Cak Imin, Rejim Elektoral dan Pilpres 2024

Hila Bame

Thursday, 05-01-2023 | 11:45 am

MDN
H. Adlan Daie

 


Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Spirit dan "gigihnya" H. Abdul Muhaimin Iskandar (selanjutnya ditulis "Cak Imin") maju terus dalam kontestasi pilpres 2024 harus dibaca bahwa partai partai politik pemilik kursi DPR RI sebagai representasi politik legal dan legitimated tidak boleh tunduk pada framing media dan "mainan" lembaga survey.


Rejim elektoral politik bekerja massif dalam kontestasi pilpres ,2024. Partai.partai politik nyaris tak berdaya. Wacana publik didikte dan "dijejali" framing media dan data hasil lembaga survey yang "menggiring" secara sistemik dan di back up "man behind the gun", aktor politik yang berkepentingan di belakangnya sehingga persoalan pilpres seolah olah hanya sekedar urusan elektabilitas.


Prof Dr. Siti Zuhro peneliti utama bidang politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan publik untuk lebih teliti dalam memilih pemimpin nasional, tidak boleh "terkecoh" framing hasil.survey secara artifisial. Artinya rejim politik elektoral harus "dilawan" dalam proses kontestasi pilpres 2024 minimal karena dua hal :


Pertama, hasil survey tentang elektoral sejumlah kandidasi capres cawapres yang "di endorse" sejumlah lembaga survey bukanlah pegangan "statis" dan bersifat final melainkan dinamis dan fluktuatif mengikuti perubahan momentum, kekuatan isu, representasi politik pasangan calon dan gerak kerja mesin koalisi partai pengusung di level akar rumput.


Kedua, untuk menghindarkan plpres tidak sekedar menjadi ajang "Indonesian Idol" ibarat kontestasi selebritas yang tidak berkaitan dengan ikhtiar menjawab kebutuhan bangsa ke depan dalam keragaman varian representasi politik. Pilpres harus kita letakkan dalam bangunan kohesivitas bangsa mewakiki seluruh spektrum representasi politk di Indonesia.


Dalam konteks ini "kegigihan" Cak Imin hadir dalam kontestasi pilpres 2024 harus dibaca tidak sekedar dalam timbangan "selebritas" dan elektabilitas politik" melainlan jauh lebih mendasar harus dibaca untuk menghindarkan pertarungan ideologi politik paling ekstrim dari residu caki maki akibat polarisasi politik yang membelah tajam secara sosial sejak pilpres 2014.dan 2019.


Cak Imin memiliki "political power" untuk menghindarkan hal hal di atas. Posisinya sebagai ketua umum PKB pemilik kursi DPR RI terbesar dari seluruh partai berbasis massa islam jelas mewakili representasi Nahdlatul Ulama (NU) dan representasi "formal" politik  "santri"  yang oleh Cliiford Gezt dalam buku "The Religion Of Java" disebut salah satu basis sosial sangat besar di Indonesia selain rumpun sosial "abangan" - kini disebut "nasionalis".


Point penting dari elaborasi dan paparan di atas adalah bahwa partai partai politik pemilik "ticket" pencapresan tidak boleh mudah tunduk pada "mainan" data lembaga survey dan framing gerakan relawan. Soliditas mesin partai dan kekuatan representasi politik dapat mengubah hasil akhir pilores 2024.


Dari sini pula penulis memahami rasionalitas PKB terutama selalu disuarakan Dr. Jazilul Fawaid, wakil.ketua umum PKB bahwa Cak Imin "harga mati" maju dalam kontestasi pilpres 2024. 


Posisi politik Cak Imin di atas  sangat penting bagi siapa pun kandidasi capres  baik Prabowo, atau Puan Maharani atau tokoh politik lainnya diluar basis sosial santri. Mereka lah justru berkepenringan  berpasangan dengan Cak Imin sebagai representas politik "santri" baik secara struktural formal maupun legitimasi sosial dan kultural.

Paling tidak siapa pun kandidat capres berpasangan dengan Cak Imin tidak akan mengalami kesulitan akses "politik simbolik" basis sosial santri dan dengan sendirinya mudah mendapatkan "subsidi" elektoral.dari basis sosial santri.

 

 

 

TAG#MUHAIMIN, #ADLAN, #PKB

161691464

KOMENTAR