Ambiguitas Jokowi-Retno di Palestina, Yang Perang Lawan Israel Hamas bukan PNA Mahmoud Abbas
Oleh: Josef Herman Wenas
Presiden Palestina itu namanya Mahmoud Abbas. Sementara yang berperang dengan Israel adalah Hamas, salah satu faksi dalam negara Palestina dan pengendali jalur Gaza. kok bisa?
Faktanya, yang diakui Indonesia dan negara-negara Barat hanya kedaulatan Mahmoud Abbas. Yang fotonya tergantung pada dinding Kedutaan Besar Palestina di Jakarta juga wajah Mahmoud Abbas, bukan Ismail Haniyeh. Presiden Jokowi, begitu pula Menlu Retno, selama ini selalu berhubungan dengan Mahmoud Abbas dalam berbagai urusan resmi terkait Palestina.
Jumat-Sabtu 7-8 Mei 2021 di kompleks Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, terjadi kerusuhan sipil yang sudah banyak diberitakan. Rentetan "lokasi" dan "saat" kejadian semuanya simbolisitik.
Mulainya di Damascus Gate, karena orang-orang Palestina memblokade pawai Jerusalem Day oleh para Yahudi ortodoks. Silahkan Anda cari keterangan apa arti Damascus Gate bagi orang Palestina, dan apa arti Jerusalem Day bagi para Yahudi itu.
BACA:
Mengenal Khaled Mashaal, Mantan Pemimpin Hamas
Kejadiannya pun di bulan Ramadan, simbolik lagi. Apalagi tempatnya di Masjid Al-Aqsa, sangat simbolistik bagi umat Muslim sedunia.
Lalu dari Damascus Gate, keributan bergeser ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Awalnya di luar masjid, tetapi kemudian para perusuh Palestina ini masuk kedalamnya, darimana mereka kemudian melempari batu-batu ke polisi Israel. Polisi Israel terpaksa masuk masjid untuk menangkap para perusuh, sambil bingung, “kok bisa di dalam masjid ada persediaan batu yang banyak?”
Kita stop sampai disini saja, pada “casus belli” dibalik flashpoints yang terjadi. Sebab kalau mau bicara latar belakang sejarahnya, ya panjang dan rumit kemana-mana. Bukan hanya soal pemukiman Yahudi-Israel di sekitaran Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur seperti luas diberitakan itu.
Silahkan lihat peta West Bank, dan cari keterangan sendiri kenapa hari ini peta itu bopengan mengerikan dengan Area A, Area B dan Area C. West Bank adalah salah satu dari 4 main disputed territories sejak Israel mengalahkan tiga negara yang mengeroyoknya sekaligus (Mesir, Suriah dan Yordania) dalam 6 hari pertempuran di tahun 1967— tiga lainnya: Golan Heights, Gaza Strip dan East Jerusalem.
Selamat puyeng! Dan selamat membela versi masing-masing soal siapa benar, siapa salah.
**
Kerusuhan di Yerusalem itu ditangani oleh polisi Israel, bukan tentara IDF (Israel Defense Forces). Korban luka-luka ratusan orang, tapi tidak ada yang mati. Polisi menggunakan “stun grenades”, jangan dikacaukan dengan granad tempur yang mematikan itu.
Akan tetapi, ketika kerusuhan di Yerusalem masih ditangani, pada Senin 10 Mei 2021 selepas magrib, sekitar 80 kilometer jauhnya di sebelah barat-daya, dari Jalur Gaza (Gaza Strip) mulai ditembakan roket-roket Qassam oleh Hamas ke wilayah Israel. Oleh karena roket-roket yang bicara, maka IDF yang bicara juga, langsung dibawah kendali Menhan Benny Gantz. Sejauh ini sudah ratusan orang pada mati.
Bagi Israel, yang di Yerusalem itu sepenuhnya urusan kamtibmas, sedangkan yang di Jalur Gaza itu sudah urusan pertahanan-keamanan negara. Maka beda sekali cara penanganannya, termasuk peralatannya.
