Luhut dan Ngabalin Potret Negara Yang Mengancam
Oleh : Adlan Daie.
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
JAKARTA, INAKORAN
Luhut Binsar Pandjaitan (baca: Luhut) dan Ali Muchtar Ngabalin (baca : Ngabalin) minimal dalam teori komunikasi "defendensia" model Melvin Defaul (1976) adalah contoh buruk pejabat negara dalam komunikasi publik.
Penulis tidak ragu mengatakan ini justru sebagai warga negara wajib ikut merawat indonesia yang "beradab". Jokowi, Presiden RI, secara "indirectly" mulai menegur para pejabat di lingkaran istana untuk ber hati.hati dalam berkomunikasi di ruang publik. Rawan menimbulkan gejolak sosial di saat rakyat tertindih dampak covid 19 secara ekonomi dan sosial.
Luhut dan Ngabalin adalah potret negara yang acapkali memproduksi ancaman terhadap aspirasi publik yang berbeda, hadir di ruang publik dengan wajah tidak bersabahat dan narasi tidak pantas dilontarkan oleh siapa pun terlebih bagi pejabat negara se level Luhut dan Ngabalin. Suara kritis dan berbeda selalu diartikan merongrong pemerintah, tidak diletakkan dalam konteks tukar tambah gagasan dan sharing perspektif ide dalam negara Indonesia dengan sistem politik demokrasi yang dipilihnya untuk solusi kemaslahatan rakyat.
Kebijakan PPKM "darurat" misalnya tanpa proses tukar tambah gagasan hanya dimaknai bahwa pemerintah sebagai representasi negara memiliki kewenangan "hak paksa" untuk membatasi mobilitas sosial.dan transaksi ekonomi rakyat atas nama pencecahan wabah covid 19. Perut lapar rakyat tidak dipandang "darurat" lebih dimaknai konsekuensi dari kebijakan PPKM darurat. Rakyat berdagang harus di razia, dikejar, dipukuli dan bahkan di denda. Inilah akibat pejabat hadir tanpa kritik dan selalu mengancam.
Sistem demokrasi yang dipilih Indonesia adalah jalan politik beradab berdiri di atas diktum "Vox Populi Vox Die", suara rakyat suara tuhan. Makna luhur transenden nya suara rakyat tidak bermakna "sekali pakai" di TPS,. Dengan kata lain, kekuasaan yang bersumber dari suara rakyat wajib dikontrol dalam proses "chek and balance" agar suara rakyat tetaplah suara Tuhan dan dikelola di atas prinsip hukum yang benar. Bukan membenar benar tindakan atas nama hukum yag oleh Gusdur disebut "idisokrasi penguasa" atau "demokrasi seolah olah" (2006).
Sejarah peradaban politik otoriter meskipun simpel cenderung gagal mensejahterakan rakyat dibanding peradaban politik demokratis meskipun rumit lebih menjanjikan masa deoan rakyatnya. Maka, baik Luhut dan Ngabalin atau siapapun pejabat dan di level manapun terima lah kritik sebagai bagian wajar dari demokrasi dan bentuk partisipasi publik.
Hal hal terkait kritik dipandang hoax dan fitnah kanal solusinya tentulah bukan mengancam meainkan proses hukum. Itulah politik demokratis yg beradab.
Wassalam.
TAG#ADLAN DAIE, #ADLAN, #LBP, #NGABALIN.
188678732
KOMENTAR