Roman Lendong: Rakornas KIP Bertujuan Untuk Menggali Pemikiran Dari Berbagai Pihak Dalam Menyelesaikan Problem Bangsa

Binsar

Tuesday, 27-10-2020 | 19:57 pm

MDN
Roman Ndau Lendong, Komisioner KIP [Inakoran.com]

 

 

Bogor, Inako

Komisi Informasi Pusat (KIP) menggelar kegiatan Silaturahmi Nasional (Silatnas) dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) ke-11 Komisi Informasi (KI) seluruh Indonesia, 26-28 Oktober 2020 secara daring (dalam jaringan/online), yang berlangung di The Mirah Hotel, Bogor, dari tanggal 26-28 Oktober 2020.

Dari rilis yang diterima Inakoran.com, Senin (26/10/20), Ketua KI Pusat Gede Narayana menjelaskan bahwa pelaksanaan Silatnas dan Rakornas kali ini menitikberatkan pada inovasi pelayanan Informasi Publik untuk pemulihan kesehatan dan ekonomi melalui adaptasi kebiasaan baru.

Untuk menggali lebih jauh apa tujuan dari Rakornas kali ini, wartawan Inakoran.com sempat mewawancarai Roman Ndau Lendong, salah seroang Komisioner KIP, di sela-sela kesibukannya sebagai moderator dalam Webinar pada Senin (26/10) siang.

 

Kepada Inakoran, Roman menjelaskan bahwa rakornas kali ini sangat penting karena dilakukan di tengah situasi bangsa yang masih berkutat dengan pandemi corona.

Rakornas kali ini, katanya mempunya nilai-nilai yang penting karena diintegrasikan dengan agenda bangsa untuk pemulihan kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional.

“Kita tahu pandemi ini melahirkan kepanikan, ketakutan hebat di masyarakat termasuk soal ancaman kehilangan pekerjaan, ancaman kehilangan stok pangan yang memadai, termasuk juga ancaman keselamatan yang sangat serius,” tandasnya.

Dalam konteks itu, rakornas kali ini, kata Roman bertujuan untuk menggali pemikkiran dari beberapa kementrian terkait seperti Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian PAN RB, BKPM untuk diintegrasikan dengan agenda Komisi Informasi sebagai tulang punggung dalam memastikan badan publik itu terbuka tentang berbagai informasi.

Salah satu problem dalam mengatasi pandemi itu, sambung Roman, adalah problem informasi.

“Problem saat ini tidak hanya soal pendemi covid-19, tetapi juga soal infodemik, artinya bagaimana informasi itu menjadi satu ancaman baru kita sebagai sebuah bangsa,” tegasnya.

Dikatakan ancaman, sambung Roman, karena di sana terdapat penyesatan dan manipulasi informasi yang pada gilirannya akan melahirkan kebingungan dan kepanikan hebat di dalam masyarakat, dan itu akan menyulitkkan kita semua untuk mengintegrasikan agenda pemerintah untuk satu suara dalam memerangi covid-19.

“Jadi, kami dari komisi informasi ingin supaya kita sebagai sebuah bangsa itu satu suara, satu persepsi, satu tujuan, satu agenda untuk memastikan supaya pandemik ini menjadi musuh bersama dan di tengah itu tidak ada pilihan selain harus kerjasama, harus saling mendukung satu dengan yang lain,” harapnya.

Roman juga memberi komentar soal Undang-undang Cipta Kerja yang hingga saat ini masih mendapat penolakan di mana-mana.

Menurutnya, undang-undang ini memang sangat kompleks karena menyatukan 79 undang-undang sebelumnya sehingga sangat tebal.

“Tentu saja dari segi teknis menjadi sangat tebal dan itu terlalu banyak urusan yang diakomodir di sana, sehingga dengan demikian tidak bisa dengan cepat, orang mengetahui persis konten undang-undang tersebut,” akunya.

 

Masyarakat awam, sambungnya, tentu tidak dengan cepat menghafal isi undang-undang itu, sehingga bisa dimaklumi jika banyak yang belum membaca atau memahami isinya secara lengkap.

Di tengah suasana seperti ini, kata alumnus Fakultas Filsajat UGM ini, tentu tidak ada pilihan, pemerintah harus proaktif untuk mensosialisasikan, kita tidak bisa menuduh orang hoax dan kita tidak penting itu.

Hoax itu, katanya, hanya ingin memberikan kabar bahwa pemerintah harus berkerja lebih keras dalam mensosialisasikan undang-undang itu, karena hanya dengan sosialisasi yang intens dan massif kepada masyarakat, hoax akan hilang dengan sendirinya.

“Jadi menurut saya bukan soal tuduhan hoax, siapa yang melakukan atau siapa penyebab bukan itu, tapi pesannya adalah komunikasi yang intens dan massif dan menurut saya mungkin kita perlu menggunakan aktor-aktor lokal, untuk mensosialialisasikannya,” pintanya.

Negara, lanjutnya, tidak boleh sendirian mensosialisasikan ini, apalagi dengan suasana di mana trust terhadap negara yang agak sedikit turun saat ini.

 

“Jadi menurut saya pemerintah harus menggunakan seluruh elemen bangsa, tokoh pemuda, tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat harus diintegrasikan untuk menjadi satu kekuatan, untuk mengkomunikasikan apa persisnya undang-undang ini,” tegasnya.

Ia menambahkan, yang pasti, tidak ada produk undang-undang yang sempurna, selalu ada kekurangan ada kelebihan, karena itu selalu ada cela untuk revisi itu hal-hal yang kurang.

Yang pasti, tambahnya, kekurangan yang ada dalam undang-undang Cipta Kerja, jangan meruntuhkan visi besar undang-undang ini.

“Saya setuju bahwa undang-undang ini sangat pro-investasi, kita sangat setuju itu, karena sebuah bangsa dengan potensi alam yang besar terhadap investasi juga tidak akan mendatangkan kemaslahatan yang besar untuk masyarakat,” akunya.

 

Menurutnya, kita harus apresiasi kepada mereka yang kritik kepada pemerintah, apapun cara yang mereka lakukan, karena menurut Roman, hal itu untuk mengingatkan pemerintah bahwa tidak ada produk yang sempurna.

“Jadi itu menurut saya hal-hal yang sangat biasa, tapi kita ingatkan juga yang kontra, kita punya mekanisme demokrasi, mekanisme konstitusional,” pungkasnya.

Roman tidak sependapat dengan pihak yang menuduh bahwa undang-undang ini sengaja melindunngi pengusaha dan merugikan buruh.

“Menurut saya itu tuduhan yang berlebihan, saya kira ada mekanisme untuk yudisial review. Jadi begini, masyarakat sipil yang kuat itu akan menjadi topangan bagi negara, karena itu, siapapun kita harus jujur melihat bahwa ada hal yang kurang di undang-undang ini, tapi ada kekuatan juga yang harus didukung oleh semua orang,” tuturnya.

Semangat inilah yang ingin dibangun oleh komisi informasi, kata Roman.

“Pesan saya kepada pemerintah teruslah  membuka diri, apapun kritik terhadap anda itu bagian dari perhatian masyarakat terhadap negara, jadi lihatlah kritik itu sebagai sesuatu energi perubahan, energi kebaikan untuk bangsa,” tutup alumnus pasca sarjana UI ini.

KOMENTAR