Rakyat Makin Cerdas Pilih Kepala Daerah Sesuai Akal Sehat Berkat Teknologi Informasi

Sifi Masdi

Saturday, 05-12-2020 | 20:39 pm

MDN
Diskusi online Mencegah Korupsi Politik dalam Pilkada Serentak 2020,  Jumat (4/12/2020) [foto: tjoki]


 

Jakarta, Inako

Tindak pidana korupsi yang dilakukan 21 gubernur dan 122 bupati/walikota yang kasusnya ditangani KPK RI, mengindikasikan betapa korupsi di sektor politik di daerah-daerah telah menjadi masalah serius bagi Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Febri Diansyah, mantan Kepala Biro Humas yang juga mantan Jurubicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, dalam Diskusi Tematik Online Seri 08 Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta dengan topik “Mencegah Korupsi Politik dalam Pilkada Serentak 2020”,  Jumat (4/12/2020).
 

Febri Diansyah, mantan Jubir KPK [dok:pribadi]

 

Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah narasumber antara lain, Febri Diansyah, Abhan, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) RI. Dalam diskusi tersebut, Febri mengatakan bahwa temuan KPK mengungkapkan bahwa partai-partai politik pengusung pasangan calon kepala daerah memiliki sumber-sumber dana yang jumlahnya jauh lebih kecil dari belanja yang dilakukannya dalam mengkampanyekan atau mempromosikan pasangan calon kepala daerah yang diusungnya.

“Bantuan dana dari APBN/APBD untuk partai-partai politik tersebut yang relatif kecil dan kemampuan audit oleh kantor-kantor Perwakilan BPK yang cenderung terbatas, menyebabkan praktik-praktik korupsi politik oleh pasangan calon-calon kepala daerah masih terus terjadi,” tegas Febri.

Hal senada juga diungkapkan oleh  Abhan. Ia mengatakan bahwa temuan Bawaslu mengenai tindak manipulasi bantuan sosial dari anggaran negara oleh tim-tim sukses pasangan calon kepala daerah dengan menempelkan stiker atau label foto dan nama pasangan calon kepala daerah di kemasan paket sembako atau bantuan sosial kepada warga di daerah, seolah bantuan tersebut berasal dari para calon tersebut.

“Potensi jual-beli pencalonan oleh partai-partai politik, dan praktik “uang mahar” oleh mereka yang ingin dicalonkan partai politik yang mereka dekati menjadi calon kepala daerah,” ungkap Abhan.

Terkait dengan masalah itu, Abhan menegaskan bahwa Bawaslu telah mengeluarkan sejumlah ketentuan pidana bagi pelaku-pelakunya guna mencegah praktik-praktik semacam itu terus berlangsung.

Abhan, Ketua Bawaslau RI (dok:pribadi]

 

“Mengenai donatur atau sponsor pasangan calon kepala daerah, Bawaslu menegaskan bahwa ketentuan yang berlaku mengharuskan nama donatur atau sponsor disebut dengan jelas dan tidak anonym,” tambahnya.

Kemudian terkait dengan fenomena menampilkan satu pasangan calon berhadapan dengan “kolom kosong”, Abhan mengatakan bahwa hal itu dimungkinkan sesuai aturan yang ada saat ini. Ketentuan lain terkait adalah dimungkinkannya calon-calon perseorangan, independen atau non-partisan mengikuti kontestasi berhadapan dengan calon-calon yang jumlah warga yang dibuktikan dengan salinan-salinan KTP warga pendukung yang terverifikasi oleh KPUD setempat.

Menurut pengamatan Bawaslu RI, terang Abhan, sejauh ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah yang berhasil mengungguli pasangan calon yang diusung partai-partai politik baru satu pasangan, yakni pemenang pilkada di salah satu kabupaten di Madura, Jawa Timur.

“Terkait sanksi pidana dan sanksi administratif yang diberlakukan oleh Bawaslu terhadap pasangan calon pelaku pelanggaran ketentuan pilkada, ditemukan indikasi kuat bahwa umumnya pasangan calon lebih takut terhadap sanksi administratif daripada sanksi pidana dari ketentuan Bawaslu,” tegas Abhan.

Sementara terkait dengan isu politik identitas yang mulai cenderung digunakan oleh pasangan calon kepala daerah di beberapa daerah dalam kampanye pilkadanya, Febri lebih mengkhawatirkan fenomena ini dibandingkan dengan praktik politik uang yang selama ini terjadi. Politik identitas digunakan pasangan calon untuk menjatuhkan pasangan calon lawannya tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar dibandingkan apabila mereka melakukan politik transaksional atau politik uang.
 

Tjoki Aprianda Siregar [dok:pribadi]

 

“Penggunaannya selama ini yang berhasil memenangkan pasangan calon kepala daerah yang melakukannya seakan menjadi opsi baru yang lebih efektif bagi mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” tutur Febri.

Kemudian soal ide pemberlakuan kembali pemilihan kepala daerah oleh DPRD demi menghemat biaya, Febri justru mengatakan praktik-praktik politik uang akan tetap berlangsung dan akan melibatkan anggota-anggota DPRD sebagai pelaku korupsi dan pasangan calon atau partai-partai politik sebagai pelaku suap.

“Perubahan sistem dari pilkada langsung oleh rakyat menjadi pemilihan tidak langsung oleh DPRD hanya akan memindahkan potensi korupsi dan tidak akan menghilangkan praktik-praktik korupsi politik. Potensi tindak pidana korupsi akan semakin besar bila mempertimbangkan adanya oligarki-oligarki politik di sejumlah daerah,” tegas mantan jubir KPK itu.

Dalam konklusinya kedua narasumber sependapat perlunya penerapan prinsip-prinsip demokrasi secara substansial menghadapi Pilkada serentak tanggal tanggal 9 Desember ini, untuk menghindari terjadinya praktik-praktik korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik uang.

Selain itu, keduanya juga menghimbau agar para pemilih tidak mau menerima pemberian uang atau dalam bentuk apa pun dengan permintaan imbalan agar mereka memilih pasangan calon kepala daerah tertentu.

Dalam kesempatan yang sama, Tjoki Aprianda Siregar, Moderator Diskusi yang juga Wakil Ketua ISNU DKI Jakarta, menyampaikan pandangan bahwa dengan semakin majunya teknologi informasi dan rakyat Indonesia semakin cerdas karena informasi yang diterimanya, penggunaan politik uang oleh pasangan-pasangan calon kepala daerah diyakini akan semakin tidak efektif. Rakyat semakin cerdas dan akan memilih pasangan calon sesuai akal sehat dan hati nuraninya.
 

 

 

KOMENTAR