Dr. Artje: Akar Konflik tanah Ulayat akibat Regulasi yang Tumpang Tindih
Jakarta, INAKORAN
Penyelerasan regulasi dari pemerintah pusat dan implementasi pada level pemerintah daerah dimana tempat obyek tanah yang menjadi tanah objek reforma agraria (TORA) perlu segera langkah tegas, ujar Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR., Pakar Hukum Agraria sekaligus Dosen Pascasarjana Universiatas Kristen Indonesia (UKI) pada dialog bersama dengan mengusung tema Konflik Tanah Ulayat yang digelar di Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) Sabtu (30/1/21).
BACA:
Petrus Selestinus: Setiap Tanah Adat Seharusnya Miliki Sertifikat Adat
Konflik-konflik pertanahan dan tanah ulayat lanjut Aartje, terjadi karena perbedaan persepsi atau nilai dan kepentingan mengenai status ulayat masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan alas tanah maupun yang akan, tetapi dikuasai oleh pihak lain. tandasnya.
Konflik tersebut antara lain masalah penetapan sebidang tanah ulayat masalah penetapan obyek tanah ulayat dan subyek tanah ulayat.
Penyelesaian perkara konflik tanah ulayat dengan adanya hukum, diharapkan masyarakat tertib dan damai melalui penyelesaian pendekatan tokoh adat.
Hal ini lanjut Aartje, merupakan bagian penelitian antropologi hukum pendekatan sosial budaya melalui musyawarah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan sengketa tanah dengan melibatkan lembaga masyarakat dan tokoh agama dan fungsional pemerintah daerah.
Solusi
solusi dan rekomendasi terhadap tanah ulayat harus dipandang dari relasi pengelolaan sumber daya alam yang perlu diselaraskan negara dalam rangka mempertegas batas-batas penguasaan dan mempertegas status pengelolaan sumber daya alam.
Karena itu yang menjadi prioritas pemerintah daerah yang masih memiliki kelompok-kelompok masyarakat adat, untuk normafikasinya penerapan hukum adat dan kearifan lokal dari hukum negara harus dilakukan oleh pemangku masyarakat, tutup Aartje.
KOMENTAR