Siapa Teroris Para Wijayanto? Ini Rekam jejaknya Versi Polisi

Jakarta, Inako
Tahun 2000
Startup entitas teror yang diawaki Para Wijayanto (PW), diinisiasinya sejak sebelum tahun 2000 hingga tertangkap 19 tahun kemudian atau tepatnya intelektual bomber itu terciduk aparat Densus 88 Anti Teror, di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (28/6/2019).
Sepulangnya dari Moro, Filipina, PW mengawali debutnya dibidang kejahatan teror dengan melahirkan bom gereja pada tahun 2000.
Misa Natal pada Minggu, 24 Desember 2000, Ledakan terjadi di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram.
Malam Kudus yang dirayakan penuh hikmat...sontak kelam, dari ledakan bom yang dikendalikan jarak jauh dan diletakkan dalam gereja sebelum upacara Natal dimulai, ratusan jiwa meregang nyawa di tempat kejadian, demikian yang mengalami cacat permanen, tindakan keji sekaligus penistaan terhadap kemanusiaan itu, salah satu debut Para Wijayanto menuju surga yang amat sangat dipercayai, meski sulit dibuktikan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, Para pada tahun 2000, kembali ke Indonesia usai menyelesaikan pelatihan militer terorisme di Moro, Filipina. "Dia alumni pelatihan militer di Moro, angkatan ke-3. Dari situ dia aktif di dalam struktur organisasi terorisme JI," punkas Dedi di kantornya, Jakarta Selatan pada Senin, 1 Juli 2019.
PW, berada di Filipina dalam rangka melewati proses learning by building dimana ia, dibantu untuk mencari ide teror, model, dan prototype development dengan bantuan para "mentor teror" terbaik di Filipina Selatan yang telah bertahun-tahun adu pelor dengan pemerintah negara itu dan tak pernah surut hingga kini.
Tentu, sekembali ke tanah air PW akan mendirikan negara berhaluan mimpinya dan penting hancurkan NKRI yang berdarah Pancasila yang termasyhur dengan Bhineka Tunggal Ika, yang terlahir dari rahim akar budaya bangsa Indonesia dan bukan, cangkokan budaya impor dengan anyir pekat darah horor.
Bagi PW, NKRI berdarah Pancasila bersilang belakang dengan dasar negara yang mereka cita-citakan yakni berdasarkan Tuhan. Tuhan tidak menumpuk modal, capitalisme, liberalisme dan sekularisme jelas menjadi musuh utama mereka, karenanya harus dihancurkan, meski tujuan perebutan kekuasaan dimanapun di planet bumi, pangkalnya adalah rebut sumber daya ekonomi yang membuat hidup lebih. Segala-galanya harus lebih dari satu.
PW adalah lulusan sarjana teknik dari sebuah Universitas negeri di Jawa Tengah, layaknya Dr Azhari gembong teroris yang tewas dihujani bertubi-tubi timah panas adalah seorang dosen kimia dari universitas ternama di Malaysia.
Latar belakang pendidikan PW menjadikan ia, cerdik dalam ekosistim intelijen dan, sukses dalam setiap aksi horornya mulai dari teror bom bali I dua tahun kemudian setelah membunuh umat gereja pada tahun 2002.
Tahun 2002
Lautan darah mengalir berawan pilu membubung dari jerit tangis para korban bom Bali I, dalam tragedi tersebut 202 orang tewas sekejap mata, dan 209 orang lainnya luka-luka hingga cacat permanen dan kehilangan matapencaharian. PW diakui aparat berada dibalik tragedi paling keji itu, bersama Imam Samudra Cs yang telah lebih dulu menuju surga, katanya.
Dijelaskan Polisi, bahwa PW memiliki kemampuan militer dan merakit bom yang sangat handal. Terlebih , PW pernah bergabung dengan Noordin M Top dan Azahari bin Husin.

Seorang warga berjalan di depan spanduk mengutuk bom Bali yang menewaskan ratusan orang, pada renungan untuk mengenang korban tahun 2006. (foto Hila Bame, Pusaka Perdamaian.)
Bom Bali 2002 disebut juga Bom Bali I adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002.
Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan.

