Ibu; ‘Madrasah’ Pengawal Moral Bangsa

Hila Bame

Monday, 10-02-2020 | 17:58 pm

MDN

 

Oleh: Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)

 

Indramayu, Inako

 

Islam sangat concern dengan perempuan yang sebelumnya kedudukan perempuan sangat termarjinalkan bahkan tidak ada nilainya. Perempuan dalam konsep Islam adalah az-ziinah, perhiasan yang harus dirawat dan dipelihara dengan penuh kesabaran—bahkan al-Quran menyebut tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan amal, sepanjang beriman akan diberikan kehidupan yang layak—Nabi yang mulia menyebutnya “Surga di bawah telapak kaki ibu”, sebuah penghormatan yang luar biasa kepada perempuan. 
 
Ibu; Posisi Terhormat

Dengan posisi yang terhormat ini, maka sangat wajar sebuah kehidupan suatu bangsa akan menjadi baik atau tidak bergantung pada peran dan sumbangsih kaum perempuan. 

Dalam konteks pendidikan, perempuan/ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Perempuan yang hebat akan mampu melahirkan anak-anak yang hebat, ibu Aminah yang sabar dan berjiwa besar, mampu melahirkan pemimpin besar—yang oleh Michael H. Hart disebut sebagai pemimpin nomor satu yang paling berpengaruh di dunia dari 100 tokoh—Muhammad SAW., ibunda Imam Syafii yang berjiwa besar juga melahirkan Imam Syafii, tokoh yang sangat berpengaruh di bidang hukum Islam dan banyak lagi yang lainnya. Satu hal yang menarik dari hasil penelitian terbaru bahwa gen kecerdasan itu diturunkan dari ibu. Sehingga kalau ada anak yang cerdas, bapak tidak bangga, karena gen kecerdasannya diturunkan dari ibunya. Maka ibu harus cerdas supaya dapat melahirkan anak-anak yang cerdas, tentu prosesnya harus ditempuh melalui belajar yang intens dan penuh kesabaran.

Mengawal Moral, Baru Ilmu

Nabi menyampaikan tidak ada ruang bagi ummat Islam untuk tidak berilmu, “Kun ‘aliman aw muta’allima aw mustami’an aw muhibban, wala takun khamisan fatahlaka”, (jadilah orang yang berilmu, atau yang mengajarkan ilmu, pendengar ilmu, pecinta ilmu. Tapi jangan jadi orang yang kelima, binasa). 

Mendidik anak bukan persoalan mudah, apalagi bukan hanya tuntutan kecerdasan pengetahuan tetapi di atas itu mengawal moral dan etik anak. Orang cerdas dan pandai sangat banyak, tetapi negeri ini bisa binasa karena boleh jadi generasinya mengalami disorientasi nilai, mengesampingkan moral dan etik dalam bergaul, berkomunikasi dan mengejar keinginan—termasuk memimpin bangsa. Cukuplah kita ‘tersinggung’ bahwa Indonesia dari sisi etik termasuk Negara yang lunak—soft state—sering terjadi ketidakjelasan antara yang benar dengan yang salah, yang haq dengan yang bathil. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nurchalis Madjid mengutip pandangan Gunnar Myrdall. 

Ada hal yang keliru dilakukan oleh kita sebagai seorang ibu, menuntut anak agar menguasai seluruh pengetahuan yang diajarkan di sekolah—bahkan ketika anaknya tidak memiliki ranking di sekolahnya, lalu menyebut bodoh kepada anaknya—tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak pandai di bidangnya, tugas kita adalah mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak. Ditemukannya multiple intelligence, kecerdasan majemuk semakin menegasikan itu, bahwa sejatinya tidak ada anak yang bodoh, anak cerdas di bidangnya. Ali bin Abi Thalib menegaskan; “Didiklah anak-anakmu tidak seperti kamu dididik dulu, karena mereka disiapkan untuk zamannya yang berbeda dengan zamanmu”. Umar bin Khatthab bahkan menyampaikan, “Anak-anakmu sejatinya bukan anakmu tetapi anak zamannya”. Di bidang ilmu anak harus dididik berselancar dengan zaman dan berintegrasi dengannya—tentu dengan dikawal agama, moral dan etik—karena ilmu tidak bebas nilai. 

Ibu, Madrasah Bangsa

Menyangkut tugas dan peran penting perempuan, menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin untuk memperbaiki kondisi masyarakat itu bisa dilakukan dari dua sisi: Pertama, memperbaiki kondisi di luar rumah seperti di Pasar, Masjid, dan tempat-tempat lainnya. Hal ini dilakukan oleh mayoritas kaum laki-laki karena merekalah yang banyak berdomisili di luar. Ke dua, memperbaiki kondisi di dalam rumah, tentu yang berperan adalah kaum perempuan. Oleh karena itu menurutnya separuh kebaikan ditentukan oleh kaum perempuan. Hal ini pun didukung dengan jumlah kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki bahkan lebih banyak, dan awal mula tumbuhnya generasi baru itu adalah dalam asuhan kaum perempuan.

Ahlul bait dalam syairnya menuliskan:  “Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”

Ada 4 (empat) cara yang dicontohkan rasulullah dalam mendidik anak: Pertama, memberikan kasih sayang kepada anak; Kedua, membekali aqidah yang mantap (QS. Lukman: 13); Ketiga, mendidik anak agar  berbakti kepada kedua orang tua (QS. Al-Isra: 23–24), dan Keempat, mendidik anak agar berakhlak  baik. 

Seorang perempuan dalam perannya sebagai pendidik, dan agar menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: Pertama, berusaha memperbaiki diri sendiri (Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberi apa-apa). Kedua, Menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Ketiga, memilih metode yang baik bagi anak “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Q.S. ath-Thalaaq: 4). Keempat, sunguh-sungguh dan serius dalam mendidik anak “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”

Di samping itu orang tua juga harus melakukan pengawasan terhadap pergaulan anak, dan anak harus diberi perhatian dan penghargaan. Rasulullah SAW., bersabda: “Hargailah anak-anakmu dan baguskanlah adab sopan santun mereka”.

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa, bila kita ingin memperbaiki ahlaq dan perilaku anak-anak kita, kita harus mulai dengan menghargai mereka dan memperlakukannya dengan baik.

Dalam kesempatan lain rasulullah SAW., mengatakan: “Abu Hurairah r.a. berkata: bersabda nabi SAW., siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya menghormati tamunya. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian hendaknya menghubungi famili. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian harus berkata baik atau diam”. (H.R. Bukhari, Muslim)

Hadits ini memberikan indikasi bahwa kepercayaan kepada Allah dan hari kemudian harus berdampak positif pada persoalan sosial, sehingga dapat dikatakan iman seseorang kurang sempurna apabila tidak menghormati tamunya, menghubungi famili dan berkata baik. Hal-hal semacam ini harus diajarkan kepada anak-anak, sehingga anak-anak tidak hanya berahlak mulia kepada Tuhannya, dengan jalan berbakti kepadaNya, tetapi juga berahlaq baik terhadap sesama yakni menghormati tamu atau tetangga, menyambung tali  shilaturrahim dengan famili dan berkata dengan baik dan benar.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata Habib Nabiel al-Musawa, “Belajarlah adab sebelum ilmu, sebab ilmu tanpa adab hanya akan membuatmu sombong. Ingatlah iblis, ilmunya tinggi tapi dilaknat sebab kesombongannya”.

Wallahu a’lam bi al-shawab

)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

KOMENTAR