Tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD RI, DPR RI DAN DPRD Pasca Pemilu 2019, Adalah Selesaikan Konflik Dan Tanah Ulayat Di Seluruh NTT

Hila Bame

Thursday, 04-04-2019 | 17:09 pm

MDN
Petrus Selestinus SH  KOORDINATOR TPDI & AVOKAT PERADI

 

Oleh: Petrus Selestinus SH  KOORDINATOR TPDI & AVOKAT PERADI

Jakarta, Inako

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah mempertegas posisi negara (Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama DPR RI dan DPRD) sebagai sebuah kewajiban konstitusional untuk menyelesaiakan persoalan konflik Tanah Ulayat dan Hak Ulayat dimanapun, tidak terkecuali di NTT termasuk di seluruh Flores, Alor dan Lembata yang persoalannya sudah terkatung-katung bahkan dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa ada tanggung jawab sedikitpun untuk diselesaikan melalui jalur Hukum Adat  sebagai bagian dari wujud tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPR RI dan DPRD.

Tanggung jawab konstitusionalitasnya adalah memenuhi amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa : "negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih ada sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hak Ulayat dan Tanah Ulayat selalu melekat hak-hak tradisional yang bersifat komunal oleh sekelompok masyarakat adat dalam suatu wilayah dengan batas-batas tertentu dan dengan segala hak tradisionalnya serta diakui oleh masyarakat adat setempat.

Karena itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama DPR RI, DPD RI dan DPRD harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh konflik Tanah Ulayat dan Hak Ulayat di seluruh NTT khususnya di wilayah Flores, Lembata dan Alor yang selama ini dibiarkan seakan-akan konflik Hak Ulayat dan Tanah Ulayat itu semata-mata persoalan perdata yang hanya menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa. Ini adalah pandangan yang keliru, karena Hak Ulayat dan Tanah Ulayat termasuk dalam kriteria kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang di atasnya melekat hak-hak tradisional yang diwarisi secara turun temurun dan yang penguasaannya secara komunal berdasarkan hukum adat setempat serta diakui oleh negara.

 


Petrus Selestinus S.H. (kanan)
 

 

KONFLIK HAK ULAYAT DAN TANAH ULAYAT, TANGGUNG JAWAB NEGARA.

Di dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa : "bumi dan air dan ruang dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disebutkan bahwa : "Hak mengusai dari Negara di atas, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah.

Sedangkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan bahwa : "pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi tetap diakui.

Dengan demikian konstitusionalitas Hak Ulayat dan Tanah Ulayat tidak boleh diabaikan atau diingkari, karena telah diakui, dihormati bahkan wajib dilindungi, baik menurut UUD 1945 maupun menurut UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Implikasi hukum dari konstitusionalitas Tanah Ulayat dan Hak Ulayat yang merupakan representasi dari kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang telah mendapat kedudukan strategis di dalam Konstitusi dan Hukum Nasional yaitu UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka Negara (Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD RI, DPR RI dan DPRD) tidak boleh berpangku tangan membiarkan konflik Tanah Ulayat dan Hak Ulayat semata-mata hanya sebagai konflik perdata yang bersifat pribadi melainkan harus dipandang sebagai konflik yang bermuatan kepentingan nasional terutama tujuan nasional di dalamnya.
[20:36, 3/4/2019]

Di era Presiden Jokowi, persoalan budaya sudah mendapat tempat yang strategis dan terhormat melalui pengaturannya di dalam UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan. Di dalam UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan, persoalan hak-hak tradisional masyarakat yang beragam dikategorikan sebagai kebudayaan daerah, merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional. Untuk itu, maka diperlukan langkah-langkah strategis berupa upaya Pemajuan Kebudayaan melalui "Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
 

Oleh karena itu, maka sikap abai dari negara dengan membiarkan konflik Hak Ulayat dan Tanah Ulayat yang terjadi di antara warga anggota masyarakat adat dan antara warga masyarakat adat dengan pemerintah, jelas merupakan sebuah tontonan yang tidak elok dan kontraproduktif dengan kepentingan nasional saat ini.

