Kenapa Pesantren Al Zaitun Perlu Dibela

Hila Bame

Wednesday, 21-06-2023 | 09:23 am

MDN

 


Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN


Pesantren Al Zaitun Indramayu perlu dibela, tidak layak dijadikan objek unjuk rasa dengan tuduhan ribuan hektar tanahnya dalam status "illegal", tidak layak dituduh sarang terorisme, embrio gerakan DI/TII,  tuduhan mengajarkan Islam "dlollun wa mudlilun", sesat dan menyesatkan dan tuduhan tuduhan negatif lainnya.


Pesantren Al Zaitun telah  berdiri 23 tahun silam (1999) di negara "hukum" Indonesia dan diresmikan Presiden RI, B.J Habibi, pucuk pimpinan nasional. Kunjungan wakil presiden Yusuf Kalla, kepala Badan Intelegen Negara (BIN), sejumlah menteri dan tokoh tokoh nasional ke pesantren al Zaitun jelas telah melalui observasi dan penelitian pendahuluan sebelum kunjungan tersebut.


Artinya kunjungan kunjungan tersebut di atas bermakna penting bahwa pesantren Al Zaitun secara institusional adalah lembaga pendidikan (agama) sama sekali tidak menyimpang dari nilai nilai ideologi negara, yakni Pancasila dan kredibel dari sisi ketaatannya terhadap regulasi negara kesatuan republik indonesia (NKRI).


Dalam kerangka itulah penulis bersetuju dengan "pernyataan sikap forum muda NU Indramayu" yang dinarasikan di akun "facebook" Yahya Ansori, (mantan) sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Indramayu. Penulis kutip point (1) pernyataannya sebagai berikut : 


"bahwa terkait hal hal yang berkenaan dengan eksistensi Al Zaetun sebagai lembaga pendidikan dan pesantren percayakan kepada institusi negara. Negara memiliki instrument yang lengkap untuk membuktikan karena memiliki instrumentasi yang lengkap seperti BIN, TNI, Polri, kementerian agama dan kementerian pendidikan".


Dengan kata lain perlu penelitian mendalam dalam durasi panjang dari instansi instansi negara terkait secara koordinatif dan melibatkan para pakar di bidangnya untuk memutuskan hal ikhwal tentang pesantren Al Zaitun agar produks rekomendasi dan atau keputusannya kredibel dan akuntabel.


Pesantren Al Zaitun perlu dibela dari pernyataan sejumlah pihak dan beberapa ormas islam apalagi sekedar bermodalkan data data sekunder misalnya dari potongan vidio vidio viral dan testimoni sepihak dari pihak pihak yang pernah "bekerja" di Al.Zaitun  sangat tidak memadai dijadikan dasar menghakimi "haram" mondok di Al.Zaitun dan dugaan penyimpangan lainnya.


Pesantren dengan segala varian unsur "tradisionalitas" dan "modernitas" termasuk pesantren Al Zaitun mengutip konstatasi Gusdur adalah "sub kultul", sebuah lembaga pendidikan khas Indonesia. Karena itu perlu dibela dan tidak layak "dihakimi" dengan cara cara "premanisasi politik" unjuk rasa meskipun berbungkus dalil dalil agama.


Langkah paling arif dan bijaksana adalah satu sisi pro aktif melaporkan hal hal tentang "dugaan" penyimpangan Al Zaitun ke pihak pihak berwenang institusi negara baik terkait dugaan penyimpangan proses pendidikan maupun eksistensi kelembagaannya.


Di sisi lain menghimbau Syekh Panji Gumilang pimpinan tertinggi pesantren Al Zaitun untuk tidak memproduksi pernyataan pernyataan potensial kontroversial di ruang publik demi menjaga kondusifitas sosial politik jelang kontestasi pemilu 2024.


Tak terbayangkan betapa potensial ambruknya peradaban bangsa jika eksistensi pesantren sebagai "subkultul" mudah "di demo" secara politik tentu ke depan tidak ada jaminan pesantren pesantren lain diperlakukan sama seperti dialami Al Zaitun hari ini, yakni menjadi objek unjuk rasa secara politis.


Dalam konteks Indramayu hemat penulis lebih "syar'i" (secara syari'at agama) jika para tokoh agama, pimimpin ormas dan tokoh politik memperuangkan nasib dana nasabah BPR KR, dana sah milik mereka ditabung di lembaga keuangan sah milik pemerintah (daerah) tapi disandra oleh kebijakan pejabat negara dalam posisinya sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM).


Persoalan dana nasabah BPR KR bukan persoalan politik dan "keuangan duniawi" semata, lebih dari itu, berdimensi moralitas agama bahwa negara hadir hanya "absah" menurut tujuan "syariat" bernegara salah satunya "li hifdid mal", untuk menjaga keamanan harta benda milik warga negaranya bukan malah disandra penguasaannya.


Sayangnya hingga hari ini nyaris tidak ada suara pembelaan dari tokoh agama dan anggota DPR RI/DPRD tekait nasib dana nasabah tersebut seolah olah mereka menjadi tokoh agama dan tokoh politik mewakili "benda benda mati" bukan mewakili jerit tangis derita rakyat - termasuk para nasabah BPR KR. Ampuuuuun gusti !!!
 

 

TAG#ADLAN, #AL ZAITUN

185284456

KOMENTAR