Wacana Pembentukan Super Holding BUMN Sudah Dimulai Sejak Era Soeharto

Sifi Masdi

Monday, 15-04-2019 | 18:25 pm

MDN
Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng [ist]

Jakarta, Inako

Wacana pembentukan super holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ramai dibicarakan oleh publik. Terutama, sejak Joko Widodo (Jokowi) melempar wacana pada debat calon presiden (capres) pamungkas di akhir pekan lalu.

Pembentukan super holding ini rupanya bukan wacana baru. Super holding perusahaan pelat merah sudah dibahas sejak Order Baru atau di masa Presiden ke-2 Soeharto.

Hal ini diungkapkan oleh mantan Menteri  BUMN Tanri Abeng saat wawancara khusus dengan detikfinance pada September 2014. Namun pada saat itu Tanri Abeng belum menyebut istilah super holding.

Tanri Abeng sendiri menjabat sebagai Menteri BUMN mulai 16 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 di Kabinet Pembangunan VII. Saat itu, kementeriannya bernama Kementerian Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara.

Tanri bercerita, adanya kata 'Pendayagunaan' dalam kementerian ialah dengan maksud agar BUMM bisa didayagunakan. Sehingga, kinerjanya meningkat dan mampu membayar utang negara. Selanjutnya, BUMN bisa berkontribusi pada pembangunan.

"Menteri Pendayagunaan BUMN merangkap Kepala Badan Pembina BUMN yang punya executive power. Menteri Negara tidak punya," katanya Tanri kala itu.

Tanri bilang, saat itu dia membuat cetak biru (blue print) BUMN. Dia mengatakan, 10 tahun sejak ia menjabat yakni tahun 2000-2010 kementerian tetap dipertahankan. Lalu, pada tahun 2010 tidak ada lagi kementerian negara. Jadi, hanya tersisa Badan yang pada konteks kekinian disebut dengan istilah super holding BUMN.

Super holding BUMN inilah nantinya yang akan berperan mengelola seluruh BUMN yang ada di Indonesia lepas dari kepentingan politik.

"Kenapa? Supaya tidak lagi berbau politik. Tapi kan nggak pernah diubah kan? Yang diubah malah menterinya, ganti 7 kali," ujarnya.

Dia melanjutkan, 5 tahun kemudian setelah 2010 atau 2015 tidak ada lagi Badan. Yang ada, ujarnya, holding company.

"Kemudian, dalam blue print saya itu tahun 2010 tidak ada lagi menteri yang ada kepala badan. Lima tahun kemudian yaitu 2015, artinya tahun depan kalau blue print saya dijalankan, itu tidak ada lagi badan tetapi murni holding company. Seperti usul saya 15 tahun yang lalu ke Pak Harto," ungkap Tanri.

Sayang, rencana Tanri bersama Presiden Soeharto itu tidak berjalan. Dalam wawancara tersebut, Tanri mengungkapkan kekecewaannya akibat tak jalannya proses pembetukan holding BUMN itu.

"Jadi, satu-satunya merger yang berhasil merger itu adalah Bank Mandiri. Masih saya juga yang melakukan," ujarnya.

Akibat program pembentukan holding itu tak jalan, BUMN Indonesia jadi tertinggal perkembangannya dibanding BUMN negara lain seperti milik Malaysia dan Singapura.

"Setelah saya, tidak ada. Makanya itu yang saya kecewa. Yang saya anggap tidak optimal. Saya katakan saya kecewa. BUMN kita itu masa utuhnya hanya separuh dari satu perusahaan Malaysia. Petronas itu US$ 20 miliar, kita di bawah US$ 10 miliar. Malu kita," tutupnya.

 

 

KOMENTAR