Kemampuan Komunikasi Publik Buruk, Para Pembantu Presiden Jokowi

Hila Bame

Friday, 21-02-2020 | 15:14 pm

MDN

 

Oleh:
Rudi S Kamri, Pengamat Masalah Sosial dan Politik

 

Jakarta, Inako

 

Apa yang membuat saya jengkel dan mengelus dada akhir-akhir ini ? Tak lain dan tak bukan adalah kegaduhan yang muncul di media karena narasi ngawur dan tidak perlu yang dilakukan oleh para Pembantu Presiden Jokowi. Dan inilah salah satu kelemahan mendasar beberapa orang menteri dan pejabat negara di Kabinet Indonesia Maju: Kemampuan komunikasi publik !!!

Sebagian dari mereka masih demam panggung, ada pula yang sengaja cari panggung dan ada pula yang kegirangan menari-nari di atas panggung baru. Dan yang terjadi dengan tanpa menyadari kemampuan dirinya yang paspasan dalam berkomunikasi publik, langsung aja membuat ujaran tanpa dipikir panjang dampaknya. 

Contoh yang paling hangat yang dilakukan oleh Menteri Pariwisata Wisnuthama tentang wisata halal di Bali dan Danau Toba,  Menteri Agama Fahrul Razi tentang FPI, Ex WNI anggota ISIS dan kasus intoleransi. Kemudian Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly tentang Tanjung Priok, lalu Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tentang BPJS dan penggunaan masker. Lalu ada ujaran bodoh dari Menteri Komunikasi dan Informasi Johny G Plate tentang netflix dll. Dan yang paling memedihkan adalah ujaran ngawur Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian Wahyudi.

Paling terakhir adalah ujaran dari Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendi. Dalam suatu kesempatan pada hari Rabu (19/02/2020) kurang lebih dia mengatakan: "Pak Menteri Agama mbok segera buat fatwa agar yang kaya wajib mengawini yang miskin bla bla bla."

Bagaimana mungkin seorang Menko minta seorang Menteri untuk membuat fatwa ? Mungkin Muhajir tidak bisa membedakan posisi jabatan Menteri Agama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disamping kebodohan dalam hal "fatwa", materi ujaran Muhajir pun juga aneh dan tidak berkelas untuk disampaikan oleh selevel Menko.

Akhirnya timbullah kegaduhan di masyarakat. Apalagi kemudian digoreng sampai gosong oleh para netizen. Lalu timbullah klarifikasi atau pelurusan berita oleh sang menteri. Begitu terus siklus kebodohan itu terjadi. Sampai kapan kebodohan seperti itu kita biarkan terus berulang dan berulang ? Habis energi bangsa ini untuk membahas hal-hal yang tidak esensial.

Secara langsung narasi publik yang blunder dari pejabat negara yang beruntun mulai dari Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Kepala BPIP serta Menko PMK dan lain-lain ini sangat berpengaruh negatif terhadap citra Presiden Jokowi. Dan ini sangat saya sayangkan. Saya pun yakin hal ini kontra produktif terhadap keinginan Presiden Jokowi untuk membangun teamwork yang berkualitas dan profesional. 

Lalu apa yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi ?

Saran saya kepada Presiden Jokowi:
1. Buat instruks tertulis dan tegas kepada Menteri dan Pejabat Negara agar mengurangi secara signifikan berbicara ngawur di depan publik atau media. Karena terbukti peringatan gaya Jawa dengan menyindir di forum rapat kabinet ternyata tidak efektif. 

2. Menteri dan Pejabat Negara wajib mengikuti pelatihan khusus tentang "Communication Skill" khususnya untuk mengasah kemampuan mereka dalam berkomunikasi di depan publik. Menteri dan Pejabat Negara jangan lagi sok jago merasa paling pintar. Mereka mungkin pintar dalam satu bidang, tapi untuk berkomunikasi dengan baik dan bijak di depan publik itu memerlukan skill khusus dan seni tersendiri.

Rakyat mulai jengah dengan kegaduhan yang dibuat karena narasi buruk para menteri dan pejabat negara. Saat hasil kerja belum tampak nyata, tapi terlalu banyak bicara di depan publik tanpa menyadari kemampuan komunikasi yang buruk, membuat image mereka di depan masyarakat kian merosot tajam.

Stop bicara (gak bermutu) dan mulailah bekerja Pak Menteri. Kami menunggu hasil nyata kerjamu, bukan narasi bodohmu !!!

Salam SATU Indonesia
20022020

KOMENTAR