Dr. Aartje: Omnibus Law Diharapkan Dapat Menghilangkan Tumpang Tindih Regulasi Agraria

Binsar

Wednesday, 05-02-2020 | 19:31 pm

MDN
Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H [Inakoran.com]

Jakarta, Inako

Regulasi dinilai menjadi salah satu hambatan bagi pertumbuhan investasi di tanah air. Investasi memang membutuhkan aturan atau regulasi agar bisa berjalan secara terarah dan tidak merugikan masyarakat atau lingkungan di mana investasi itu berlangsung.

Simak videonya jangan lupa "klik Subscribe and Like"

 

 

Akan tetapi, regulasi tidak jarang menjadi hambatan bagi pertumbuhan investasi di negeri ini. Hal itu terjadi karena ada beberapa perundang-undangan yang keberadaannya tumpang tindih sehingga menimbulkan konflik kebijakan antara satu kementerian/departemen dengan kementerian/departemen lainnya.

Konflik kebijakan tersebut dapat diselesaikan dengan cara melakukan harmonisasi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan kementerian/lembaga.

Harmonisasi itu dapat dilakukan melalui banyak cara, dan salah satunya melalui konsep Omnibus Law, yang saat ini sedang digarap pemerintah bersama DPR.

Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H (tengah) menerima plakat usai FGD [Inakoran.com]

 

Demikian saripati pemikiran yang disampaikan Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H., Pakar Hukum Agraria, sekaligus Dosen Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI) saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD), dengan tema Konsepsi Hukum Indonesia Menurut Perspektif Omnibus Law, yang dilaksanakan Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), di Gedung Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta, Rabu (5/2/20).

“Yang menjadi pertanyaan, apakah gagasan Omnibus Law, efektif dapat menyelesaikan persoalan terhadap kebijakan agraria di Indonesia?” tanya dosen Fakultas Hukum/Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.

Ketua LPPM UKI ini mengatakan, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah sengketa di bidang agraria/pertanahan. Sengketa muncul karena adanya politik hukum dalam bidang pertanahan yang dikeluarkan pemerintah yang sedang berkuasa yang tidak sesuai atau bahkan bertentagan dengan UUPA. Dengan kata lain, lanjutnya, terjadi disharmoni atau inkonsistensi antara UUPA dengan sejumlah peraturan perundang-undangan sektoral.

Aartje menyebut salah satu contoh inkonsistensi, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009. Undang-undang ini, katanya, mengatur tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Undang-udang ini tidak menjadikan UUPA sebagai sumber hukum.

Orientasi UU Minerba, katanya, lebih pada produksi, bukan pada konservasi. UU ini, juga tidak tegas mengatur ganti rugi bagi pemegang hak atas tanah yang diambil untuk kepentingan kegiatan pertambangan.

Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H, (baju hitam) saat menyampaikan pokok pikirannya pada FGD [Inakoran.com]

 

Inkonsistensi, lanjutnya, akan melahirkan sejumlah akibat seperti: ketidakpastian hukum, pelaksanaan undang-undang menjadi tidak efektif dan efisien, adanya perbedaan interpretasi terhadap suatu perundang-undangan dan hukum, yang menjadi pedoman bagi masyarakat menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Meski demikian, melalui Omnibus Law, Aartje berharap akan lahir sebuah peraturan terpadu (Omnibus Regulation) sehingga meminimalisir benturan peraturan perundang-undangan dalam bidang agraria/pertanahan.

KOMENTAR