitkan optimisme dan idealisme hanya dipanggung depan untuk me-narasi-kan visi misinya yang akan membawa kesejahteraan rakyat dan kemaslahatan ummat.
Akan tetapi di bagian back stage, wilayah belakang layar para politisi menggunakan ajaran filusuf Perancis, Voltaire, yang mengajarkan bahwa "politik adalah seni merancang kebohongan". Saat ini dalam panggung politik Indonesia telah terjadi banyak distorsi yang penuh kegaduhan dan kepalsuan. Meminjam ungkapan Yudi Latif, saat ini bangsa kita sepertinya sedang memasuki "peradaban dangkal", yang senang memuja apa yang terlihat "luar biasa" meski penuh "kepalsuan".
Jawaban yang kedua adalah jawaban kegalauan, meminjam kalimat kang H.Adlan Dai dalam tulisannya di Inakoran.com, ,Sisi gelap Pilkada Indramayu 2020 : “ Pasca OTT KPK terhadap H. Supendi, Bupati sekaligus ketua DPD Partai Golkar Indramayu adalah sisi gelap poros petahana. Sisi gelapnya, antara lain, poros petahana mulai menyempit panggung tarian orkestrasi politiknya. Tidak leluasa memainkan simpul-simpul birokratis yang selama ini menjadi bagian inti dari kekuatan efektif jaringannya kecuali nekat dengan resiko tinggi merusak demokrasi secara sistemik dan struktural. Problem lain adalah kemungkinan effect berantai OTT KPK terhadap tokoh yang akan dicalonkan poros petahana. Pemanggilan saksi-saksi dari unsur pejabat terkait dan tidak terkait lainnya dari sisi sumber kasusnya serta jaringan swasta (mediator dan kontraktor), meskipun harus tetap menghormati asas praduga tak bersalah, sedikit dapat dibaca ke arah mana sinyal effect OTT KPK bergerak melalui pembandingan mata rantai kasus OTT KPK di tempat lain.” Termasuk keterkaitan elit pengurus Golkar Indramayu baik yang sudah dipanggil sebagai saksi maupun yang tidak dipanggil atau belum dipanggil oleh KPK dalam pusaran kasus tersebut.
Pemaksaan kehendak untuk mengusung atau mengajukan kader internal partai Golkar dalam kontestasi pilkada 2020 adalah suatu keputusan yang mendegradasi dan menafikan nilai-nilai moralitas, kearifan dan kebijaksanaan. Sebagian kader internal bertanya, siapa yang bisa menjamin bahwa kader kader yang mengemuka untuk diajukan sebagai bupati dan wakil bupati terbebas dari pusaran kasus dan kemungkinan pengembangan perkara oleh KPK ? hal ini terkait dengan posisi dalam jabatan kader kader partai Golkar tersebut yang menempati posisi kunci dan strategis. Setidaknya dipanggil sebagai saksi saja akan berpengaruh secara psikologis bagi yang bersangkutan dan akan berdampak secara elektoral. Sekedar disebut namanya saja di dalam persidangan sudah sangat mempengaruhi opini publik dan potensial menjadi viral “black campeign” dan alat pukul bagi lawan politik.
Jawaban yang ketiga adalah jawaban obyektif dan realistis. Adalah suatu jalan moderat bagi pengambil kebijakan Partai Golkar baik tingkat kabupaten yang akan mengusulkan, DPD Partai Golkar Jawa Barat dan DPP sebagai pemutus akhir atas rekomendasi nama-nama yang akan diajukan sebagai kandidat bupati / wakil bupati Indramayu pada Pilkada tahun ini. Jalan moderat ini didasarkan setidaknya pada tiga argumen : pertama, terkait aspek integritas moral, menyangkut soal moral sosial, apakah ia seroang yang dermawan atau sebaliknya, apakah ia seorang yang responsif atau dalam diksi lokal Indramayu “api api ora bae” atau “ora iya ora embuh”, menyangkut soal moral susila, apakah ia termasuk dalam kategori “pemain” yang dalam filosofi jawa sering disebut bahwa godaan kekuasan itu menyangkut 5 M, yang dalam bahasa kamtibmas disebut “pekat” penyakit masyarakat yaitu : main, madon, mabok, madat, maling. Term yang terakhir “maling” bagi pejabat adalah bertransformasi menjadi terminologi korupsi. Tentu pilihannya adalah mencari dan menemukan calon dengan integritas moral yang baik secara moral sosial dan moral susila bukan sebaliknya terlepas ia kader pengurus atau kader di luar pengurus.
Kedua , terkait aspek kepemimpinan. Bupati adalah pemimpin politik, seorang pemimpin harus punya jiwa kepemimpinan, karena pemimpin tanpa kepemimpinan ia adalah “robot birokratis”. Dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca reformasi, siapapun dan dari latar belakang manapun bisa menjadi pemimpin politik, tanpa ada kejelasan sistem dan pengkaderan untuk menjadi pemimpin, asalkan ia terpilih dalam ajang kontes pemimpin baik pusat maupun daerah dengan kemasan demokrasi elektoral. Bandingkan dengan sistem rekrutmen kader dan pemimpin di lingkungan TNI-POLRI, bagaikan langit dan bumi dan sangat paradoksal, dimana pemimpin yang diproses dan dikader dengan sistem yang ketat dan jelas, bertingkat dan berjenjang harus taat dan patuh pada pemimpin yang tidak jelas pengakaderan dan tidak jelas sekolah kepemimpinannya.
Kepemimpinan politik dalam bahasa Ridho Imawan Hanafi ( dalam Masduki Duryat 2020) , dapat dipahami dalam tiga perspektif: (1) kepemimpinan sebagai pola perilaku; (2) kepemimpinan sebagai kualitas personal; (3) kepemimpinan sebagai nilai politik. Sebagai pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan tujuan yang diharapkan. Kata kuncinya adalah mempengaruhi. Sebagai kualitas personal, kepemimpinan berkaitan dengan kharisma. Sedangkan sebagai nilai politik, kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk menggerakkan orang lain dengan otoritas moral atau pandangan ideologis. Bukan pemimpin yang miskin narasi, faqir dalam litarasi dan papa dalam orasi.
Ketiga, terkait aspek keterwakilan (representasi), siapapun kandidat yang akan diusung Partai Golkar, ia harus mewakali dari bagian apa dan bagian mana. Apakah ia representasi entitas dalam masyarakat seperti entitas petani, nelayan, atau ulama, atau ia mewakili dari wilayah mana ? Indramayu Timur atau Indramayu Barat. Veriabel representasi ini menjadi sangat dominan manakala diperhadapkan dengan kasus OTT KPK terhadap Bupati H. Supendi.
Partisipasi kader dalam menentukan figur calon yang akan diusung sangat diperlukan dalam dunia politik yang semakin oligarkis, jangan biarkan pengambil kebijakan bertindak sendiri tanpa ada keberanian dari “inner cicle” nya untuk menyampaikan pandangan alternatif sebagai second opinion, sehingga keputusan pengambil kebijakan menjadi keputusan bersama bukan semata apa “jare” BOS. Atau dalam bahasa lain, jangan berikan cek kosong pada ketua umum partai. Qou vadis Golkar Indramayu ?
Semoga ada manfaatnya.
Wallohu a’lam bisysyowab.
190215383

KOMENTAR