Batang Tubuh UU Kepolisian

Hila Bame

Wednesday, 21-09-2022 | 10:31 am

MDN
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

(Sambungan,-TULISAN BERJUDUL:  Menelisik Agenda Tersembunyi Dibalik Revisi UU Polri)

Oleh:  Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

JAKARTA, INAKORAN

 

BATANG TUBUH UU KEPOLISIAN

Sementara itu dalam batang tubuh Undang Undang  Kepolisian, hanya terdapat satu kalimat yang menyebut kata "senjata", yaitu pada Pasal 15 ayat 2 butir e: "memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam".

 

Lalu dalam Penjelasan pasal tersebut disajikan penjelasan tentang yang dimaksud dengan senjata tajam. Pemberian izin dan pengawasan ini adalah terkait penggunaan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam oleh masyarakat.

 

Jika di dalam Undang Undang TNI, tentara itu "dipersiapkan dan dipersenjatai" tidak demikian halnya dengan korps bhayangkara.

 

Dalam Undang Undang Kepolisian, tidak ada satu kalimat pun yang menyebut anggota kepolisian dipersenjatai. Penggunaan senjata oleh anggota kepolisian juga tidak diatur. Kenyataan ini tentunya menjadi hal ini sangat fatal dan harus diperbaiki segera.

 

Karena pada kenyataannya sudah lazim diketahui, banyak aparat kepolisian yang menenteng senjata kemana mana. Bahkan sebagiannya adalah senjata tempur yang seyogyanya hanya boleh dipegang oleh tentara yang menjaga kedaulatan negara.

 

Permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan tersebut diatas tentu tidak lepas dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dalam hal ini Undang Undang No. 2 Tahun 2002. Oleh karena itu, setelah berlaku lebih dari 20 tahun lamanya, saat ini ada keinginan untuk dilakukan revisi atau perubahan agar relevan dengan situasi dan perkembangan yang ada.

 

Selain itu, perubahan Undang Undang No.  2 Tahun 2002 agar dapat pula menyesuaikan dengan dinamika sosial, hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta aspek budayanya.

 

Kebutuhan untuk adanya revisi Undang Undang Kepolisian semakin menemukan relevansinya karena beberapa Undang Undang lain yang mengatur soal aparatur penegakan hukum sudah pula dilakukan revisi terbatas agar sesuai dengan kebutuhan yang ada.

 

Seperti revisi Undang Undang  No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberikan penguatan kelembagaan pada tugas penuntutan yang selama ini dirasakan kurang mendukung kinerjanya.

 

Begitu pula revisi terhadap Undang Undang  No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan semakin memperkuat kelembagaan KPK.

 

Memunculkan Pro dan Kontra

Gagasan untuk adanya revisi Undang Undang  No. 2 Tahun 2002 tentang Polri ditanggapi beragam oleh kalangan akademisi, pengamat, politisi dan elemen masyarakat lainnya.

 

Pakar hukum kepolisian dari Universitas Bhayangkara Jakarta, Dr Edi Hasibuan mengatakan revisi Undnag Undang  No. 2 Tahun 2002 tentang Polri belum mendesak dilakukan.

Karena menurutnya, Undang Undang tersebut masih cocok dengan kondisi masyarakat saat ini.

"Kami melihat revisi Undang Undang tentang Polri belum mendesak untuk dibahas dalam program legislasi nasional (prolenas) tahun 2022. Karena Undang Undang Polri yang ada sekarang belum diperlukan untuk revisi," kata Edi dalam keterangan tertulis di Jakarta, seperti dikutip media Ahad (28/8/2022).

 

Sikap senada juga ditunjukkan oleh Habiburrakhman, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra. Habiburokhman tak sepakat jika DPR dan pemerintah merevisi Undang Undang Polri No. 2 Tahun 2022 karena kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir Joshua.

 

Menurut dia, pihak yang mewacanakan revisi Undang Undang Polri buntut kasus Brigadir Joshua karena tak memahami konteks masalah yang sebenarnya. "Kalau orang mau ngomong revisi, berarti dia enggak paham konteks masalah," kata Habib kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (23/8/2022) seperti dikutip media.

 

Ada yang menolak revisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tetapi banyak pula yang mendukungnya. Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR, Achmad Baidowi punya pandangan berbeda.

