Hari Santri,  OTT KPK dan Pilkada

Hila Bame

Saturday, 19-10-2019 | 23:14 pm

MDN
Adlan Daie

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

 

 Bandung, Inako

Menghubungkan Hari Santri, OTT KPK dan  Pilkada, jelas tidak relevan dari sisi akar historisnya, momentumnya dan konstruksi narasinya di ruang publik. Sebuah "disconection", tidak  memiliki titik sambung di antara ketiganya. Hari Santri adalah satu hal,  OTT KPK hal yang lain dan Pilkada lain hal pula. Demikianlah kira kira pandangan umum (mainstream)  saat membaca judul tulisan diatas.

Tulisan ini sedikit ikhtiar untuk mengintegrasikan ketiganya melalui pendekatan  "hernemuetika",  sebuah tafsir tentang interpretasi makna yang dikembangkan secara integratif oleh Fricdric Augus, seorang filosof Jerman, abad 18, betapa pun secara "lahiriyah" Hari Santri, OTT KPK dan Pilkada, ketiganya paradoks secara konteks,  konten dan diskursus wacananya.

Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober ditetapkan Presiden Ir. Joko Widodo  melalui Keputusan Presiden (Kepres) no.22 tahun 2015, dipandang sebagian analis politik sebagai titik balik "kemenangan politis" kaum santri, yakni "santri" dalam kontruksi pemahaman Dr. Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya "Tradisi Pesantren", bukan dalam konteks "santri" sebagaimana dikategorikan  Cliiford Gertz dalam karyanya "The Religion Of Java" sebagai varian basis "pemilih muslim" yang  ketat secara politis tetapi longgar secara  tradisi.

Secara historis Hari Santri spiritnya terkoneksi dari semangat "Resolusi Jihad", sebuah seruan jihad yang diinisiasi KH. Hasyim Asy'ari ', Pendiri sekaligus Rois Akbar Nahdlatul Ulama (NU) setelah melalui rapat dengan konsul-konsul (cabang) NU se-Jawa Madura dalam kerangka menghadapi agresi militer Belanda yang hendak kembali menjajah Republik Indonesia yang baru saja merdeka diproklamirkan Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

Dalam teks asli "Resolusi jihad"yang dimuat pertama kali harian "Kedaulatan Rakyat", Yogyakarta, pada tanggal 26 Oktober 1945 (sumber:  "Tebuireng Online") tidak ditemukan kalimat "hubbul wathon minal iman'" , cinta tanah air bagian dari iman. Akan tetapi  keseluruhan bagian dari teks "Resolusi Jihad" di atas, mulai dari konsiderans "menimbang", "mengingat' dan terakhir diktum "memutuskan',  jelas, bahwa  dalam pandangan keagamaan Nahdlatu Ulama (NU)

1. Bela negara, yakni mempertahankan NKRI adalah kewajiban bagi tiap tiap orang Islam (konsideran menimbang). Dengan kata lain, lebih dari sekedar "hubbul wathon minal iman" melainkan iman dan cintah tanah air adalah persenyawaan yang menyatu dalam ekspesi tingkah laku orang Islam Indonesia.

2. Bahwa sifat "sabillah", jihad di jalan Allah dalam teks resolusi jihad di atas adalah untuk tegaknya NKRI yang merdeka dan agama Islam (diktum:  "memutuskan"). Maknanya, mempertahankan NKRI adalah semangat  menjaga agama islam. Menjaga agama Islam out put sosialnya dalam konteks kewajiban menjaga NKRI.

Dalam kitab "Al Ahkam Al sulthoniyah" karya Imam Al Mawardi,  "Resulusi jihad" Nahdlatul Ulama (NU) diatas dapat dikategorikan sebagai sikap politik "li hifdid din wa syiasatu addunya"., sikap politik dalam rangka menjaga agama (Islam) dan mengelola tertib urusan dunia (negara) agar kepemimpinan politik berkorelasi  langsung dengan maslahat rakyat yang dipimpinnya (manutun bil.maslahah).

Di sinilah titik temu spirit Hari Santri, sebuah spirit untuk  mempertahankan integritas NKRI secara ideologis dan teritorial  bersamaan diarahkan secara kontekstual pada semangat ikhtiar mencegah anasir tindakan korupsi  yang potensial memperlemah daya tahan bangsa dan  negara dari dalam melalui penetrasi terhadap proses kontestasi Pilkada.

Korupsi adalah tindakan pengkhianatan atas amanah negara dilakukan oleh penyelenggara negara yang bersumpah atas nama Tuhan ("Demi Allah") dengan prosesi kitab suci di atas kepalanya.

Daya rusaknya sama dahsyatnya dengan tindakan politik bermotif radikalisme agama terhafap sel-sel kehidupan berbangsa dan bernegara. Makin massif penyelenggara negara melakukan tindakan korupsi, salah satunya, begitu banyaknya pejabat negara terjaring OTT KPK,  berpotensi melahirkan "distrust" dan pembangkangan publik atas pemimpinnya dan selanjutnya dapat dipastikan memperlemah daya tahan bangsa dan negara. 

Gus Dur mengingatkan kita bahwa  negara tidak akan hancur karena banyaknya bencana, tapi negara akan gagal (stateless) menjalankan fungsinya jika tindakan korupsi terstruktur, sistemik dan massif dilakukan penyelenggara negara tanpa gerakan kritik konstruktif dari kekuatan masyarakat sipil (civil sociaty)" 

Momentum peringatah Hari Santri Nasional (HSN), tahun  2019, dua hari mendatang, harus diletakkan selain dalam kerangka memperkuat spirit "hubbul wathon",  menjaga integritas NKRI dan menangkal anasir radikalisme, ideologi khilafah, komunisme dan lain lain, juga tidak kalah pentingnya adalah "perang" terhadap birokrasi koruptif, sumber lemahnya daya tahan negara dan "amblas"nya nilai-nilai  Pancasila yang kita agungkan dalam pidato tapi "yatim piatu" dalam tindakan.

Dalam konteks ini, salah satu yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat terkait kontestasi Pilkada tahun  2020 adalah kampanye masiif (baik lewat kreasi kaos, banner, baliho, spanduk dan lain lain) untuk tidak memilih pemimpin koruptif dan lingkaran dalamnya ("inner circle") dengan tagline, antara lain, "Ora korupsi,  ora  ngapusii", "religius  yes, korupsi  no !. 

Selamat Hari Santri Nasional (HSN) 2019. Semoga berkah lahir batin.

TAG#Adlan Daie

163561746

KOMENTAR