Sudah terang benderang, oleh karenanya, hubungan antara kerusuhan di Yerusalem hari Jumat-Sabtu itu dan hantaman roket-roket Hamas dari Jalur Gaza pada hari Seninnya, yang masih berlangsung sampai hari ini. Bagi Israel ini bukan sekedar melawan Hamas saja, ada bebuyutan Iran di belakangnya, persis seperti Hezbollah di Lebanon.
Presiden Ismail Haniyeh dari Hamas adalah yang memerintahkan gempuran ke Israel, bukan Presiden Mahmoud Abbas dari Palestinian National Authority (PNA). Abbas itu tidak punya pengaruh politik di Jalur Gaza. Jadi yang mana yang mewakili Palestina?
Faktanya, yang diakui Indonesia dan negara-negara Barat hanya kedaulatan Mahmoud Abbas. Yang fotonya tergantung pada dinding Kedutaan Besar Palestina di Jakarta juga wajah Mahmoud Abbas, bukan Ismail Haniyeh. Presiden Jokowi, begitu pula Menlu Retno, selama ini selalu berhubungan dengan Mahmoud Abbas dalam berbagai urusan resmi terkait Palestina.
Presiden Ismail Haniyeh, mengatasnamakan Palestina, juga kirim surat ke Presiden Jokowi tanggal 12 Mei 2021 untuk minta dukungan. Tapi tidak ditanggapi.
Ada ambigu terlihat jelas. Yang sekarang sedang perang dengan Israel itu Haniyeh-Hamas, tetapi sikap politik simpati kita diekspresikan kepada Abbas-Palestine National Authority.
Padahal Dunia Barat itu melihat Hamas sebagai organisasi teroris. Dan Indonesia jelas menentang terorisme, apalagi dengan pengalaman dalam negeri dalam tahun-tahun terakhir.
Tetapi faktanya Presiden Jokowi juga tidak mengecam aksi roket-roket Hamas, kan?
**
Sayangnya Indonesia tidak mampu memberikan sumbangsih yang lebih jauh dari “politik himbauan-kecaman” dan bermain dalam “modalitas diplomasi konvensional." Di PBB misalnya melalui Committee on the Exercise of the Inalienable Rights of the Palestine, atau melalui mekanisme di OKI, atau di GNB.
Hanya sebatas dua cara itu saja, selama puluhan tahun.
Padahal kita memiliki modal yang tidak dimiliki bangsa lain untuk jadi penengah antara Israel-Palestina, yaitu sebagai negara Islam demokratis terbesar di dunia. Ulang ya, modal “demokrasi Islam terbesar di dunia,” dan ini adalah bahasa diplomasi ideal yang dimengerti dan diamini semua orang sedunia.
Disini bedanya cara pandang Aburrahman Wahid yang kontekstual di era millennium tahun 2000-an dan cara pandang Mohammad Hatta yang kontekstual di tahun 1950-an. Tentu masing-masing punya kalkulasi geopolitik pada konteks zamannya.
Politik luar negeri kita terkait isu Palestina masih hidup dalam konteks geopolitik 1950-an. Tidak ada terobosan.
Hanya dengan terobosan mengubah sikap politik luar negeri kita terhadap Israel barulah Indonesia bisa melangkah lebih jauh secara konkrit untuk mewujudkan amanat Mukadimah UUD 1945 demi “menghilangkan penjajahan diatas muka bumi” di tanah Palestina.
Tidak mungkin dalam konflik antara si A dan si B, lalu si C bisa jadi mediator solusi padahal tidak mau berhubungan sama sekali dengan si A, hanya mau dengan si B saja. Asimetris, bukannya simetris.
Bisa ditebak, C akan diludahin (excuse my word) oleh A: “Emang lu siapa ikut campur urusan gua, kenal aja enggak?”
Itu sebabnya DPR RI melalui Wakil Ketua Muhamin Iskandar secara nakal mendorong Indonesia menjadi inisiator dialog terbuka Israel-Palestina. Cak Imin itu anak ideologisnya Gus Dur. Dia bosan melihat solusi à la Indonesia yang itu-itu saja selama puluhan tahun.
TAG#HAMAS, #ISRAEL, #MAHMOUD ABBAS
188699578
KOMENTAR