Bahaya Pejabat Pura-Pura Bermartabat

Hila Bame

Friday, 01-10-2021 | 21:22 pm

MDN

 

 

Oleh. : Adlan Daie
Analis politik/Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.

JAKARTA, INAKORAN


Kasus diborgolnya dua pejabat di lingkungan dinas perumahan, pemukiman dan pertanahan kab Indramayu oleh aparat Kejaksaan Tinggi Jawa Barat akibat mencurangi uang rakyat dalam pembangungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jatibarang Indramayu hanyalah "giliran nasib sial" saja mengikuti antrian para pejabat koruptif tertangkap KPK sebelumnya dan kemungkinan antrian menyusul berikutnya termasuk kemungkinan penyelidikan proyek aspirasi yang dikenal dengan program "pokir" oleh KPK atas laporan publik.


Persoalan sengkarut korupsi di atas bukan "khas" Indramayu melainkan persoalan sistem politik biaya tinggi dan mental pejabat koruptif  mewarisi "mental Dandless" yang meletakkan jabatan sebagai nstrument sumber kekayaan dan  menggagah gagahkan diri di ruang publik. Bukan pilihan jalan pengabdian dan panggilan hidupnya untuk menjadi "pelayan" (semata mata pelayan) rakyat. Inilah model pejabat pura pura bermartabat.


Daftar inventarisasi "modus korupsi" lain tentu banyak variannya mulai dari "ijon proyek", markup anggaran, main fee, jual beli jabatan dan dampak koruptif turunannya. Dua di antaranya modus korupsi yang lebih canggih dan sulit dideteksi perangkat hukum formal di tingkat "hulu", yaitu ;


Pertama, berdasarkan temuan lembaga anti korupsi Pukat UGM dan ICW korupsi di hamoir semua daerah lahir tidak semata mata "jual beli" promosi jabatan secara cash melainkan pembebanan biaya dan kegiatan politik kepada pejabat yang mendapat promosi jabatan. Dari sini niat dan rancang bangun modus korupsi  dimulai. Nasib sialnya mereka ditangkap aparat hukum tapi sulit menjangkau "aktor politik" penerima manfaat di level "hulu".  Inilah penyakit mental "birokrat dandless", berani mengejar jabatan dengan menjual martabatnya.


Kedua, kajian kementerian keuangan RI ditemukan indikasi makin besar transfer Dana Alokasi umum (DAU) ke daerah makin besar pula alokasi belanja daerah untuk belanja operasional pejabat mulai biaya rapat rapat, perjalanan dinas, makan minum, biaya pembuatan spanduk, vidio, pakaian dll. DAU nyaris habis hanya untuk biaya "kesibukan" dan gaya hidup para pejabatnya. Sah dan tak terjangkau delik pidana tapi nihil dari sisi manfaat publik. Ironisnya mereka merasa telah bekerja untuk rakyat  hanya dengan cara  menghabiskan anggaran seperti di atas.


Praktek birokrasi inilah yang dinarasikan George Yunus Adicondro, aktivis anti korupsi sebagai contoh sempurna "tikus tikus birokrasi". Tidak dapat diselesaikan hanya dengan action surat edaran larangan jual beli jabatan melainkan langkah politik dengan memperluas keterlibatan publik dalam desain anggaran yang korelatif dengan kepentingan publik sambil memperkecil anggaran biaya "kesibukan" para pejabatnya.

Tanpa "political will" perluasaan partisipasi publik pemberantasan koruosi hanya basa basi dan pejabatnya hanya pura pura bermartabat. Karena  hulu dari korupsi sejatinya adalah kekuasan minus kontrol publik. Inilah yang dimaksud Lord Action, politisi moralis Inggris "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely". Kekuasaan sumber korupsi. Tanpa kontrol publik kekuasaan akan korupsi se jadi jadinya.

TAG#ADLAN

188635483

KOMENTAR