Romo Benny Susetyo Pr : Toleransi Habitus Bangsa Indonesia

Sifi Masdi

Sunday, 17-11-2019 | 17:53 pm

MDN
Romo Benny Susetyo Pr (ke-2 dari kanan) menerima plakat dari panitia  seminar [inakoran.com]

Jakarta, Inako

Sejarah bangsa Indonesia sebenarnya melampaui  dari kata toleransi. Pasalnya, sejak dulu bangsa ini sudah mengembangkan persaudaraan sejati, sehingga toleransi sebenarnya adalah habitus bangsa Indonesia.

Para narasumber foto selfi bersama [inakoran.com]

 

Hal ini diungkapkan oleh Romo Benny Susetyo, dalam seminar yang bertajuk : Meneguhkan Toleransi, Merawat Kebhinekaan Indonesia, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jumat (15/11/2019). Seminar ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional.

“Sejak dulu kita sudah hidup dalam persaudaraan, saling menghargai, dan hidup dalam persaudaraan sejati. Misalnya, dalam Kitab Mpu Tantular pada zaman Majapahit, ada peninggalan di Mojokerto di Candi Seribu. Di situ terlihat bagaimana Siwa dan Budha berjumpa dan bertemu dan bahkan berdampingan dalam satu rumah ibadat.  Maka dalam petilasan-petilasan sejarah membuktikan bahwa bangsa ini memiliki habitus bertoleransi. Habitus itu menunjukan bahwa sebenarnya kita bertindak dan berperilaku  toleransi sehinggga tidak ada masalah dengan toleransi,” ujar Romo Benny.

Nasumber dan peserta seminar Toleransi [inakoran.com]

 

Tetapi Benny mengakui bahwa akhir-akhir ini sejak masa reformasi, kasus-kasus intoleransi di Tanah Air justru meningkat. Ia mengungkapan temuan Setara Institute sebanyak 2150 kasus intoleransi yang tidak bisa diselesaikan hingga saat ini.

“Kasus intoleransi agak sulit diselesaikan, karena dalam kasus yang  abnormal, agak berat bagi aparat keamanan untuk masuk. Itu terjadi karena adanya persoalan emosi. Di situlah terjadi kekerasan yang disebut sebagai kekerasan komunal, ” tegas anggota Badan Pembina Indiologi Pancasila (BPIP) ini.

Romo Benny berusaha menelusuri akar dari masalah intoleransi yang berkembang akhir-akhir ini. Menurut Benny, intoleransi muncul karena pendekatan budaya dalam mempelajari agama  diabaikan. Padahal ketika agama itu bersatu dengan kebudayaan, maka agama itu menjadi lebih sejuk, damai dan lebih harmoni.

“Problem agama akhir-akhir adalah ketika agama itu tidak dipahami secara utuh, lepas dari konteksnya. Pemahaman agama yang tidak utuh itu menyebabkan orang tidak pusing dengan orang lain. Ia mengganggap kebenaran agamanya sebagai paling baik, sementara yang lain berbeda,” ujarnya.

Peserta Seminar [inakoran.com]

 

Oleh karena itu, menurut anggota BPIP ini, untuk mengembangkan toleransi ke depan maka pentingnya setiap anak bangsa, terutama kaum milenial, mengalami pengalaman sejarah bangsa ini, bahwa memang keragaman dan kemajemukan sudah menjadi habitus bangsa ini atau sudah menjadi cara berpikir dan bertindak bangsa ini.

“Nah, disinilah peranan generasi milenial yaitu bagaimana membangun konten-konten positif mengenai kemajemukan dan keragaman ini menjadi arus utama,” tegas mantan Sekretaris Eksekutif KWI ini.
 

 

KOMENTAR