Sri Mulyani Minta Masyarakat Jangan Lihat Nominalnya Utang Tapi Konteksnya

Sifi Masdi

Wednesday, 30-01-2019 | 16:27 pm

MDN
Menteri Keuangan Sri Mulyani [ist]

Jakarta, Inako

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menegaskan agar masyarakat tidak melihat utang dari nominalnya. Utang memang diakuinya terlihat menakutkan.

"Kalau mau katakan jumlah pembayaran utang naik karena memang nominalnya utang naik. 2014, [...] 5 tahun kemudian memang jumlah stok nominalnya tinggi," kata Sri Mulyani di sela konferensi pers KSSK, di Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Menurutnya jika dibandingkan nominal memang terlihat besar. Untuk itu ia meminta tidak membandingkan nominalnya. 

"Yang dibandingkan juga tidak hanya nominal, cenderung dianggap menakutkan masyarakat."

"Yang disampaikan bukan sesuatu yang baru. Adalah sesuatu yang logis, namun dilihatnya dalam konteks yang lebih besar," imbuhnya.

Dijelaskan Sri Mulyani, harga komoditas yang sempat turun dan ekspor juga menurun mempengaruhi penerimaan negara dan bisa membuat utang lebih besar. Namun melalui APBN, ada dana khusus untuk pengurangan kemiskinan. 

"Jadi dilihat dari utangnya kan jauh konteksnya," tegas Sri Mulyani.

Sebelumnya, utang pemerintah yang menembus Rp 4.416 triliun dalam beberapa waktu terakhir kerap menjadi komoditas politik. Bahkan, posisi utang pemerintah dianggap sebagai penyakit kronis dan sulit disembuhkan.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri dalam situs resminya, kembali mengkritisi pengelolaan utang pemerintah. Kali ini, yang disoroti Faisal bukanlah nominal utang melainkan pembayaran bunga utang.

Dalam berita CNBC Indonesia, Selasa (29/1/2019) disebutkan, dalam kurun waktu 2014-2018 utang pemerintah pusat naik hingga 69% dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun, atau lebih tinggi dari periode 2010 - 2014 sebesar 55%.

Sementara dari sisi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih tergolong sangat rendah tak sampai 30%. Jika dibandingkan dengan negara lain, justru masih lebih baik.

Jepang misalnya, mencapai 250% dari PDB, Amerika Serikat (AS) bahkan hingga 105% dari PDB. Namun, menurut Faisal, membandingkan utang Indonesia dengan negara lain tidak cukup hanya menggunakan indikator tersebut.

"Sekalipun utang pemerintah Indonesia masih relatif rendah, namun beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat," kata Faisal.

Pada tahun 2014, pembayaran bunga utang baru mencapai 7,5% dari belanja total dan 11,1% dari belaja pemerintah pusat. 5 tahun kemudian, angka tersebut meningkat masing-masing menjadi 11,7% dan 17,9%.

Data Kementerian Keuangan mencatat, pembayaran bunga utang pada 2014 secara nominal mencapai Rp 133,4 triliun. Angka tersebut semakin meningkat di 2018 hingga Rp 258,1 triliun - non audited.

Selama kurun waku 2014 - 2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi hingga 94%, lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%.

"Sebagai perbandingan, AS yang nisbah utangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia hanya mengalokasikan 7% dari belanja total pada tahun anggaran 2018," kata Faisal.

"Harus diingat pula, APBN AS sebagian besar dialokasikan untuk belanja sosial yang langsung diterima oleh rakyatnya, antara lain dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan," jelasnya.

"Akibat beban pembayaran bunga yang terus meningkat di Indonesia, alokasi untuk belanja sosial tak kunjung naik, bahkan turun." 

 

KOMENTAR