Subsidi BBM dalam APBN 2018 Membengkak 106%

Sifi Masdi

Thursday, 03-01-2019 | 08:25 am

MDN
Ilustrasi SPBU Pertamina [ist]

Jakarta, Inako

Belanja Pemerintah Pusat meningkat 14,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka Rp 1.444,4 triliun hingga akhir Desember 2018. Realisasi itu lantas mencapai 99,3% dari target APBN 2018 sebesar Rp1.454,5 triliun.

Hal ini dilaporkan pada konferensi pers Realisasi APBN 2018 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada hari ini Rabu (2/1/2019).

Setidaknya ada beberapa pos belanja pemerintah yang naik cukup kencang, yakni belanja lain-lain (77,27% YoY), subsidi (86,25% YoY), bantuan sosial (51,72% YoY), pembayaran bunga utang (19,16% YoY), dan belanja barang (15,61% YoY).

Pos belanja 2018

Pertama, untuk pos pembayaran bunga utang, pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga acuan nampaknya memiliki andil bagi naiknya pembayaran bunga utang. 

Sebagai catatan, hingga akhir Desember 2018, pembayaran bunga utang sudah mencapai Rp 258,1 triliun, atau mencapai 108,2% dari target APBN 2018. Artinya, pembayaran bunga utang di tahun lalu sudah menembus target yang dicanangkan di APBN 2018.

Sepanjang tahun lalu, nilai tukar rupiah memang melemah nyaris 6%. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup signifikan ini nampaknya berdampak pada bertambahnya beban pemerintah untuk membayar bunga utang (khususnya untuk utang luar negeri). 

Kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) sebanyak 175 basis poin (bps) di sepanjang tahun 2018 juga turut mengerek suku bunga obligasi pemerintah, sehingga turut menjadi beban pembayaran tambahan.

Kedua, kenaikan pos subsidi didorong oleh pertumbuhan subsidi energi yang mencapai 57,27% YoY ke angka Rp 153,5 triliun. Secara rinci, subsidi BBM & LPG naik 106,38% YoY ke Rp 97 triliun, sementara subsidi listrik tumbuh 11,66% YoY ke Rp 56,5 triliun.

Pertumbuhan subsidi BBM & LPG yang sebesar 2 kali lipat lebih itu lantas menjadi yang terbesar dibandingkan pos belanja pemerintah lainnya. Realisasi subsidi BBM& LPG bahkan sudah mencapai 207% dari target APBN 2018. Artinya, kuota subsidi untuk solar dan LPG di tahun ini sudah jebol cukup parah. 

Kenaikan harga minyak mentah dunia ditambah pelemahan rupiah, nampaknya berkontribusi bengkaknya subsidi BBM & LPG. Di sepanjang tahun 2018, harga minyak jenis brent memang jeblok 19,55% secara point-to-point. Namun, rata-rata harga di tahun lalu adalah sebesar US$ 71,67/barel, naik dari rata-rata tahun 2017 sebesar US$ 54,75/barel.

Hal ini tidak lepas dari harga si emas hitam yang sebenarnya sempat melambung tinggi hingga menembus level US$ 85/barel pada awal Oktober 2018. Walaupun setelah itu harganya jatuh dalam hingga akhir tahun ini.

Pemerintah sendiri sudah sepakat menaikkan alokasi subsidi solar yang semula ditetapkan Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter, demi menjaga harga solar subsidi tetap terjangkau oleh masyarakat.

"Subsidi Rp 216,8 Triliun lebih tinggi dari yang dianggarkan karena ada perubahan policy subsidi energi terutama BBM," ucap Sri Mulyani.

Ketiga, belanja pegawai juga naik cukup pesat sebesar 10,87% YoY ke angka Rp 346,7 triliun. Hal ini nampaknya tidak lepas dari kebijakan THR dan gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diterapkan pemerintah pada pertengahan tahun ini. 

Keempat, di sisi lain ada satupos belanja yang pertumbuhannya tidak memuaskan, yakni pos belanja modal. Belanja modal terkontraksi atau tumbuh minus 11,4% YoY di tahun ini. 

Pertumbuhan negatif belanja modal pemerintah menjadi menarik, karena nampaknya hal ini berhubungan dengan kebijakan Jokowi untuk menahan laju pembangunan infrastruktur demi menyelamatkan rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Di Indonesia, transaksi berjalan tidak pernah surplus sejak kuartal IV-2011. Bahkan defisitnya pernah mencapai titik nadir di 4,26% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2014.  

Penyakit lama itu kambuh lagi pada 2018. Pada kuartal I, defisit transaksi berjalan masih di 2,17% PDB. Namun menjadi semakin dalam pada kuartal II yaitu 3,02% dan tambah parah di kuartal berikutnya yang mencapai 3,37%. 

Sebagai informasi, belanja modal pemerintah merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap, yang pada umumnya memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. 

Peningkatan belanja modal pemerintah akan mendorong naik komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) di dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Sehatnya pertumbuhan PMTB akan menjadi sinyal yang baik bagi ekonomi secara jangka panjang.

Selain itu, belanja modal juga akan meningkatkan kapasitas produksi negara melalui pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan pelabuhan penyeberangan, bandara, dan stasiun akan meningkatkan konektivitas antar wilayah membuka isolasi untuk meningkatkan kapasitas arus orang, barang, dan jasa.

Oleh karena itu, belanja modal menjadi pos belanja yang paling produktif dibandingkan pos anggaran lainnya. Perannya amat krusial dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sayang, nampaknya pos ini akhirnya dikorbankan demi menyelamatkan CAD dan rupiah.

Realisasi belanja modal hingga akhir Desember sendiri mencapai Rp 184,9 triliun, atau "hanya" 90,7% dari target APBN 2018. Realisasi itu menjadi yang paling kecil di antara belanja pegawai (94,8% APBN) dan belanja barang (99,1% APBN). 
 

KOMENTAR