Jaka Tingkir, Bunga di Tepi Jalan, dan Kenangan-kenangan Indah Masa Kecil

Timoteus Duang

Monday, 14-03-2022 | 06:52 am

MDN

 

Tentang masa kecil, kenangan yang akan abadi dalam ingatan saya dan anak-anak lain segenerasi saya adalah kisah ajaib Dan [Danker], sinetron Bunga di Tepi Jalan, dan drama kolosal Jaka Tingkir.

Dimas Andrean, Alyssa Soebandono, dan Dian Sidik, pemeran utama masing-masing serial di atas, boleh jadi tidak lagi menjadi idola anak-anak zaman ini, tapi ingatan tentang mereka selalu ada dalam kepala generasi yang lahir antara tahun 1993-2000, di kampung kami, di kaki Golo Lantar.

Sekarang kami telah tumbuh dewasa, salera tontonan kami berubah, dan kesukaan kami pun tidak lagi sama. Yang perempuan cenderung menyukai drama korea atau tutorial merebus mie goreng; yang laki-laki suka menonton sepak bola Eropa dan Amerika Latin sambil mengeluh tentang buruknya tata kelola sepak bola tanah air.

Saya sendiri masih menyukai lagu Bunga di Tepi Jalan, karena lagu itu memulangkan saya pada kenangan tentang bagaimana kami begitu terkagum-kagum pada cara Alyssa Soebandono membelah dirinya menjadi banyak saat menekan bandul kalung perak. Waktu SMP saya masih berkhayal tentang enaknya menjadi tokoh Dan, yang punya cincin ajaib yang jika dilingkarkan di jari, akan menghilang lalu berubah nama menjadi Danker.

 

Tentu saja yang paling tidak bisa dilupakan adalah, setelah pulang sekolah, saat masih Sekolah Dasar, saya akan mencuri kain lap piringnya MamTua di dapur, mengikatnya di kepala, menenteng parang di tangan kiri, lalu bersama teman-teman pergi cari kayu bakar di kebun orang. Siapa di antara kami yang paling jago baku hantam, dia yang berhak menjadi Jaka Tingkir. Dan saya tidak pernah mendapat kehormatan itu.

Waktu itu listrik negara belum masuk di kampung kami dan hanya ada satu pesawat televisi, yang dihidupkan hanya pada malam hari. Setelah makan malam, biasanya menjelang jam tujuh, hampir seisi kampung berbondong-bondong pergi menonton televisi, diterangi obor dari bambu atau botol bekas sprite.

Karena jalan yang harus ditempuh cukup panjang dan melewati tanah lapang yang luas dan gelap, kami lebih suka menghindari film-film horor. Akan tetapi, karena orangtua kami dan anak-anak yang sedikit lebih tua dan cukup berani suka menonton film jenis itu, kami pun terpaksa menontonnya dengan penuh rasa takut.

Dari tontonan itulah kami mengenal setan-setan aneh seperti pocong, wewe gombel, suster ngesot, tuyul, suster keramas, babi ngepet, kuntilanak, dan sundel bolong. Hantu-hantu itu menambah panjang daftar objek yang kami takuti setelah poti wolo, mata wara, dan ata karong gorak.

 

Cukup aneh juga rasanya, kalau dipikir-pikir lagi sekarang, bagaimana kita dengan polosnya percaya bahwa ada manusia yang bisa terbang lalu baku hantam pakai parang di langit atau di dahan pohon; ada pria berkaca mata yang akan lenyap jika memakai cincin; atau perempuan cantik-ayu-mempesona yang bisa memperbanyak dirinya sendiri dengan meremas bandul kalung.

Lebih aneh lagi, kami bisa percaya bahwa di kampung kami ada jenis setan seperti suster ngesot atau pocong. Kami bisa berlari secepat rusa atau anjing, dan mustahil bagi pocong untuk dapat mengejar salah satu dari kami; lagi pula setahu saya, orang-orang tua di kampung kami tidak pernah mengikat mayat--seperti pocong--lalu dikuburkan.

Kalaupun jenis-jenis setan itu benar-benar ada, maka setan yang harus menderita dan mati dua kali adalah suster ngesot: mustahil dia bisa merayap aman di jalan berbatu di kampung kami.

Dulu, saat referensi film kami sangat terbatas, Danker, Jaka Tingkir, dan Suster Ngesot selalu dianggap sebagai produk terbaik. Dalam rentang waktu yang cukup lama, kami percaya bahwa mereka itu [Danker, Jaka Tingkir, pocong, suster ngesot] benar-benar ada dalam kehidupan nyata.

 

Akan tetapi, Dalam perjalanan waktu, mungkin karena pengaruh usia dan sedikit pengetahuan yang diendapkan selama bertahun-tahun, saya menyadari bahwa film-film seperti Jaka Tingkir dan Suster Ngesot tidak hebat-hebat amat, bahkan boleh dibilang buruk. Jika butuh hal-hal konyol untuk ditertawakan, saya suka mencari film-film itu di youtube, menontonnya sambil menertawakan diri sendiri. Bagaimana mungkin saya [kita] dulu tergila-gila pada film dengan jalan cerita yang begitu sederhana dan tidak masuk akal itu.

Akan tetapi, sinetron-sinetron jadul itu memberi saya pengetahuan tentang bagaimana karya-karya fiksi memberi pengaruh pada hidup kita. Suatu kisah yang ditulis dengan baik, dengan teknik penceritaan yang wah, akan sangat membekas dalam pikiran pembaca dan bahkan ada yang menganggap tokoh dalam fiksi itu benar-benar ada.

Mungkin saat ini ada yang percaya bahwa gadis malang bernama Sitih Nurbaya yang terpaksa dinikahi kakek-kakek buruk rupa bernama Datuk Maringgih, benar-benar pernah hidup dalam dunia nyata. Atau mungkin ada yang percaya bahwa dulu di Inggris pernah hidup seorang manusia cerdas bernama Sherlock Holmes dan temannya Watson, seorang dokter dan penulis biografi.

Baik Sitih Nurbaya, Datuk Maringgih dan Sherlock Holmes maupun Danker, Jaka Tingkir, dan Suster Ngesot [di jalan berbatu] adalah tokoh-tokoh fiktif. Mereka abadi dalam kepala saya walaupun tidak pernah benar-benar ada dalam dunia nyata.

KOMENTAR