Diskusi Film Pengantin: Medsos Berpotensi Picu Pekerja Migran Indonesia Sektor Informal Jadi Radikal

Sifi Masdi

Monday, 08-06-2020 | 08:49 am

MDN
Noor Huda Ismail, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian [dok:pribadi]

 Jakarta, Inako

“Media Sosial (Medsos) dapat mengubah kehidupan seseorang, termasuk pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri”, demikian kata Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian dan pembuat film “Jihad Selfie”, “Pengantin”, dan “Pembisik Teroris” dalam Diskusi Tematik Online Seri Perdana Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta, Sabtu (6/6/2020).

Noor Huda yang juga aktivis pendamping dan pemberdayaan mantan teroris untuk dapat kembali berintegrasi ke masyarakat, menyebutkan banyak PMI sektor informal di luar negeri yang terpapar paham radikal melalui media sosial, tanpa memilah mana yang benar-benar sesuai ajaran agama atau menyimpang.

BACA JUGA: Film dari Platform WamerMedia diputar pada Juni 2020

Hidup di negeri orang umumnya sebagai asisten rumah tangga menurut Noor Huda membuat PMI memanfaatkan waktu setelah melakukan pekerjaan rumah tangga dengan mengakses media sosial mencari informasi untuk menghilangkan rasa kangen pada keluarga dan teman-temannya di tanah air atau berkenalan dengan seseorang melalui media sosial untuk menghilangkan rasa bosan atau sepi.

Dr. H. Mundiharno, Ketua ISNU DKI Jakarta [dok:pribadi]

 

Selain itu, seringkali PMI merasa resah atau galau karena mengetahui suaminya di Indonesia selingkuh atau meminta cerai. PMI dapat pula tidak nyaman karena mungkin sering melihat majikannya mengkonsumsi daging babi di tempat tinggal. Mereka mengalami kesunyian diri, dan untuk menghibur diri, mereka tebar pesona di media sosial. Kemudian ada anggota kelompok radikal atau teroris menanggapi, melakukan pendekatan dan merayu mereka melalui media sosial.

BACA JUGA: Drama Korea: Dia menggangguku. Itu benar

Untuk menghilangkan kegalauan atau keresahan mereka, PMI juga mencari konten-konten ceramah agama untuk menghilangkan keresahannya tersebut. Namun disayangkan PMI menerima begitu saja yang disampaikan penceramah dan tidak berusaha memilah atau menelaah ceramah, dan sering tidak mengetahui latar belakang da’i atau penceramah agama yang menyampaikan materi.  

Temuan peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian yang dipimpinnya, Rizka Kurnia, yang turut pula dalam Diskusi, mengindikasikan PMI yang umumnya perempuan menerima komunikasi melalui media sosial dari lawan jenis yang mula-mula mengajak berdiskusi mengenai ajaran agama yang pada gilirannya menawarkan menikah, berujung pada pemanfaatan PMI tersebut sekembali ke tanah air oleh suami barunya untuk melakukan “amaliyah” dengan menjadi “pengantin” melakukan “aksi jihad” dengan meledakkan bom bunuh diri.

Sebagai contoh adalah PMI seperti Ika Puspitasari (asal Purworejo, Jawa Tengah) dan Dian Yulia Novi (asal Cirebon, Jawa Barat) yang berkenalan dengan laki-laki yang menggunakan modus diskusi agama yang selanjutnya diajak menikah “jarak jauh”. Kisah mereka didokumentasikan dalam film “Pengantin” yang ditayangkan dalam Diskusi ISNU DKI Jakarta tersebut.