 

Menurutnya sudah saatnya regulasi yang mengatur kepolisian dilakukan perubahan segera.  Apalagi Undang Undang Polri telah berusia dua dekade.

 

Karenanya, F-PPP mengusulkan agar dilakukannya revisi terbatas terhadap Undang Undang No. 2 Tahun 2002. Setidaknya dengan merevisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 bertujuan agar reformasi di tubuh Polri dapat berjalan optimal serta perlu dilakukan penguatan secara kelembagaan. “Kami mengusulkan revisi terbatas Undang Undang Kepolisian agar masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022,” ujarnya melalui keterangannya, Selasa (23/8/2022).

 

Senada dengan Achmad Baidowi, Khairul Fahmi, pengamat militer dan isu keamanan dari Institute for Security and Strategic  Studies Universitas Jember menyatakan bahwa Undang-Undang Kepolisian yang terbit pada 2002 tersebut harus segera direvisi agar sesuai dengan perkembangan yang ada.

 

“Undang Undang Polri sudah berusia 20 tahun. Selain untuk menghindari terus berulangnya kekerasan, tentunya ada banyak situasi dan kondisi saat Undang Undang  itu hadir, sudah tak cukup relevan dengan kondisi hari ini dan tantangan ke depan,” kata Fahmi, Minggu (29/9) seperti dikutip media.

 

Sementara itu menurut Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pentingnya revisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 karena Undang Undang yang mengatur tentang Polri ini masih menitikberatkan pada fungsi keamanan daripada fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat.

Karena itu perlu ada sistem atau mekanisme yang mengontrol setiap tindakan yang dilakukan polisi agar tidak menyalahgunakan kewenangannya.

Agenda Tersembunyi?

Terlepas adanya pendapat yang bernuansa pro dan kontra, terkuaknya kasus pembunuhan terhadap Brigadir Joshua harus menjadi momentum untuk adanya reformasi di tubuh kepolisian republik Indonesia. Reformasi ini tentunya tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan upaya untuk merevisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 yang menjadi cantolannya.

 

Sebagai bentuk keseriusan upaya untuk revisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002, Badan Legislasi DPR akan memasukkan revisi Undang Undang Kepolisian ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2023. Untuk tahun ini Undang Undang Kepolisian masih belum masuk menjadi Prolegnas tahun 2022.

 

Seiring dengan upaya tersebut, Komisi 3 DPR RI telah mendorong digelarnya beberapa kegiatan focus group discussion (FGD) dalam rangka revisi Undang Undang Kepolisian untuk menampung aspirasi dari masyarakat dan pihak terkait soal kinerja korps bhayangkara.

 

Hal ini juga dimaksudkan agar produk legislasi yang dihasilkan DPR bisa maksimal sehingga sesuai dengan harapan bersama. Lantaran, dalam FGD diyakini akan ditemukan masukan atau aspirasi poin-poin baru yang berkaitan dengan aturan serta kinerja kepolisian republik Indonesia.

 

Salah satu isu yang mengemuka diantaranya terkait dengan kedudukan Polri agar tidak mencipatkan kekuasaan yang besar dan penyalahgunaan wewenang yang selama ini diduga telah dilakukannya.

 

Munculnya usulan beberapa pihak seperti dari Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) untuk merevisi Undang-Undang Kepolisian RI (Undang Undang  Polri) dan membentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri sebagai lembaga yang menaungi Polri perlu dipertimbangkan untuk dipikirkan bersama.

 

Seperti diketahui munculnya usulan Lemhanas yang menginginkan agar Polri tidak di bawah presiden langsung tapi di bawah kementrian, kalau itu memang sebuah solusi maka harus diperjuangkan dan didukung bersama sama.

Selain itu revisi Undang Undang Polri juga perlu untuk adanya penegasan mengenai pentingnya pemahaman tentang paradigma kepolisian yang demokratis, berwajah sipil serta dekat dengan rakyat yang menjadi induk semangnya.

Tindakan kepolisian perlu mengacu pada empat norma yakni: memberi protitas pada pelayanan masyarakat; segala tindakan dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum; menghargai dan melindungi HAM (terutama untuk jenis kegiatan-kegiatan politik seperti kebebasan berpendapat dan unjuk rasa) serta transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugasnya.

