Runtuhnya Rezim Politik Fir'un

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Indramayu, Inako
Pembaca jangan berandai-andai judul tulisan di atas untuk siapa ditujukan melainkan kisah historis dan faktual dalam Al Qur'an, kitab suci rujukan para penganutnya untuk menimba hikmah pelajaran bahwa kekuasaan di back up beton politik setebal apapun akan menemui titik akhir jalan takdirnya. Dalam buku fiksinnya Tenten : lying and honesty, penulisnya, Glisongi menarasikan metafor bijak serapi apapun kekuasaan dibungkus kebohongan kebenaran akan selalu menenukan jalannya ibarat bayangan selalu menemukan pemiliknya saat matahari beranjak pergi.
Fir'un adalah politisi legendaris, bapak infrastruktur di era Mesir kuno dengan peninggalan historisnya berupa bangunan piramida-piramida kokoh dan irigasi pengairan modern di masanya sepanjang sungai nil. Ia penguasa dalam bentuk oligarkhi politik yang nyaris sempurna meskipun dalam Al Qur'an tidak dikisahkan Fir'un terlibat dalam praktek jual beli jabatan, bermain ijon proyek dan lain-lain.
Kekuasaannya secara oligarkhis sangat kokoh ditunjang kaki-kaki politik seorang konglomerat Qorun dengan kekayaan unlimited dan Bal 'an seorang intelektual sekaligus ulama yang dalam bahasa kekinian ia adalah konsultan politik untuk pencitraan menjaga wibawa kuasa Fir'un dengan langgam-langgam narasinya sangat mengagumkan dan menghipnotis publik sekaligus teror menakutkan.
Apatisme dan ketakutan terstruktur publik Mesir atas kekejaman Fir'un menjadikannya lama berkuasa hingga akhirnya Musa hadir dengan mukjizat tongkatnya memutus mata rantai kekuasaannya secara tragis. Beberapa abad berselang, serupa tapi tidak sama kadar otoritariannya, proses lengsernya para presiden di era politik modern juga dibanting nista oleh sejarah perubahan yang digerakkan secara sunnatullah. Inilah pelajaran bahwa tali ikat kekuasaan ibarat tali rafia tak lekang oleh waktu dan berproses lapuk menua oleh panasnya terik matahari dan resapan air hujan.
Dalam konteks sejarah berakhirnya kekuasaan di atas dan episode sejarah politik kekuasaan modern lainnya terus terang dalam derajat tertentu penulis mengagumi cara lengsernya Hj. Ana Shopanah dari jabatannya sebagai bupati Indramayu dua tahun silam. Mundur dari kemewahan protokoler dan lingkaran kepalsuan puja-puja tanpa tekanan politik baik dari parlemen maupun arus publik.
Pandangan sejarawan moralis Inggris Lord Action bahwa kekuasaan cenderung koruptif dan berlama-lama untuk selalu dikuasainya dapat diproteksi secara psikhologis oleh Hj. Ana Shopanah hingga ia mundur secara legowo, terhormat dan elegan. Sebuah pengecualian politik yang sulit ditemukan dalam sejarah kekuasaan baik di era politik kingdom kerajaan maupun dalam sistem politik demokratis modern.
Terlepas dari desas-desus tafsir lain terkait mundurnya Hj. Ana Shopanah di atas dan godaan konsistensinya kembali diuji untuk beberapa bulan ke depan point penting yang hendak disampaikan dalam tulisan ini adalah apa yang diingatkan oleh Ai bin Abi Thalib dalam kitab risalah poliktiknya Nahjul Balaghah , yakni Wala taqulanna inni muammaratun fa utha'a, janganlah sekali-kali anda sebagai penguasa yang diangkat oleh kekuasaan legal lalu meminta ketaatan tanpa reserve dari rakyat yang dipimpinnya.
Di sini kekuasaan penting untuk selalu diingatkan dan dikritik agar marwah dan moralitas kekuasaan selalu terjaga dari kemungkinan koruptif dan terikat ketat resonansinya dengan maslahat kekuasaan yang dimilikinya. Aspek maslahat inilah moralitas terpenting dari kuasa kepemimpian politik untuk selalu dalam proporsi chek and balances yang sehat dan menyehatkan.
Absennya kritik dari oposisi politik dan gerakan masyarakat sipil (para cendekiawan, ulama , aktivis dan lain-lain) akan melahirkan obesitas kekuasaan. Obesitas kekuasaan mudah terinfeksi penyakit laten kekuasaan, yakni power tends to currupt, absolute power currupt absolutely, kekuasaan cenderung koruptif. Makin absolut kekuasaannya makin besar daya jangkau koruptifnya. Inilah pelajaran yang terjadi pada Fir'un dan penguasa lalim lainnya hingga berakhir suul khatimah, akhir penuh derita nestapa.
Maka penting bagi kita mengingat kembali pandangan Ibnu Kholdun, penulis kitab Mukadimah, peletak dasar sosiologi kekuasaan bahwa menurutnya seorang penguasa mungkin sanggup membohongi seluruh orang pada sebagian masa, mungkin dapat membohongi sebagian masa pada seluruh orang, tapi pastilah mustahil menurutnya seorang penguasa sanggup membohongi semua orang dalam seluruh masa.
Substansi pesan filosofis dan sosiologisnya bahwa kemampuan seorang penguasa membatasi durasi kekuasaannya adalah kekuatan kearifan untuk mengakhiri takdir kuasanya secara husnul khatimah dan terhormat.
Semoga bermanfaat.
TAG#Indramayu, #Fir'un, #Hi Anna Sophanah
198736077

KOMENTAR