BACA JUGA:  Joe Biden akan bertemu dengan keluarga George Floyd di Houston

Ika dan Dian kemudian menerima ajakan menikah laki-laki yang mereka tidak kenal sama sekali sebelumnya tanpa berusaha mendalami dahulu latar belakang laki-laki tersebut. Kedua PMI tersebut perlahan namun pasti pemahamannya terpapar paham radikal dan karena ajakan suaminya, bersedia menjadi “pengantin” sebelum akhirnya ditangkap aparat keamanan sebelum mereka sempat melakukan aksinya. Alasan yang diberikan Ika dan Dian ketika ditemui Rizka di tahanan mereka mengapa mereka mencari konten-konten bermuatan agama di media sosial adalah karena merasa telah berbuat dosa dalam kehidupannya dan ingin “menyucikan diri” dari dosa, namun mereka ingin instan melakukannya. Pengakuan mengenai bergabungnya mereka dengan kelompok radikal adalah karena ingin mendapatkan pengakuan sebagai “ustazah”, dengan aktif melakukan rekrutmen anggota baru sebanyak dan dalam melakukan “amaliyah” tanpa proses pembelajaran selanjutnya.

Peran Ormas

Dari diskusi yang berkembang setelah paparan, muncul gagasan agar dua ormas Islam besar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah lebih berperan dalam memberikan masukan ajaran agama yang benar kepada PMI di luar negeri secara reguler atau rutin, melalui media yang dimiliki masing-masing organisasi, untuk mencegah PMI terpapar paham radikal. Terdapat pula usulan agar NU membuat platform atau aplikasi online berisi ajaran agama yang benar yang dapat diakses PMI di luar negeri.

Tjoki Aprianda Siregar, Wakil Ketua ISNU DKI Jakarta [dok:pribadi]

 

BACA JUGA: Trump menyebut Colin Powell 'kaku' setelah pengesahan Biden

Diskusi Tematik Online tersebut merupakan yang pertama diadakan pengurus ISNU DKI Jakarta sejak dilantik pada 1 Maret 2020. Ketua ISNU DKI Jakarta, Dr. H. Mundiharno, dalam pengantar di awal Diskusi menjelaskan mengenai latar belakang kegiatan, yang merupakan wujud sumbangsih ISNU DKI Jakarta kepada masyarakat, termasuk warga NU, yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan manfaat.

Moderator Diskusi, Tjoki Aprianda Siregar, yang juga dari ISNU DKI Jakarta, memulai Diskusi dengan menjelaskan pentingnya peran PMI di luar negeri bagi perekonomian Indonesia. Data Kemlu pada tahun 2016, jumlah PMI adalah sekitar 4.3 juta, namun jumlah PMI yang mengirimkan remitansi sekitar 3,6 juta. Kemnaker memperkirakan jumlah PMI di luar negeri saat ini di atas 5 juta, dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BPPMI) menaksir jumlah PMI dewasa ini lebih dari 6 juta orang.

BACA JUGA: Ivanka Trump diboikot Mahasiswa sebagai pembicara Budaya di Wichita State University

Sekitar 51,5% PMI pada tahun 2018 adalah PMI sektor informal yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga. Dari aspek gender, jumlah PMI perempuan dibandingkan laki-laki adalah 70% atau mayoritas. Data BNP2TKI (nama lama lembaga BPPMI) pada tahun 2016 menunjukkan PMI telah memberikan sumbangsih bagi devisa negara sekitar Rp. 70 trilyun. Data Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengindikasikan jumlah remitansi uang oleh PMI ke Indonesia melalui bank pemerintah tersebut hingga tahun 2019 adalah sekitar Rp. 218 trilyun. Lembaga Migrant Care merilis catatan awal tahun 2020-nya yang menyebutkan bahwa jumlah remitansi uang PMI selama tahun 2019 adalah sekitar 169 trilyun, atau jauh lebih besar dari APBD Pemprov DKI Jakarta tahun yang sama sekitar Rp. 80 trilyun.  

Merebaknya pandemik Covid-19 saat ini merupakan tantangan bagi berbagai pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk Perwakilan-perwakilan RI di luar negeri, untuk dapat melakukan pembinaan dan pemantauan para PMI di wilayah kerja masing-masing, untuk menghindarkan mereka dari terpapar paham radikal. Tantangan tersebut dikarenakan pembatasan sosial (lockdown) masih diberlakukan negara-negara setempat.

KOMENTAR