Dinamika Politik Muktamar NU Lampung 2021

Hila Bame

Thursday, 14-10-2021 | 13:45 pm

MDN

 


Oleh : Adlan Daie
Analis politik /Wakil.Sekretaris PWNU Jawa Barat.

JAKARTA, INAKORAN


Dinamika politik Muktamar NU ke 34 yang akan digelar pada tanggal  23 - 25 Desember 2021 di Provinsi Lampung, Sumatera mulai "sexi" digiring dalam arus utama opini publik sebagai pertarungan dua kandidat antara KH. Said Aqil Siradj , Ketua Umum PBNU  "vis a vis" dengan KH. Yahya Chalil Staquf (baca: Gus Yahya) Katib 'Am PBNU. Konstruksi kontestasi antara kedua bakal calon ketua umum PBNU di atas setidaknya dapat dibaca dari :


Pertama, surat "protes" terbuka Helmi Faisal Zaini, sekjend PBNU tertanggal 13 Oktober 2021 kepada Prof Muzakki, Sekretaris PWNU Jawa Timur, (Jatim) yang beredar di media sosial atas terbitnya surat resmi dukungan PWNU Jatim kepada KH. Miftahul Ahyar, calon Rois 'Am dan Gus Yahya, calon ketua umum PBNU untuk diperjuangkan di arena Muktamar NU di Lampung.


Surat "protes" terbuka di atas point politiknya bukan soal "catat" mekanisme rapat sebagaimana dipersoalkan Helmi Faisol Zaini tapi inilah tensi politik persaingan antara KH.Said Aqil Siradj dalam konteks ini diwakili Helmi Faisol Zaini "vis.a vis" Gus Yahya dan varian pendukungnya dalam berebut pengaruh "suara jatim", pusat epicentrum NU menuju Muktamar NU lampung 2021.


Kedua, sebelum surat protes terbuka di atas telah viral beredar pula artikel pendek bersifat "anonim" (tanpa penulis) berjudul "Perebutan ketum PKB  dimulai dari Perebutan ketum PBNU" dengan konstruksi kontestasi dua kandidat dimana KH. Said Aqil Siradj dipetalan didukung PKB, PMII dan Muslimat NU dan Gus Yahya dikonstruksi diback up jaringan Kementerian Agama dan network organik Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Badan Otonom NU "paling" militan dan eksplosif gerakan politiknya.


Di sini tampak jelas bahwa anasir pendukung Gus Yahya dikaitkan dengan posisi politik adik kandungnya, Gus.Yaqut sebagai Menteri Agama dan ketua umum GP. Ansor. Kedua kakak beradik diandaikan dalam artikel di atas kelak akan "bersatu" dan menjadi "ancaman" serius bagi Gus Muhaimin untuk merebut posisinya sebagai ketua umum PKB. Sebuah narasi politik untuk menarik PKB all out  menggagalkan terpilihnya Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU.


Dinamika pokitik dan peta persaingan di atas sesungguhnya sesuatu yang biasa dan bukan persoalan baru bagi NU sebagaimana dulu Mitsuo Nakamura, peneliti asing pertama yang menjadi peninjau Muktamar NU ke.12 tahun 1979 di Semarang merekamnya dalam sebuah "paper politik" persaingan kubu "pesantren" dan kubu "politisi" di ajang Muktamar tersebut. Tentu masih segar pula dalam memori publik betapa tinggi dinamika politik yang terjadi di Muktamar ke 33 di Jombang, lima tahun silam.


Karena itu, tidak perlu dicemaskan jika forum Muktamar NU ke.34 di Lampung dikaitkan dalam "tarik tambang" kepentingan politik yang berkelindan di antara dua kandidat ketua umum di atas  dan kemungkinan munculnya kandidat lain atau skenario politik lainnya yang tak terduga.  NU sudah terbiasa menikmati ajang Muktamar sebagai "event politik" tertinggi lima tahunan.  Inilah takdir NU selalu "sexi" dikaitkan dan dibaca dalam konstruksi politik meskipun NU bukan partai politik.


Para kader NU sudah sangat dewasa dan matang melewati proses demokratisasi yang rumit di internal "jam iyah" NU. Situasi "gegeran" (baca: alot dan panas) bisa begitu mudah dibalikkan suasana nya menjadi "ger-geran" (baca: guyup dan rileks). Suatu dinamika politik yang sulit dipahami "orang luar" lalu dengan mudah menstigma NU "gaduh" justru karena tidak mengerti membaca kelenturan "gestur" NU dalam menghidupkan sikap egaliter yang seolah olah tidak lumrah dalam tradisi jam iyah NU


Maka hemar penulis biarkanlah kontestasi dalam forum Muktamar di Lampung tetap dijaga dalam "tensi tinggi" secara demokratis dengan tawaran gagasan saling komplementer  di antara kader NU yang muncul dan dimunculkan untuk berkhidmah demi kemajuan NU. Mekanisme pemilihan yang telah diputuskan dalam Konbes NU akhir September 2021 sudah cukup memadai untuk mengawal Muktamar di Lampung secara demokratis.


Siapa pun kelak yang terpilih harus didukung bersama. Tugas dan tanggung jawab NU ke depan bukan sekedar mengukuhkan NU sebagai jangkar oertahanan "politik kebangsaan" dan penguatan moderasi pandangan keagamaan melainkan menjaga posisi politiknya tetap moderat di titik tengah. Bukan oposisi pemerintah tapi bukan pula "relawan" pendukung rejim penguasa politik. 


NU di era disrupsi ini pun sudah tidak memadai lagi mengartikulasikan perlawanannya terhadap potensi radikalisme dan intoleransi dengan hanya "menghujat" jenggot dan celana cingkrang sambil berteriak "NKRI harga mati" dan bernyanyi tegap "Ya lal wathon" tetapi harus masuk menjadi."trend setter" ke rumpun rumpun majelis taklim perkotaan dan komunutas muslim milenial.

Semoga tetap NU lahir batin.
 

TAG#ADLAN DAIE

163591794

KOMENTAR