Angela, salah satu warga asing yang tewas ketika ledakkan bom terjadi, yang dipasang di ground zero, Bali. (Foto Hila Bame Pusaka Perdamaian)
Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50–150 kg.
Polisi menjelaskan dalam menyembunyikan identitas aslinya Para Wijayanto mengoleksi lima nama alias dan, satu nama asli dalam satu tubuh, untuk mengelabui masyarakat maupun aparat yang mengintainya.
Para Wijayanto alias 1, Abang alias 2,Adji Pangestu alias 3,Abu Askari alias 4, Ahmad Arief alias 5, Ahmad Fauzi Utomo.
Nama yang berlapis-lapis membuat PW leluasa menjalankan aksi teror selama kurun 2000 atau sembilan belas tahun dalam pencarian, hingga tercokok dalam tentengan Densus 88 Anti Teror pada Jumat, 28 Juni 2019 lalu di sebuah hotel di Jalan Raya Kranggan, Jatisampurna, Bekasi.
PW, menurut Brigjen Pol Dedi Prasetyo, selama menjalani pelatihan militer di Moro, ia memiliki kemampuan kuat di bidang intelijen hingga merakit bom. Dia bahkan menjadi salah satu kader terbaik JI asal Indonesia.

Rumah nyaman milik terduga teroris Para Wijayanto (PW) yang diciduk Densus 88 di Bekasi, Jawa Barat, mungkin untuk selamanya ia tinggalkan sampai ia pindah ke tempat tinggal baru yang ditunjuk negara (ist)
Tahun 2005-2007
Tiga tahun kemudian atau pada 2005 sampai 2007, PW terlibat dalam kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah yang menewaskan 14 warga sipil dan dua anggota Polri. "Setelah aksi kerusuhan di Poso itu, mereka (JI) menghilang dan fokus membangun kekuatan lagi sebelum melakukan aksinya. Dia fokus merekrut orang saat ini," ujar Dedi.
PW aktif mengirimkan kadernya ke Suriah untuk mempelajari militer dan terorisme. Ia telah memberangkatkan enam kelompok, di mana masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Meski begitu, tak semua berhasil dikirim ke Suriah."Ada yang berhasil tiba di Suriah, ada juga yang dideportasi kembali ke Tanah Air," jelas Brigjen Pol Dedi Prasetyo.

Mantan narapidana kasus terorisme, Harry Kuncoro alias Wahyu Nugroho alias Uceng, ditangkap Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 di Bandara Soekarno Hatta saat akan terbang menuju Suriah. Harry diduga merupakan salah satu teroris jaringan Nurdin M Top.
Guna memperkuat jaringannya, PW bersama anggotanya membangun usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Hasil usaha tersebut digunakan PW cs, untuk membiayai kegiatan JI. Mereka yang bergabung, kata Dedi, diupah sebesar Rp10 juta hingga Rp15 juta.
Tahun 2019 Tupai Tak Lagi Bisa Melompat
Sepandai-pandainya tupai melompat selalu ada jeda bagi tupai untuk berjalan seperti biasa, kata pepatah, saatnyalah PW di ringkus.
PW , ujar Brigjend Dedi, dibekuk pada 28 Juni 2019 di Hotel Adaya Jalan Raya Kranggan, Jatisampurna, Bekasi. Selain PW, polisi juga meringkus istrinya yakni Masitha Yasmin dan tangan kanannya Bambang Suyoso. Ketiganya ditangkap berbarengan. “Bambang berperan sebagai penghubung amir dan orang yang direkrut, termasuk orang-orang yang dikirimkan ke Suriah. Bambang juga sebagai sopir Para,” kata Dedi.
Selain itu, polisi meringkus Abdurrahman, pada 30 Juni 2019 sekitar pukul 11.45 WIB, di Perumahan Griya Syariah, Blok G, Kelurahan Kebalen, Bekasi, Jawa Barat. Abdurrahman merupakan orang yang berhasil direkrut oleh jaringan Para dan juga orang kepercayaannya untuk menggerakkan jajaran JI di Indonesia.
Terakhir, polisi menangkap Budi Tri alias Haedar alias Feni alias Gani di hari yang sama, 30 Juni 2019, sekitar pukul 14.15 WIB di daerah Pohijo, Kecamatan Sampung, Ponorogo, Jawa Timur. Budi Tri adalah penasihat Para dan penggerak jajaran JI Jawa Timur.
198736191
KOMENTAR