Larangan Jampidsus Ali Mukartono kepada Pinangki dikonfrontir Penyidik Bareskrim bentuk Insubordinasi kepada Jaksa Agung

Hila Bame

Tuesday, 01-09-2020 | 13:49 pm

MDN

Oleh: Petrus Selestinus Koordinator TPDI & Advokat Peradi

 

Jakarta, INAKO

Berita penolakan untuk diperiksa sebagai Saksi oleh Tersangka Pinangki saat hendak diperiksa Penyidik Bareskrim Polri dalam rangka permintaan keterangan untuk penyelidikan terkait kasus Djoko S. Tjandra di Bareskrim Polri, seakan-akan Pinangki mematuhi larangan Jampidsus Ali Mukartono sehari sebelumnya agar Pinangki tidak boleh dikonfrontir. 

Ini merupakan peristiwa yang sangat memalukan dan memperlihatkan betapa elit Kejaksaan sangat over protektif meski melanggar hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Padahal sebetulnya tidak perlu terjadi, baik Pinangki sendiri maupun Jampidsus Ali Mukartono. Ini jelas mencoreng wajah Jaksa Agung bahkan Presiden Jokowi sendiri karena menyangkut aib dalam Penegakan Hukum.

BACA JUGA:  

Dijual Rumah di Pondok Indah di bawah Nilai NJOP

Meskipun sikap tolak Pinangki adalah sikap pribadi yang mengandung konsekuensi hukum, akan tetapi sikap Pinangki tidak bisa dilepaskan dari larangan Jampidsus Ali Mukartono, padahal ada sumpah jabatan Pinangki dan Ali Mukartono ketika diangkat menjadi Jaksa atau Penyelenggara Negara, dalam diri mereka melekat pemenuhan kewajiban asasi sebagai Penyelengara Negara, untuk menjadi Saksi.

Ada koherensi antara sikap tolak Pinangki untuk bersaksi dan larangan Jampidsus Ali Mukartono ituk tidak memberikan keterangan, berimplikasi hukum melahirkan tindak pidana korupsi baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor dan pasal 20 UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, diancam sanksi pidana dan administratif yaitu copot jabatan Jampidsus. 

PINANGKI DIDUGA SUDAH DIDOKTRIN.

Sebagai tahanan Kejaksaan Agung, perilaku Pinangki membuka memori publik untuk mengingat kembali bagaimana loyonya lembaga Penegak Hukum yang prestisius memegang kekuasaan pemerintahan di bidang Penegakan Hukum, tetapi hanya jadi ayam sayur ketika menghadapi puluhan pelaku korupsi Cessie Bank Bali (seperti Setya Novanto dkk) yang sudah 20 tahun gagal dituntaskan.

Model penyidikan demikian disebut penyidikan yang bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya dan diduga keras sedang dilakonkan kembali dalam lanjutan penanganan kasus Cessie Bank Bali jilid 2 ini, sehingga bisa saja Pinangki sudah didoktrin untuk pasang badan dan dijadikan tumbal demi menyelematkan pihak lain yang punya nama besar bahkan sebagai aktor intelektualnya, yang sedang dicoba dilindungi. 

Bayangkan buruknya penanganan Tindak Pidana Korupsi Cessie Bank Bali oleh Kejaksaaan Agung selama 20 tahun sejak tahun 1999 melakukan pengejaran terhadap tidak kurang dari 10 orang pelaku, tetapi Kejaksaan hanya sukses mempidana 3 orang pelaku (Pande N. Lubis, Syahril Sabirin dan Djoko S. Tjandra) sedangkan Setya Novanto dkk. hingga kini belum dilimpahkan berkasnya ke Penuntutan malah di SP3-kan.

Di samping itu, Pinangki diduga sudah didoktrin sedemikian rupa untuk tidak boleh keluar dari frame yang sudh tetapkan oleh kekuatan tertentu di internal Kejaksaan, sehingga sikapnya lebih memilih menghambat penyelidik Bareskrim meski dengan resiko ancaman pidana penjara 12 tahun bagi setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung merintangi pemeriksaan perkara korupsi.

KPK BERALASAN KUAT AMBIL ALIH.

Menduga Pinangki sudah didoktrin untuk pasang badan, sangat beralasan dan dapat dilihat dari pernyataan 2 (dua) pejabat tinggi Kejaksaan Agung yaitu, Jampidsus Ali Mukartono, yang pada Rabu malam tanggal 26 Agustus 2020 di kantornya menyatakan melarang tidak akan mengkonfrontir tersangka Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan keterangan saksi Djoko Soegiarto Tjandra terkait perkara dugaan gratifikasi.

Pelarangan Jampidsus Ali Mukartono, adalah signyal baik bagi KPK, ambil alih penyidikan kasus Pinangki, karena pernyataan Jampidsus sudah menggenapi alasan UU KPK tentang pengambilalihan penyidikan oleh KPK antara lain karena "penanganan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan diduga ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; dan "hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan eksekutif.

Ini jelas bentuk insubordinasi Jaksa Agung kepada Presiden Jokowi, karena Kejaksaan menjadi titik lemah dalam pemberantasan korupsi dan lagi-lagi karena tindak pidana korupsi yang terjadi justru dilakukan oleh oknum-oknum Kejaksaan sendiri, pada tahun pertama periode kedua Presiden Jokowi membenahi Kejaksaan. Ini menambah panjang daftar kegagalan Kejaksaan Agung, punya kuasa besar tetapi loyo.


 

KOMENTAR