Paradigma tersebut dapat dibentuk pada pola dan kurikulum anggota kepolisian yang menekankan Polri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, bukan kepanjangan alat penguasa atau pengusaha.

 

Di samping itu perlu adanya sikap mawas diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat terhadap kinerja kepolisian, sebab terdapat kecenderungan dari kepolisian yang tidak mengakui kesalahan dan anti terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.

Selain itu, adanya revisi Undang Undang Polri juga harus memuat tentang kewenangan diskresi yang selama ini terkesan disalahgunakan dalam pelaksanannya. Tindakan kepolisian dalam melakukan kekerasan selalu mengatasnamakan diskresi atas dasar kepentingan umum yang nyatanya tidak selalu demikian faktanya.

 

Pada praktiknya tindakan diskresi justru menciptakan banyaknya pelanggaran HAM dalam penanganan beberapa kasus, misalnya penanganan unjuk rasa. Atas kewenangan diskresi inilah kepolisian dapat mengintepretasikan sendiri tindakannya dan membenarkan setiap aksi yang dilakukannya.

Karena itu, diperlukan adanya aturan yang jelas tentang diskresi dan keterlibatan masyarakat dalam bentuk pengawasan kinerja kepolisian agar tidak kebablasan yang akhirnya bisa melanggar hak azasi manusia.

 

Tak kalah pentingnya dalam rangka revisi Undang Undang Polri tersebut adalah yang berkaitan dengan norma yang mengatur pengawasan internal Polri yang dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Khususnya soal kewenangan Propam dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, pemberian sanksi etik dan penindakan.

 

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Propam tersebut semestinya terpisah dan tak boleh lagi dilakukan sepihak oleh Divisi Propam. Selain itu penguatan peran pengawasan eksternal perlu juga dikaji sedemikian sehingga peran pengawas eksternal seperti Kompolnas menjadi lebih berdaya.

 

Komposisi personil yang duduk di Kompolnas juga harus lebih banyak di isi oleh unsur publik sehingga lebih independent dalam menjalankan peran dan fungsinya Tidak seperti sekarang dimana komposisi Kompolnas lebih banyak didominasi oleh unsur eksekutif sehingga seperti jeruk makan jeruk saja.

 

Selain itu agar kewenangan pengawasan eksternal Kompolnas menjadi lebih kuat kiranya patut dipertimbangkan agar Lembaga ini diberi kewenangan penyelidikan pelanggaran anggota polri terkait dugaan pelanggaran pidana. Tidak seperti yang terjadi sekarang dimana seringkali Kompolnas hanya menjadi “jubir” kepolisian saja seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua.

 

Intinya dengan adanya revisi Undang Undang Polri diharapkan akan mengantarkan institusi korps bhayangkara menjadi institusi yang berwajah sipil, demokratis serta dekat dengan rakyatnya. Institusi Polri yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sebagai induk semangnya. Bukan institusi Polri yang cenderung menjadi centeng penguasa dan pengusaha.

 

Sudah barang tentu agenda revisi Undang Undang Polri yang bisa dijadikan landasan/cantolan untuk reformasi di tubuh Polri ini tidak akan pernah sunyi dari adanya kemungkinan intervensi pihak pihak yang selama ini merasa di untungkan dengan posisi Polri yang ada saat ini khususnya unsur penguasa dan pengusaha.

 

Juga sangat masuk akal kalau internal Polri sendiri masih ada yang begitu bersemangat untuk mempertahankan status quonya saat ini yang sarat dengan upayanya untuk tidak adanya perubahan berarti atas lembaganya. Mereka yang sudah merasakan “keenakan” dengan kewenangannya untuk membuat kebijakan sendiri dan melaksanakan sendiri tanpa pengawasan berarti dari pihak pihak yang seharusnya mengawasinya.

 

Dalama rangka pelaksanaan agendan revisi Undang Undang Polri tentu saja agenda agenda tersembunyi ini perlu diwaspadai agar revisi Undang Undang Polri tidak sekadar memenuhi aspirasi publik sehubungan dengan adanya tuntutan reformasi di tubuh Polri yang dipicu oleh mencuatnya kasus pembunuhan Brigader Joshua.

 

 

TAG#desmon, #polri

161640457

KOMENTAR