Tidak Pada Tempatnya Jika Fungsi TNI dalam Mengatasi Terorisme Diatur dengan Perpres

Oleh: Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat Peradi
Jakarta, Inako
Kementerian Hukum dan HAM RI telah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Perpu No. 1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, rancangan mana telah dikirim ke DPR RI, pada 4 Mei 2020 untuk disetujui.
TNI sebagai alat pertahanan negara men gembana 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi Penangkalan, Penindakan, dan Pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, satu di antaranya mengatasi Aksi Terorisme yanh diatur berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, guna menegakan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Yang jadi masalah adalah fungsi TNI yang ditur oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatasi aksi terorisme, selama ini dilaksanakan oleh Polri dengan payung hukum UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sedangkan untuk TNI, fungsi mengatasi aksi terorisme tidak diatur secara lebih jelas dan konprehensif dalam UU TNI atau melalui revisi UU TNI tetapi ternyata mau diatur dengan Perpres, padahal fungsi TNI dimaksud sangat strategis karena memberantas aksi terorisme pada bagian hulu.
Karena itu sangat disayangkan pendirian Pemerintah yang ingin mengefektifkan fungsi TNI untuk bidang Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan aksi terorisme pada bagian hulu aksi terorisme, tetapi payung hukumnya hanya dengan sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i ayat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berada pada bagian hilir.
Secara Ilmu perundang-undangan, maka hal ihwal tentang tindakan hukum berupa Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan oleh TNI sebagai sebuah Organ Negara tanpa diperinci bagaimana seharusnya fungsi itu dilakukan, batasan-batasan operasionalnya, syarat-syarat formil dan materilnya pelaksanaannya, harus diatur dengan UU, sementara UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI belum mengatur secara memadai penggunaan aparat TNI untuk fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan mengatasi aksi terorisme.
RPERPRES MEREDUKSI FUNGSI TNI.
Menarik TNI dalam mengatasi aksi terorisme tanpa memperjelas secara terukur fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan melalui revisi UU TNI, hal itu justru tidak cukup memberi legitimasi terhadap fungsi TNI bahkan mereduksi fungsi TNI untuk tugas Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan sebagai sebuah Tindakan Hukum yang secara operasional seharusnya diatur dengan UU tetapi justru diatur hanya dengan Perpres yang berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan dalam operasi selain perang.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak boleh terjebak dalam cara berpikir praktis dan pragmatis ketika menggunakan wewenang membuat kebijakan dan keputusan politik negara, melalui RPerpres yang pada pasal 3 s/d pasal 12 isinya ngambang tidak punya bobot filosofis, sosiologis dan yuridis, karena itu DPR RI sebaiknya kembalikan RPerpres dimaksud dan dorong agar segera revisi UU TNI terlebih dahulu agar garis regulasinya jelas dan proporsional mana bagian hulu mana bagian hilir.
Sebagai sebuah regulasi organik dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka RPerpres dimaksud tidak akan efektiv dan efesien menjamin bekerjanya fungsi TINI untuk Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan, bahkan berpotensi menimbulkan overlaping dalam penggunaan kekuasaan dan wewenang antara TNI dan Polri dalam mengatasi aksi terorisme. Fungsi TNI harus diukur dari perkembangan terorisme dan ancaman global semakin mengkhawatirkan, maka penguatan kelembagaan TNI dalam peran mengatasi terorisme harus dengan UU.
TNI harus mengoreksi keputusan politik negara berupa Perpres yang rancangannya sudah dibuat Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly, selain karena isinya tidak memetakan secara tegas dan terperinci mana tugas yang menjadi domain TNI dan mana yang menjadi domain Polri yang acuannya pada KUHAP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ini membingungkan, terlebih-lebih karena baik TNI maupun Polri dua-duanya memiliki fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan dalam lingkup wilayah yang berbeda yaitu TNI di hulu dan Polri di hilir.
190216131
KOMENTAR