Konflik atas Tanah Ulayat dan Hak Ulayat di berbagai tempat di NTT telah berlangsung bertahun-tahun dengan membawa korban pembunuhan di lokasi sengketa, kemudian konflik itu diwariskan kepada generasi berikutnya tanpa pemerintah ikut campur tangan untuk membenahi dan menyelesaikannya.

Ini adalah suatu kekeliruan cara pandang pejabat-pejabat negara (Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD RI, DPR RI dan DPRD) di seluruh NTT selama ini, oleh karena itu di era Pemerintahan Jokowi dan kepemimpinan Gubernur NTT Viktor. B. Laiskodat dan Wakilnya Joseph Nai Soi, diharapkan sekali ada langkah-langkah pro-aktif untuk menyelesaikan seluruh sengketa Hak Ulayat dan Tanah Ulayat sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusional negara dalam persoalan Hak Ulayat dan Tanah Ulayat.

Mengapa, karena terdapat fakta bahwa ada Institusi Negara di Kabupaten tertentu ikut serta sebagai pelaku yang memperkeuh konflik Hak Ulayat dan Tana Ulayat sebagai pihak yang menggusur Hak Ulayat dan Tanah Ulayat atas nama "Pembangunan Untuk Kepentingan Umum" tetapi dengan cara-cara melanggar hukum.

TIDAK ADANYA PENGHORMATAN TERHADAP HAK-HAK ATAS TANAH.

Tidak adanya sikap menghormati hak-hak atas tanah sesuai dengan amanat Undang-Undang Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan tidak adanya upaya dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD RI, DPR RI dan DPRD melalui upaya "Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan" guna memajukan, melindungi dan menghormati semua obyek Pemajuan Kebudayaan termasuk di dalamnya hak-hak tradisonal masyarakat seperti Hak Ulayat dan Tanah Ulayat, maka saatnya mari kita sama-sama memulai untuk mengatasi melalui upaya bersama sebagai wujud tanggung jawab bersama, mengambil langkah-langkah terobosan sebagai sebuah kewajiban konstitusional untuk melindungi hak-hak tradisional masyarakat atas Tanah Ulayat dan Hak Ulayat, karena Lembaga Hak Ulayat dan Tanah Ulayat-pun merupakan Lembaga yang oleh Undang-Undang Pokok Agraria diberi kedudukan yang setara bersama Pemerintah Daerah (Pemerintah Swatantra) mendapat kepercayaan atau mandat dari negara untuk mengatur dan menyelesaikan semua persoalan Hak Ulayat dan Tanah Ulayat sesuai dengan kepentingan nasional yaitu merawat jati diri bangsa.

 Karena itu Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD RI, DPR RI dan DPRD hasil pemilu 2019, harus memprioritaskan penyelesaian seluruh konflik atas Hak Ulayat dan Tanah Ulayat yang terjadi di hampir semua Kabupaten di NTT yang selama puluhan tahun dibiarkan dan diwariskan sengketa itu kepada generasi berikutnya.

Sikap mewariskan sengketa kepada generasi berikutnya adalah sikap yang bertentangan dengan "identias budaya" bangsa kita dan tentu saja ini tidak sejalan dengan kepentingan nasional dan tujuan nasional bangsa Indonesia menurut UUD 1945, apalagi di tengah  menguatnya "radikalisme", "intoleransi" dan "terorisme", maka penguatan Lembaga-Lembaga di luar Lembaga Negara, seperti Lembaga-Lembag Adat, Hukum Adat, Hak Ulayat dan lain-lain tidak boleh diabaikan bahkan wajib hukumnya untuk diperkuat, dengan tugas utama menyelesaikan konflik-konflik atas Hak-Hak Tradisional masyarakat termasuk sengketa Hak Ulayat dan Tanah Ulayat di seluruh NTT khususnya di Flores, Alor dan Lembata yang konfliknya sudah berlangsung puluhan tahun tetapi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD RI, DPR RI dan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dibiarkan.

Simak juga video berikut jangan lupa "klik Subscribe" agar selalu terhubung dengan info menarik lainnya.

KOMENTAR